Pengaruh Stratifikasi Sosial Bagi Pembuat Hukum Dan Penegak Hukum

Stratifikasi sosial, sebagai pembedaan masyarakat berdasarkan kelas, status, dan kekuasaan, memiliki pengaruh signifikan terhadap sistem hukum di Indonesia. Hukum tidak hanya berfungsi sebagai aturan, tetapi juga mencerminkan dinamika sosial, termasuk ketimpangan yang muncul akibat stratifikasi. Dalam konteks Indonesia, prinsip keadilan yang tertuang dalam Pancasila (sila ke-5) dan UUD 1945 Pasal 27 serta 28D menegaskan bahwa hukum harus adil tanpa memandang strata sosial. Namun, realitas menunjukkan sebaliknya: ketidakadilan sering kali terjadi akibat perbedaan kelas sosial. Mengapa hukum di Indonesia kerap kali tidak adil bagi masyarakat bawah? Artikel ini menganalisis bagaimana stratifikasi sosial memengaruhi pembuat hukum (legislator) dan penegak hukum (polisi, jaksa, hakim), serta menawarkan solusi untuk mencapai keadilan hukum yang inklusif.

Pengertian Stratifikasi Sosial dan Sosiologi Hukum

Stratifikasi sosial adalah proses pembedaan masyarakat ke dalam kelas-kelas berdasarkan kriteria seperti kekayaan, pendidikan, kekuasaan, atau status sosial. Menurut Pitirim Sorokin, stratifikasi sosial mencakup dimensi ekonomi, politik, dan sosial yang membentuk hierarki dalam masyarakat. Max Weber menambahkan bahwa stratifikasi tidak hanya soal kekayaan, tetapi juga status (prestise) dan kekuasaan. Sementara itu, Pierre Bourdieu memperkenalkan konsep modal sosial, budaya, dan ekonomi yang memperkuat ketimpangan sosial. Dalam konteks Indonesia, stratifikasi sosial tampak jelas dalam kesenjangan antara elit politik, kelas menengah, dan masyarakat marginal.

Dalam perspektif sosiologi hukum, hukum bukan sekadar teks undang-undang, tetapi fenomena sosial yang dipengaruhi oleh struktur masyarakat. Satjipto Rahardjo, seorang ahli hukum Indonesia, menegaskan bahwa hukum merupakan cerminan dinamika sosial, termasuk stratifikasi. Lawrence Friedman menjelaskan bahwa sistem hukum terdiri dari struktur (institusi hukum), substansi (isi hukum), dan budaya hukum (sikap masyarakat terhadap hukum). Stratifikasi sosial memengaruhi ketiga elemen ini, menciptakan ketimpangan dalam pembuatan dan penegakan hukum.

  Ciri-ciri Penyimpangan Sosial Primer dan Sekunder

Faktor Penyebab Stratifikasi Sosial di Indonesia

Beberapa faktor utama yang menyebabkan stratifikasi sosial di Indonesia meliputi:

  • Kekayaan: Kesenjangan ekonomi antara kelompok kaya dan miskin, seperti yang ditunjukkan oleh laporan Oxfam Indonesia yang menyebutkan bahwa 1% penduduk terkaya menguasai lebih dari 50% kekayaan nasional.
  • Pendidikan: Akses pendidikan yang tidak merata memperkuat stratifikasi, dengan masyarakat marginal sering kali tidak mampu mengakses pendidikan tinggi.
  • Kekuasaan: Elit politik dan pejabat memiliki pengaruh besar dalam pengambilan kebijakan.
  • Status Sosial: Prestise sosial, seperti gelar atau jabatan, memengaruhi perlakuan dalam sistem hukum.

Faktor-faktor ini tidak hanya membentuk hierarki sosial, tetapi juga memengaruhi bagaimana hukum dibuat dan ditegakkan. Untuk memahami lebih lanjut tentang struktur sosial, baca artikel tentang stratifikasi sosial.

Pengaruh Stratifikasi Sosial pada Pembuat Hukum

Pembuat hukum, seperti anggota DPR dan DPD, sering kali berasal dari kelas sosial tertentu, yaitu elit politik atau ekonomi. Stratifikasi sosial memengaruhi proses legislasi melalui latar belakang sosial, pendidikan, dan kepentingan politik legislator. Menurut teori elit Max Weber, kelompok elit cenderung mendominasi pembuatan kebijakan untuk mempertahankan kekuasaan dan privilese mereka. Hal ini terlihat dalam beberapa undang-undang yang dianggap menguntungkan kelompok tertentu.

