6 Faktor Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga

Kekerasan dlm Rumah Tangga (KDRT)

Korban kekerasan dlm rumah tangga pula mampu dialami oleh suami atau pihak laki-laki. Akan tetapi, banyak data yg memperlihatkan bahwa mayoritas korban kasus kekerasan dlm rumah tangga ialah istri atau wanita. Oleh lantaran itu, terdapat salah satu forum yg turut berperan dlm penanganan kekerasan dlm rumah tangga yaitu Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempun (Komnas Perempuan). Setiap tahun Komnas Perempuan meluncurkan catatan tahunan (CATAHU) ihwal data kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Berdasarkan data catatan Tahunan 2019 tersebut, terdapat 406.178 masalah kekerasan terhadap wanita yg dilaporkan & ditangani selama tahun 2018, atau bermakna naik dr tahun sebelumnya yg meraih 348.466.

Berdasarkan laporan kekerasan di ranah privat/personal yg diterima mitra pengadan layanan, angka kekerasan kepada istri menempati peringkat pertama yakni 5.114 perkara. Sementara itu, kekerasan kepada anak perempuan merupakan perkara ketiga terbanyak yakni (1.417 perkara). Data kekerasan tersebut berasal dr ranah privat/personal. Artinya, korban & pelaku berada dlm relasi perkawinan, kekerabatan, atau korelasi intim yang lain baik dlm lingkup rumah tangga maupun di luar rumah tangga.

Faktor Penyebab Kekerasan dlm Rumah Tangga

Tingginya angka KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain adalah sebagai berikut;

  1. Masalah ekonomi

Masalah ekonomi merupakan salah satu aspek penyebab utama terjadinya kekerasan dlm rumah tangga. Keluarga yg berasal dr lapisan sosial bawah & pemasukan yg rendah akan mengalami kesusahan dlm menyanggupi keperluan pokok yg semakin hari meningkat. Apabila meningkatnya harga keperluan utama tersebut tak diimbangi dgn meningkatnya pemasukan maka akan menjadi persoalan. Akhirnya, keluarga tersebut menetapkan untuk berhutang.

Padahal, utang bukanlah solusi namun malah menjadi persoalan yg gres. Utang yg makin menumpuk & tak diringi dgn meningkatnya jumlah pemasukan maka akan menimbulkan permasalahan yg semakin rumit.

Gaji yg tak cukup untuk menyanggupi kebutuhan rumah tangga setiap bulan & mengeluarkan uang utang menimbulkan tekanan-tekanan dlm rumah tangga. Apalagi jikalau sumber keuangan rumah tangga hanya berasal dr suami. Kondisi ini akan berpengaruh pada emosi & psikologis masing-masing anggota keluarga. Akhirnya, emosi tersebut akan terluapkan dlm bentuk kekerasan.

Selain itu, dilema ekonomi pula akan menjadi pemicu dlm kasus kekerasan rumah tangga lantaran suami sebagai tulang punggung keluarga hanya selaku buruh. Dimana kita tahu bahwa tingkat upah buruh di Indonesia masih tergolong rendah & hal ini memiliki pengaruh pada tingkat kemakmuran rumahtangga. Tatkala kemakmuran keluarga menurun akan memengaruhi keharmonisan dlm hubungan rumah tangga.

Apalagi istri pula tak bekerja. Sehingga sumber perekonomian keluarga cuma berasal dr suami. Kondisi ini kadang kala menjadi faktor pemicu paling besar dlm perkara kekerasan rumah tangga. Karena pelaku acap kali meluapkan emosinya dgn kekerasan.

  1. Adanya peran yg bias gender & budaya patriarki

Bias gender yaitu kondisi yg memihak atau merugikan salah satu jenis kelamin. Contohnya mirip pihak laki-laki (suami) lebih mendominasi rumah tangga sehingga menempatkan pihak wanita (istri) hanya terbatas pada sektor domestik yakni mengolah masakan, mencuci, & mengurus anak.

Padahal, seharusnya suami & istri mempunyai hak & kedudukan yg sama. Seringkali kekerasan pada wanita terjadi karena adanya tugas bias gender tersebut. Akhirnya, terjadilah ketimpangan atau ketidakadilan gender. Selain itu, budaya patriarki yg mengakar kuat dlm penduduk pula turut andil dlm faktor penyebab kekerasan dlm rumah tangga. Budaya patriarki adalah pandangan masyarakat yg menempatkan posisi pria sebagai pemegang kekuasaan utama & mendominasi dlm keluarga.

Ketidakadilan gender & budaya patriarki yang terus langgeng menjadikan wanita menempati posisi tersubordinasi & rentan terhadap kekerasan. Artinya, kedudukan perempuan berada di posisi kedua atau lemah. Sementara itu, pria berada dlm posisi lebih banyak didominasi atau superior dibandingkan dgn wanita.

