5 Perang di Indonesia Sebelum Kemerdekaan

Sejarah di Indonesia banyak mengajarkan kita mengenai usaha masyarakat Indonesia dlm menjaga negaranya. Banyaknya cerita mengenai pertempuran antara Indonesia & negara yg pernah menjajah Indonesia mudah dijumpai pada mata pelajaran sejarah.

Mungkin ananda sudah tak aneh lagi dgn peristiwa Perang Diponegoro, Perang Padri & Perang Aceh. Kebanyakan perang yg dilaksanakan rakyat dlm negeri sebelum kemerdekaan Indonesia melawan penjajahan kolonial Belanda serta dampak impreliasime & kolonialisme yg ditimbulkan.

Tujuan permulaan dr beberapa perlawanan yg dilakukan yakni
agar mempertahankan pemerintahan dlm negeri dr kekuasaan Belanda. Pada saat
itu, rakyat Indonesia melaksanakan sejumlah cara atau taktik supaya bisa
menjaga wilayahnya dr penjajah.

Daftar Lima Perang di Indonesia Sebelum Kemerdekaan

  • Pertempuran Banten

Perlawanan ini berlangsung sekitar dr tahun 1656 hingga
1683. Sebelumnya, di tahun 1650 Banten sempat menjadi pusat jual beli
terbesar, sehingga menawan banyak pedagang asing untuk berbisnis disana. Hal
tersebut karena ada beberapa faktor pendukung mirip kesuksesan selama
pemerintahan Kesultanan Banten.

Pada dikala itu juga, Banten berhasil membangun pelabuhan terbesar untuk aktivitas perdagangan. Maka itu, Belanda lewat kekuasaan VOC menghendaki perebutan wilayah Banten. Beberapa langkah dilakukannya, mirip membatasi kehadiran kapal dagang Tiongkok dr Maluku.

Adapun alasan dr kebijakan pemblokade tersebut merupakan
respon dr penentangan Sultan Ageng Tirtayasa. Pertentangannya dikarenakan VOC
berhasrat menguasai perdagangan baik di wilayah Banten maupun sepanjang
pesisir pulau Jawa.

Sultan Ageng Tirtayasa melakukan sejumlah cara & taktik
dalam mempertahankan daerahnya. Misalnya, mendatangkan kapal dlm membatasi
kedatangan kapal VOC & peruntuhan kebun tebu Belanda di wilayah Angke.

Sementara perlawanan yg dilaksanakan VOC yakni melaksanakan
politik mencerai-beraikan, dgn memprovokasi semoga Sultan Haji mendapatkan kekuasaan
Sultan Ageng Tirtayasa. Maka itu, Sultan Haji bareng dgn VOC berusaha untuk
menggusur dampak Sultan Ageng Tirtayasa, dimana pada alhasil Sultan Ageng
Tirtayasa ditahan di tahun 1683.

  • Pertempuran Puputan Bayu

Perlawanan antara penduduk Blambangan (saat ini
Banyuwangi) & VOC berjalan mulai dr 5 Agustus 1771 hingga 11 Oktober
1772. Wilayah Blambangan sudah ada di tangan Belanda semenjak 1767, ketika
Pangeran Agung Wilis ditahan.

  Bagaimana masyarakat Indonesia terbentuk?

Saat itu, penduduk setempat ingin bebas dr tekanan peraturan kolonialisme Belanda. Contohnya, terdapat aturan apabila mencalonkan selaku bupati maka wajib memeluk agama Islam. Tetapi, saat itu dominan penduduk di Blambangan beragama Hindu. Selain itu, VOC berupaya untuk merebut tempat jual beli di sana.

Pertempuran ini berlangsung di wilayah Bayu, di mana sekarang dikenal serpihan dr Kecamatan Songgon. Pemberontakan ini diketuai oleh Pangeran Jagapati & Mas Rempeg, di mana pada hasilnya didukung & dibarengi banyak pejuang setempat. Mereka lazimnya berkerumun di Bayu.

Pertahanan Bayu saat melawan VOC saat itu cukup besar lengan berkuasa,
sehingga susah untuk dikalahkan. Tentara Blambangan pula berhasil menundukkan
wakil Residen Biesheuvel (Blambangan), Schophoff yg berusaha menghipnotis
biar masyarakat sekitar tak dipengaruhi Rempeg.