Elitisme dalam Proses Legislasi

Sebagai contoh, Undang-Undang Cipta Kerja (UU No. 11 Tahun 2020) menuai kritik karena dianggap lebih menguntungkan pengusaha besar ketimbang pekerja. Berdasarkan laporan Komnas HAM, UU ini kurang melibatkan partisipasi masyarakat marginal, mencerminkan bias kelas sosial dalam legislasi. Legislator yang berasal dari kelas elit sering kali memiliki akses ke informasi, pendidikan, dan jaringan yang memengaruhi prioritas mereka dalam membuat UU.

Studi Kasus: UU Cipta Kerja

UU Cipta Kerja menjadi contoh nyata bagaimana stratifikasi sosial memengaruhi pembuatan hukum. Proses penyusunannya didominasi oleh elit politik dan pelaku usaha, sementara suara buruh dan masyarakat marginal kurang terdengar. Demonstrasi besar-besaran pada 2020 menunjukkan ketidakpuasan masyarakat terhadap UU ini, yang dianggap mengorbankan hak pekerja demi investasi. Hal ini menegaskan bahwa pembuat hukum sering kali terdetasemen dari realitas masyarakat bawah akibat stratifikasi sosial.

  2 Hubungan Sosialisasi dengan Pembentukan Kepribadian Individu Disertai Penjelasannya

Untuk memahami lebih lanjut tentang dinamika sosial dalam pembuatan kebijakan, baca artikel tentang konstruksi sosial.

Pengaruh Stratifikasi Sosial pada Penegak Hukum

pengaruh stratifikasi sosial bagi pembuat hukum dan penegak hukum

Penegak hukum, seperti polisi, jaksa, dan hakim, juga dipengaruhi oleh stratifikasi sosial. Ketimpangan sosial sering kali tercermin dalam perbedaan perlakuan hukum berdasarkan kelas sosial, yang mengarah pada diskriminasi dan ketidakadilan.

Diskriminasi Hukum Berdasarkan Kelas Sosial

Contoh nyata adalah kasus nenek Minah, seorang wanita berusia 92 tahun yang divonis penjara karena mencuri beberapa buah kakao pada 2009. Hukuman ini kontras dengan kasus korupsi besar yang sering kali mendapatkan hukuman ringan atau bahkan bebas. Menurut laporan Transparency International, Indonesia masih menghadapi tantangan korupsi sistemik dalam penegakan hukum, yang diperparah oleh stratifikasi sosial. Penegak hukum cenderung lebih lunak terhadap pelaku dari kelas sosial tinggi karena suap atau tekanan politik.

Kasus Ketidakadilan di Indonesia

Kasus lain yang mencerminkan ketimpangan adalah penanganan demonstrasi buruh vs kasus korupsi elit. Pada 2020, polisi menggunakan kekerasan terhadap demonstran yang menentang UU Cipta Kerja, sementara kasus korupsi besar seperti Jiwasraya sering kali berlarut-larut tanpa hukuman tegas. Hal ini menunjukkan bahwa penegak hukum cenderung memihak kelompok elit, sebagian karena tekanan sosial atau ekonomi.

Untuk memahami lebih lanjut tentang permasalahan sosial yang memengaruhi hukum, baca artikel tentang contoh permasalahan sosial di masyarakat.

Dampak Stratifikasi Sosial pada Kepatuhan Hukum Masyarakat

Stratifikasi sosial tidak hanya memengaruhi pembuat dan penegak hukum, tetapi juga kepatuhan masyarakat terhadap hukum. Menurut H.L.A. Hart, hukum memiliki aturan utama (perintah langsung) dan aturan sekunder (prosedur pembuatan hukum). Namun, ketimpangan sosial menghambat pemahaman dan kepatuhan terhadap aturan ini, terutama di kalangan masyarakat marginal.

Kesenjangan Akses Hukum

Masyarakat miskin sering kali kesulitan mengakses layanan hukum, seperti pengacara atau bantuan hukum gratis. Laporan Komnas HAM menunjukkan bahwa banyak masyarakat marginal tidak memahami hak hukum mereka, sehingga cenderung patuh pada hukum secara pasif atau justru melanggar karena ketidaktahuan. Sebaliknya, kelompok elit memiliki akses lebih besar ke sumber daya hukum, seperti pengacara ternama, yang memungkinkan mereka menghindari hukuman.