Sehingga, apabila terdapat fikiran bahwa seorang suami memiliki kekuasaan yg lebih tinggi daripada anggota keluarga yg lain akan membuat suami atau pria potensial melaksanakan tindakan kekerasan.

Budaya patriarki & ideologi gender berpengaruh pada persepsi penduduk yg keliru karena seolah-olah kekuasaan laki-laki selaku suami sangat besar sehingga mampu memaksakan semua kehendaknya tergolong melaksanakan kekerasan.

Bahkan, sering kali penduduk cenderung menyalahkan korbannya. Meskipun perkara kekerasan dlm rumah tangga sudah dilaporkan kejadiannya tetapi terkadang mengalami kegagalan lantaran KDRT tak pernah dianggap selaku pelanggaran kepada hak asasi insan, namun hanya dimengerti sebagai persoalan dlm keluarga. Akhirnya, korban tak tertolong & pelaku dgn bebasnya tak mendapatkan eksekusi.

  1. Perbedaan prinsip & persepsi antara suami & istri

Seseorang selalu berpegang teguh pada prinsip yg diyakininya dlm berperilaku. Oleh karena itu, tak ada satu orangpun yg dapat mengubah atau menggoyahkan prinsip tersebut. Begitu pula dlm hubungan antara suami istri dlm rumah tangga.

Meskipun mereka telah menyatu dlm ikatan akad nikah, tetapi tak dapat dipungkiri jikalau keduanya memiliki prinsip yg berlawanan. Seperti contoh, perbedaan prinsip dlm menentukan pola bimbing kepada anak atau dlm mengorganisir keuangan rumah tangga.

Apabila perbedaan prinsip ini tak dapat dikomunikasikan dgn baik maka mampu memunculkan perselisihan antara suami & istri. Perselisihan tersebut bahkan dapat berlanjut pada perkelahian & kekerasan.

Selain itu, perbedaan persepsi pula mampu menjadi aspek penyebab terjadinya kekerasan dlm rumah tangga. Setiap insan mempunyai persepsinya masing-masing, Apabila tak ada pemahaman mengenai perbedaan persepsi tersebut maka dikhawatirkan akan terjadi miss komunikasi.

Padahal, sebaiknya suami & istri menuntaskan duduk perkara dgn komunikasi. Perbedaan persepsi ini pula akan menyulut emosi masing-masing pihak. Emosi yg tak terkontrol tersebut yg dapat menimbulkan terjadinya kekerasan dlm rumah tangga.

  1. Tekanan yg menimbulkan stres & frustasi

Kasus kekerasan dlm rumah tangga pula mampu dipicu oleh stres yg dialami masing-masing anggota keluarga. Stres mampu diartikan selaku keadaan individu yg merasa tertekan untuk menyanggupi tuntutan dr lingkungan sekitarnya.

Setiap individu menanggapi tekanan yg sama dgn cara yg berbeda-beda. Artinya, pengalaman setiap individu terhadap stres tergantung dgn rekasinya kepada tekanan luar. Tekanan-tekanan dlm rumah tangga contohnya, dr tetangga, harapan bawah umur yg tak mampu dipenuhi, kebutuhan utama yg kian meningkat, & bahkan gaya hidup yg harus disertai.

Apabila setiap anggota keluarga tak bisa mengatasi tekanan-tekanan tersebut akan mengakibatkan terjadinya stres atau putus asa & melampiaskannya dlm bentuk kekerasan dlm rumah tangga.

  1. Faktor lingkungan sosial

Kondisi tempat tinggal & lingkungan pergaulan kadangkala membawa warna tersendiri dlm kehidupan seseorang. Lingkungan merupakan kondisi yg memengaruhi huruf/langkah-langkah seseorang. Lingkungan yg kurang aman akan memengaruhi tempramen & sikap jelek seseorang.

Seperti misalnya, dlm lingkungan masyarakat yg sering judi, mabuk-mabukan, & bahkan menyalahgunakan narkoba akan memengaruhi anggota keluarga turut mengikutinya. Kondisi tersebut dapat terjadi apabila tak nilai yg dipegang dgn teguh. Perilaku tersebut mampu memengaruhi kondisi fisik, psikologis, & mental seseorang. Orang yg sering mabuk-mabukan & menyalahgunakan narkoba akan menyebabkan kemalasan & condong selalu menggunakan kekerasan.

Maka dikala berada dlm lingkungan rumah tangga sikap tersebut masih terbawa. Saat perilaku tersebut tak mampu terkontrol dgn baik dapat berujung pada kekerasan dlm rumah tangga mirip pemukulan, penganiayaan, bahkan pembunuhan.

  1. Lemahnya penanganan dr pegawapemerintah penegak hukum

Salah satu kendala dlm perkara kekerasan dlm rumah tangga yaitu pada dikala pelaporan ke ranah aturan. Terkadang polisi menyarankan untuk berdamai saja. Bahkan, apabila ingin di proses mesti sudah dikerjakan tiga kali. Kondisi ini berakibat pada lemahnya barang bukti, lantaran jarak antara penganiayaan & pelaporan sudah lama terjadi.

