Perspektif Teori Sistem Dunia dan Contohnya : Tren Thrifting

– Melihat fenomena sosial lewat pendekatan Perspektif Teori Sistem Dunia & Contohnya : Tren Thrifting di masyarakat Indonesia, terutama kelompok cukup umur.

Memahami Istilah Thrifting

Istilah Thrifting kelihatannya sudah tak abnormal lagi di telinga kita, ya paling tidak, kita sering menemukan atau mendengarnya. 

Thrifting berasal dr kata thrift yg artinya irit, berhemat atau penghematan. Dalam konteks fashion.

Istilah thrift dipakai untuk menyebut barang bekas yg masih dlm keadaan pantas pakai; mampu berupa busana.

Ataupun benda lainnya yg dinilai cukup layak untuk dibeli meskipun kondisinya bekas. 

Sementara Thrifting, atau yg kadang kala pula disebut selaku thrift shopping yaitu kegiatan seseorang untuk mencari & berbelanja barang bekas. 

Tempat dijualnya barang-barang bekas ini disebut sebagai thrift shop atau thrift store. 

Di dalamnya mampu didapatkan aneka macam jenis barang bekas yg masih layak & dianggap masih punya nilai jual.

Jual beli barang bekas memang bukan hal gres, pada masa-masa sebelumnya kegiatan serupa sudah banyak dilakukan. 

Namun, dahulu barang bekas yg dijual maksudnya untuk kegiatan sosial, yakni untuk mereka yg butuh busana tetapi uangnya minim. 

Praktik ini pula banyak dijalankan selama perang dunia alasannya adalah kurangnya bahan baku & kesulitan ekonomi yg ekstrem. 

Pada masa itu barang yg dijual kebanyakan yakni milik pribadi. Setelah perang dunia rampung, praktik ini ternyata tak berhenti begitu saja & malah makin meningkat . 

Selanjutnya, kegiatan ini bermetamorfosis budaya populer (pop culture), khususnya di negara-negara Barat seperti Inggris & Amerika Serikat.  

  Teori Interaksionisme Simbolik Charles Horton Cooley

Di awal 2000-an thrifting menjadi alternatif bagi sebagian orang di Barat dlm berbelanja busana karena adanya kesadaran bahwa industri fashion.

Yang semakin berkembang akan memiliki dampak pada lingkungan, sehingga berbelanja busana di thrift stores ialah upaya untuk mengurangi limbah. 

Di Indonesia sendiri, pakaian bekas mulai dilirik tatkala terjadi krisis moneter tahun 1998. 

Saat itu, busana bekas dianggap sebagai solusi menarik di tengah kondisi ekonomi yg sedang rapuh. 

Belakangan, tren membeli busana bekas di Indonesia kembali menggeliat, apalagi semenjak masifnya penggunaan media umum & aplikasi belanja online. 

Kini sebutannya jadi lebih keren & kekinian, thrifting. 

Jika sebelumnya thrifting dilaksanakan langsung di kawasan seperti Pasar Senen, Pasar Gedebage atau Pasar Tugu Pahlawan.

Maka sekarang thrifting pula bisa dilakukan dengan-cara online, alasannya adalah kian banyak penjual busana bekas yg membuka toko online. 

Ini yaitu strategi penjualan yg efektif, sebab mampu menjangkau lebih banyak orang sehingga pemasaran pun bisa meningkat.

Banyaknya rekomendasi outfit kontemporer di Instagram & Tiktok turut menjadi pendorong maraknya thrifting di kelompok anak muda. 

Keinginan untuk tampil modis dgn pakaian bermerek yg harganya miring menciptakan barang thrift menjadi primadona. 

Ini pula ada kaitannya dgn status & gengsi.

Dimana beberapa busana bekas dr merek tertentu cenderung memiliki status sosial yg tinggi sehingga mendorong lebih banyak orang untuk membelinya. 

Memahami Tren Thrifting Melalui Teori

Tren thrifting di kalangan anak muda Indonesia ini saya kira cukup relevan untuk dianalisis lebih dlm dgn perspektif sistem dunia. 

Dalam teori ini, negara-negara di dunia terbagi menjadi tiga klasifikasi, yaitu negara inti (core), semi pinggiran (semi periphery), & pinggiran (periphery). 

Teori ini melihat bahwa dunia berada dlm sebuah tata cara yg terorganisir, khususnya dlm bidang perekonomian. 

  Harus Tahu ! Inilah 15 Istilah yang digunakan Aliran Modernisme

Negara-negara Barat yg menerapkan kapitalisme cenderung berada pada posisi tinggi dlm metode ini, alasannya adalah dianggap memiliki sumber daya (modal) yg mumpuni.