  Penyebab Terjadinya Konflik Sosial Dalam Organisasi

Contoh Kepatuhan Hukum

Di daerah pedesaan, stratifikasi sosial sering kali menghambat kepatuhan hukum karena rendahnya literasi hukum. Sebaliknya, di perkotaan, ketimpangan ekonomi mendorong pelanggaran hukum seperti suap untuk mendapatkan keuntungan. Untuk memahami lebih lanjut tentang dinamika sosial di pedesaan dan perkotaan, baca artikel tentang sosiologi perkotaan dan sosiologi pedesaan.

Tantangan dalam Mengatasi Dampak Stratifikasi Sosial

Mengatasi dampak stratifikasi sosial dalam sistem hukum menghadapi beberapa tantangan besar:

  • Kurangnya Integritas Penegak Hukum: Korupsi dan kolusi masih menjadi masalah utama, seperti yang ditunjukkan oleh Indeks Persepsi Korupsi Indonesia (Transparency International).
  • Prosedur Seleksi Penegak Hukum: Seleksi hakim atau jaksa sering kali dipengaruhi oleh koneksi politik atau ekonomi.
  • Ketimpangan Akses Keadilan: Masyarakat marginal kesulitan mendapatkan bantuan hukum gratis.
  • Fanatisme Sosial: Sikap fanatik terhadap kelompok sosial tertentu dapat memperkuat bias dalam penegakan hukum. Baca lebih lanjut tentang fanatisme dan contoh fanatisme dalam masyarakat.

Solusi dan Rekomendasi

Untuk mengurangi dampak stratifikasi sosial pada pembuat dan penegak hukum, diperlukan pendekatan yang komprehensif, meliputi reformasi hukum, pemanfaatan teknologi, dan pendidikan masyarakat.

Reformasi Hukum untuk Keadilan Inklusif

Reformasi sistem hukum harus mencakup:

  • Prosedur Seleksi yang Transparan: Seleksi penegak hukum harus bebas dari intervensi politik dan ekonomi.
  • Kebijakan Inklusif: Pembuat hukum harus melibatkan masyarakat marginal dalam proses legislasi, seperti melalui konsultasi publik.
  • Pelatihan Integritas: Penegak hukum perlu dilatih untuk menghindari bias kelas sosial.

Peran Teknologi dalam Penegakan Hukum

Sistem Penanganan Perkara Pidana Terpadu (SPPT-TI) yang dikembangkan oleh Mahkamah Agung dapat meningkatkan transparansi dan efisiensi penegakan hukum. Teknologi ini memungkinkan integrasi data antar lembaga, sehingga mengurangi peluang manipulasi atau bias. Selain itu, teknologi seperti aplikasi bantuan hukum online dapat membantu masyarakat marginal mengakses keadilan.

Pendidikan Hukum Masyarakat

Sosialisasi hukum melalui kampanye atau pendidikan formal dapat meningkatkan literasi hukum masyarakat. Program seperti resosialisasi dapat membantu masyarakat memahami hak dan kewajiban mereka, sehingga mengurangi ketimpangan dalam kepatuhan hukum.

Untuk mengatasi krisis sosial yang memengaruhi hukum, baca artikel tentang sosiologi bencana dan lingkungan hidup.

Kesimpulan

Stratifikasi sosial memiliki pengaruh besar terhadap pembuat dan penegak hukum di Indonesia. Ketimpangan sosial menciptakan bias dalam legislasi dan penegakan hukum, yang terlihat dari UU yang menguntungkan elit hingga hukuman yang tidak proporsional bagi masyarakat marginal. Tantangan seperti korupsi, prosedur seleksi yang bermasalah, dan rendahnya literasi hukum memperparah masalah ini. Namun, melalui reformasi hukum, pemanfaatan teknologi seperti SPPT-TI, dan pendidikan masyarakat, Indonesia dapat menuju sistem hukum yang lebih adil dan inklusif. Dukung reformasi hukum dengan memahami hak Anda sebagai warga negara! Untuk informasi lebih lanjut tentang dinamika sosial, kunjungi artikel tentang stratifikasi sosial.