Karena visum et repertum tak mendukung sebagai bukti. Selain itu, korban kasus kekerasan dlm rumah tangga pula kesusahan menghadirkan saksi, lantaran pegawanegeri penegak aturan (polisi, jaksa, hakim) selalu memaksakan semoga korban menghadirkan saksi yg sungguh-sungguh melihat terjadinya pemukulan atau langkah-langkah penganiayaan yang lain. Padahal, saksi tersebut sungguh sulit ditemukan lantaran bisanya langkah-langkah kekerasan dilaksanakan dlm lingkup tertutup mirip dlm rumah.

Adanya penafsiran yg berlainan antara aparat penegak hukum & penduduk tentang beberapa pasal kekerasan dlm rumah tangga pula menjadi kendala tersendiri. Seperti contoh kasus yang dialami oleh Ny. M. Korban hanya dijatuhkan hukumah selama dua bulan karena terdapat penafsiran.

Hakim  menafsirkan bahwa kekerasan dlm rumah tangga fisik yg dilakukan oleh suami hanya diakomodir pada pasal 44 ayat 4 saja, serta luka yg dialami korban yaitu luka ringan yg tak mengusik kegiatan sehari-hari & tak menerima perawatan yg intensif (opname).

Padahal, menurut visum et repertum dr rumah sakit, korban mengalami patah tulang serta kehilangan indra penciumannya. Hal ini pula dikuatkan saksi jago dimana memberitahukan bahwa luka tersebut harus dievaluasi lagi satu tahun kemudian, kalau tak pulih indra penciumannya, berarti korban mengalami cacat permanen. Kondisi inilah yg menjadi hambatan bagi korban untuk menggapai keadilan.

Beberapa aspek penyebab terjadinya kekerasan dlm rumah tangga di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kunci dlm menghentikan perkara kekerasan dlm rumah tangga adalah rancangan kesetaraan dlm keluarga. Kesetaraan & keadilan gender tersebut berhubungan dgn tugas-tugas yg dijalankan oleh pria & wanita serta pengambilan keputusan. Nilai-nilai ini semestinya mampu dikomunikasikan pada awal pembentukan keluarga sesudah pernikahan.

Selanjutnya, perlu adanya komitmen yg kuat baik dlm eksklusif pria maupun wanita untuk mengemban semua konsekuensi yg terjadi. Adanya komitmen tersebut diperlukan mampu membangun komunikasi dua arah antara suami & istri yg berimplikasi pada keutuhan keluarga sehingga masalah kekerasan dlm rumah tangga mampu diminimalkan.

Hubungan antara suami & istri bukanlah hubungan antara majikan & buruh atau atasan & bawahan. Akan tetapi hubungan suami & istri yakni hubungan pribadi-pribadi yg demokratis, bersatu dlm wadah yg sama & dilandasi dgn saling menolong, melindungi, menyayangi, & melengkapi untuk sama-sama bertanggungjawab membina rumah tangga.

Demikianlah serangkain postingan yg sudah dituliskan terkait dgn aspek-faktor yg menjadi penyebab KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Semoga lewat materi ini bisa memberikan wawasan serta menambah pengetahuan bagi pembaca sekalian.

Sumber Tulisan

  • 2018. Perempuan Rentan Jadi Korban KDRT, Kenali Faktor Penyebabnya.https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/31/1742/perempuan-rentan-jadi-korban-kdrt-identifikasi-aspek-penyebabnya, diakses pada 16 Agustus 2019
  • Fitrianingsih, Saeno. Faktor-Faktor Penyebab Tindakan Kekerasan Terhadap Perempuan dlm Rumah Tangga (Studi Kasus di Kota Bandar Lampung). Skripsi. FISIP, Sosiologi, Universitas Lampung.
  • Jayanthi, Evi Tri. (2009, September). Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan dlm Rumah Tangga pada Surveyor yg Ditangani oleh Lembaga Sahabat Perempuan Magelang. DIMENSIA Jurnal Kajian Sosiologi. Vol.3. dlm https://journal.uny.ac.id/index.php/dimensia/article/view/3417/2902, diakses 16 Agustus 2019
  • Surinda, Yuoky. 2016. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan dlm Rumah Tangga.https://yuokysurinda.wordpress.com/2016/04/25/aspek-faktor-penyebab-terjadinya-kekerasan-dalam-rumah-tangga/, dikases pada 16 Agustus 2019
  • Yuliani. (2017, Januari). Faktor Penyebab Kekerasan dlm Rumah Tangga Terhadap Istri pada Pasangan yg Menikah Muda. Jurnal PSYCHE LPPM UPI YPTK Padang. dlm http://lppm.upiyptk.ac.id/psyche165/index.php/Psyche165/article /view/43/40, diakses 16 Agustus 2019

  Interaksi sosial