Peperangan memuncak pada bulan Desember 1771. Namun, di saat
itu Rempeg tewas karena sudah banyak terluka. Keberhasilan pasukan ini juga
terbukti dgn dibinasakannya beberapa komandan VOC. Perang ini rampung sejak
VOC sukses merebut benteng Bayu.

  • Perang Padri

Terjadi sekitar tahun 1803-1838. Awal mula dr adanya Pertempuran Padri dikarenakan perbedaan persepsi agama antara Kaum Padri & Kaum Adat. Kaum Padri menyaksikan terdapat adanya penyimpangan sikap Kaum Adat, di mana tak sesuai dgn aliran agama.

Misalnya, Kaum Adat melakukan mabuk-mabukan, melaksanakan
taruhan (judi), & menggunakan matriakat selaku dasar aturan pemberian jatah
warisan. Sebelumnya, Kaum Adat sudah menawarkan kesepakatan supaya tidak
melaksanakan kebiasaan tersebut, tetapi tak terlaksana.

Karenanya, Kaum Padri mengambil langkah-langkah tegas dalam
memberhentikan kebiasaan Kaum Adat tersebut. Saat perang, Kaum Padri dikepalai
oleh Harimau Nan Salapan & Kaum Adat oleh Sultan Arifin Muningsyah.

Perang saudara ini berlangsung semenjak tahun 1803 hingga
puncaknya di tahun 1815. Adanya campur tangan Belanda dikarenakan diminta
sambung tangan dr Kaum Adat. Karenanya, pasukan Belanda bikin Kaum Padri
menyerah ketika bertempur di Pagaruyung di 4 Maret 1822.

Sekitar 3 bulan selanjutnya, Kaum Padri sukses menghalangi serangan pasukan Belanda pada ketika pertempuran di Tanjung Alam. Tetapi, dapat ditembus Belanda dgn terus meluncur ke Luhak Agam. Kaum Padri, di mana dikepalai Tuanku Nan Renceh kembali bisa menyingkirkan Belanda pada September 1822.

Hingga pada tanggal 15 November 1825, Tuanku Imam Bonjol yg ketika itu memimpin Kaum Padri bikin persetujuan “Perjanjian Masang”. Perjanjian tersebut berisi penghentian penggunaan senjata dlm pertentangan antara Kaum Padri & Belanda.

Selama perjanjian ini dijalani, Tuanku Imam Bonjol, yg merupakan pahlawan nasional dr Sumatera Barat, berupaya biar memperbaiki korelasi bareng Kaum Adat dgn disepakatinya “Plakat Puncak Pato”. Hingga pada kesudahannya Kaum Padri berhubungan dgn Kaum Adat dlm melawan Belanda di tahun 1833.

Hal ini dikarenakan Belanda mengingkari perjanjian yang
disepakatinya dgn menyerbu wilayah produksi senjata api & mesiu, nagari
Pandai Sikek. Adapun tujuannya biar Belanda mampu merebut perkebunan kopi di
Minangkabau. Selain itu, langkah lainnya yakni membuat benteng Fort de
Kock.

Alasan di atas dibenarkan oleh Belanda selaku bentuk
penyediaan keselamatan publik lokal. Pada tahun 1837, Belanda mampu menahan
Tuanku Imam Bonjol. Beberapa benteng pertahanan Kaum Padri direbutnya, seperti
benteng Tuanku Tambusai pada bulan Desember 1838.

  • Perang Diponegoro

Berlangsung dr 21 Juli 1825-9 Februari 1830. Latar
belakang dr perlawanan ini alasannya Pangeran Diponegoro tak menyetujui
intervensi Belanda terhadap Kesultanan Yogyakarta. Pada ketika itu pula terdapat
penyelewengan kepemilikan sewa tanah dikerjakan oleh beberapa masyarakat Eropa.

Pangeran Diponegoro menyatakan perang terhadap Belanda dikala
membangun rel kereta api melintasi makam leluhurnya. Di 20 Juli 1825, pasukan
Jawa Belanda menyerbu & menangkap Pangeran Diponegoro & Mangkubumi atas
perintah dr pihak istana.