Sementara Indonesia ditempatkan selaku negara semi pinggiran (tahap meningkat ). 

Immanuel Wallerstein, sang pencetus teori ini menjabarkan bahwa metode dunia meningkat melalui proses pencaplokan (incorporation), komersialisasi agraria, industrialisasi, & proletarianisasi. 

Kapitalisme, yg menjadi dasar dr teori ini, memungkinkan negara-negara di dunia untuk melaksanakan aktivitas ekonomi & jual beli dgn lebih bebas. 

Modal beralih dr negara maju ke daerah baru yg sedang berkembang (negara semi pinggiran). 

Ini memungkinkan terjadinya industrialisasi di negara-negara meningkat sebagai hasil dr suntikan modal lewat investasi di negara meningkat . 

Perdagangan bebas & investasi ini menciptakan negara berubah menjadi pelanggan produk yg berasal dr negara maju. 

Indonesia masuk dlm metode dunia karena mengalami industrialisasi. Pada 1990-an, perusahaan retail dr negara-negara seperti Jepang, Belanda & Amerika Serikat masuk ke Indonesia. 

Hal ini yaitu salah satu bentuk strategi Indonesia untuk naik kelas dlm metode dunia, yakni dgn menawan investasi perusahaan luar negeri untuk mendirikan perusahaan multinasional & menggandeng pebisnis lokal.

Ketika perusahaan-perusahaan besar yg bergerak di bidang fashion melakukan perluasan ke Asia Tenggara, Indonesia yaitu salah satu negara yg dituju & dianggap cocok untuk lokasi pabrik mereka. 

Merek besar seperti Nike & Champion mendirikan pabrik & memproduksi beberapa lini produknya di Indonesia. 

Walaupun diproduksi di Indonesia, produk tersebut lebih banyak didominasi dijual ke negara di Eropa, sebagian Asia ataupun Amerika Serikat. 

Di segi lain, anak muda di Indonesia kini banyak yg memilih untuk membeli busana bekas impor. 

Menariknya, merek pakaian bekas impor yg banyak ditemui ialah Nike & Champion, yg sebagiannya diproduksi di Indonesia. 

Fenomena ini memperlihatkan bagaimana metode dunia bekerja. Negara maju mengeksploitasi negara berkembang, & negara meningkat akan senantiasa menjadi konsumen produk dr negara-negara maju tersebut.

  Teori Georg Simmel yang Paling Terkenal, dan Contohnya

Negara meningkat seperti Indonesia menjadi pasar yg sungguh “seksi” bagi negara maju untuk menjual berbagai produknya. Sekalipun itu barang bekas, dgn kekuatan merek yg terkenal itu, nyatanya masih banyak orang yg mau membelinya.

Selain itu, berkembang pesatnya tren thrifting ini menjadi indikator bahwa pakaian bekas yg diimpor ke Indonesia jumlahnya bertambah banyak. 

Logikanya, kalau ajakan meningkat maka otomatis harus dipenuhi. Maka dr itu, busana bekas yg di negara asalnya dianggap “limbah” malah menjadi barang incaran di Indonesia, utamanya golongan anak muda yg menjadikannya outfit estetik. 

Di satu segi, hal ini bisa dimaknai positif alasannya adalah mengurangi limbah pakaian dgn memakainya lagi. 

Namun di segi lain, hal ini pula mengakibatkan berbagai persoalan terkait dgn potensi penyebaran penyakit dr pakaian bekas tersebut & adanya praktik penyelundupan pakaian bekas impor yg masuk ke Indonesia.

Pada akhirnya, posisi Indonesia sebagai negara semi pinggiran membuatnya cocok sebagai pasar bikinan & pasar konsumsi, alasannya ada di tengah-tengah, bukan negara maju namun bukan pula negara tertinggal. 

Walaupun teori tata cara dunia ini mengklaim bahwa ada kemungkinan negara-negara mampu naik atau turun kelas dlm sistem dunia tersebut.

Namun harapannya akan cukup minim mengenang hal itu sungguh bergantung pada dinamika yg terjadi dlm metode dunia itu sendiri. 

Jadi, kalau sistem tersebut relatif aman & tak terjadi banyak perubahan, maka posisi negara-negara di dalamnya pun akan tetap sama. 

Ini artinya, Indonesia akan tetap diposisikan selaku negara semi pinggiran, terlebih dgn kenyataan.

Bahwa kita memang menjadi konsumen utama produk dr negara-negara maju, bahkan untuk “produk limbah” berupa busana sekalipun.

Demikian pembahasan singkat wacana Perspektif Teori Sistem Dunia & Contohnya : Tren Thrifting di Indonesia.

Penulis Artikel : Ade Imaduddin