Pangeran Diponegoro berhasil melalui penyerangan tersebut bareng pengikutnya, walaupun tempat tinggalnya di Tegalrejo lenyap dimakan api. Markas besarnya pada saat itu terdapat di Gua Selarong, Bantul. Di sana, Ia menggalang dana perang dr bermacam-macam kalangan.

Beberapa pemangku kepentingan pula membantunya seperti Kyai
Mojo & Raden Tumenggung Prawirodigdoyo. Pasukan Diponegoro berhasil merebut
keraton Yogyakarta dlm waktu cukup singkat, 3 ahad sesudah peristiwa
Tegalrejo.

Pangeran Diponegoro termasuk satria yg bisa menguasai wilayah Jawa ketika itu dgn bermacam-macam taktik seperti perang gerilya & perang atrisi. Tetapi, di tahun 1827 Belanda mengirim 23.000 tentara dlm mengalahkannya. Teknik penyerangan Belanda terhadapnya yaitu metode benteng.

  7 Prasasti Peninggalan Kerajaan Tarumanegara

Pada 21 September 1829, Belanda menyebarluaskan sayembara
dalam penangkapan Pangeran Diponegoro. Jika ada yg sukses, maka dapat
memperoleh hadiah sebanyak 50.000 Gulden.

Hingga pada karenanya Belanda di bawah pimpinan Jenderal De Kock mampu mengalahkan pasukan Diponegoro pada 28 Maret 1830. Pangeran Diponegoro membiarkan dirinya ditahan, asalkan pengikutnya dibebaskan.

  • Perang Aceh

Berlangsung dr tahun 1873 hingga 8 Februari 1904. Sama seperti latar belakang pertempuran di atas sebelumnya, di mana terjadi karena ketidaksetujuan penguasaan Belanda terhadap Kesultanan Aceh. Hal ini dikarenakan lokasi ini cukup penting keberadaanya dikala adanya Terusan Suez.

Bahkan sebelum adanya pertempuran ini, Belanda sudah
memperoleh kawasan Kesultanan Deli, serpihan dr Kesultanan Aceh. Padahal, sudah
disepakatinya Perjanjian London 1824 yg menyatakan diakuinya otoritas
Kesultanan Aceh.

Beragam cara dijalankan oleh pasukan Kesultanan Aceh seperti
menenggelamkan kapal kepunyaan Belanda kalau melalui perairan Aceh. Pada tahun
1871, Belanda bersepakat dgn Inggris biar menghadapi lawannya.

Demikian halnya dgn pihak Kesultanan Aceh yg menyambung hubungan diplomatik bersama beberapa negara seperti Amerika Serikat & Italia. Saat perang ini dimulai, pasukan Kesultanan Aceh dikepalai oleh Panglima Polim & Sultan Mahmud Syah.

Keberhasilan Kesultanan Aceh pertama kali dgn mengalahkannya pimpinan pasukan Belanda, Kohler di 14 April 1872 ketika periode perang pertama. Namun, di 26 Januari 1874, saat periode perang kedua berlangsung, Belanda yg dikepalai oleh Jenderal Jan van Swieten mampu meraih & menduduki Istana Kesultanan Aceh.

Hingga di periode perang ketiga dimana berjalan dr tahun
1881-1896 melibatkan beberapa satria nasional yg sudah dikenal mirip Cut
Nyak Dien, Cut Meutia & Teuku Umar selaku kepala pasukan Aceh. Adapun taktik
dalam mengalahkan Belanda dengan-cara geriliya.

Pada periode perang keempat, Belanda menyamar selaku Snouck
Hurgronje dikala ke Pedalaman Aceh. Strategi ini dikerjakan biar Belanda mampu
melihat kelemahan penduduk Aceh dengan-cara langsung. Karenanya, Belanda bersikap
membantu masyarakat Aceh mirip diberikannya pinjaman pembangunan kemudahan
publik lokal.

Hal ini dilatarbelakangi supaya Belanda mendapat simpati dari
rakyat Aceh, sehingga dapat terus berdampingan. Tetapi, usang-kelamaan Belanda
mampu memperoleh Aceh & dilengserkannya Kesultanan Aceh. Akhir perang ini
ditandai dgn disepakatinya Traktat pendek, dimana pihak Aceh menyerah terhadap
Belanda.