– Lagi cari Contoh Fenomena Sosial Budaya di Masyarakat Indonesia Menurut Teori Baudrillard. Berikut ada contoh mengenai Coffee Shop.
Sobat pasti sudah tak gila dgn istilah kafe/Coffee Shop yg remaja ini kemunculannya semakin merebak di kota-kota besar di Indonesia.
Lalu apa kaitannya dgn Sosiologi? Simak berikut ini penjelasannya.
Fenomena Sosial Kemunculan Coffee Shop di Masa Pandemi, Berikut Analisisnya
Akhir-tamat ini, kemunculan coffee shop di kota-kota besar sudah menjadi panorama sehari-hari yg terus berkembang pesat.
Hal ini mampu dilihat maraknya kafe-kafe dgn banyak sekali konsep di tanah air. Inilah salah satu pola fenomena sosial budaya yg ada di masyarakat
Menurut data yg dihimpun, di tahun 2012 terjadi peningkatan 15 sampai 20 persen jumlah kafe & kedai makanan di kota-kota besar di Indonesia khususnya di Kota Surabaya.
Hal ini diikuti pula dgn kafe-kafe di kota lain seperti Bandung, Makassar, Yogyakarta, & Denpasar. Bahkan, di Ibukota yakni di Jakarta sudah lebih dr 300 kafe yg buka.
Dengan aneka macam macam penyebutannya sendiri, seperti kedai kopi, coffee shop, serta kafe sekalipun yg paling umum.
Semakin menjamur di banyak sekali kalangan dr yg muda hingga yg tua, tetapi kali ini khususnya bagi anak muda.
Maraknya kehadiran kafe simpulan-selesai ini disertai dgn munculnya tema atau desain yg dibuat oleh pemiliknya.
Misalnya, dgn rancangan yg aesthetic, live music, harga yg terjangkau, & tak lupa sajian menu mempesona dr tradisional hingga terbaru.
Hal ini seakan menjadi pesona tersendiri bagi kafe tersebut. Hal ini seolah membuktikan tingginya musim masyarakat kepada keberadaan coffee shop.
Karena makin menjamurnya kafe berbanding lurus dgn minat pasar yg tinggi terhadap eksistensi kafe.
Salah satu contoh dr pemaparan di atas ialah fenomena sosial budaya dimana maraknya kafe di Kota Pekanbaru.
Dimana diketahui bahwa di Pekanbaru keberadaan kafe sendiri sudah mulai menjadi perkiraan bagi anak muda.
Pada dasarnya, kafe di sini berfungsi sebagai tempat untuk menjalin interaksi, bertatap wajah, atau ‘tempat ketiga’, baik dgn sahabat, pacar, keluarga bahkan mitra bisnis.
Di segi lain, keberadaan Kota Pekanbaru selaku kota yg strategis untuk membangun bisnis di Provinsi Riau bahkan Sumatera.
Tidak dapat dipungkiri, hal ini dibuktikan dgn makin maraknya kedatangan bisnis-bisnis FnB (Food And Beverage) yg terdapat di mall-mall yg ada di kota Pekanbaru.
Fenomena lainnya ialah kian maraknya kehidupan malam belum dewasa muda di kota ini mirip nongkrong & hangout.
Hal ini seolah menjadi tuntutan globalisasi yg kuat terhadap kehidupan modern penduduk .
Salah satu contohnya yakni keperluan untuk ajang sosialisasi dgn banyak sekali komunitas yg ada di masyarakat.
Seiring dgn kemajuan zaman, kehidupan penduduk modern terutama di perkotaan mulai mengalami perubahan pola hidup.
Contohnya yakni, pergantian pola hidup yg terjadi dikala ini dgn kebiasaan nongkrong di kafe bagi kelompok masyarakat tertentu.
Keberadaan coffee shop/kafe pula bisa menjadi penyebab munculnya budaya baru. Dalam hal ini, keberadaan kafe kerap diasosiasikan sebagai jiwa profesional anak muda.
Simbol-simbol yg dimunculkan oleh keberadaan kafe pula kerap diartikan selaku anak muda yg gaul, produktif, dinamis, mapan & sukses.
Hal ini pula tak terlepas dr budaya pop yg ada di perkotaan. Contohnya merupakan film-film barat & Korea yg kerap memperlihatkan adegan yg berlatar belakang kafe.
Atau pula film yg memperlihatkan tokoh utamanya sebagai pekerja di kafe seakan dimaknai bahwa kafe tak mampu lepas dr kehidupan sehari-hari (Kholik, 2018).
Fenomena sosial budaya di penduduk Indonesia ini mampu dimaknai sebagai kebutuhan pekerja urban dgn ruang kerja sehingga dapat mereduksi kebosanan pada saat bekerja.
Selain itu hal ini pula dapat dimaknai dgn apa yg disebut sebagai ‘masyarakat tontonan’ & penanda status sosial.
Dengan mengunggah foto pada ketika di kafe dapat memenuhi kepentingan kaum menengah ketika ini, serta pula menjadi kultur atau budaya insan, alasannya menu masakan & minuman yg disediakan tak bisa dibilang murah.
Contoh Fenomena Sosial Budaya di Masyarakat Indonesia : Teori Baudrillard
Menurut Baudrillard, budaya modern dikala ini sudah memasuki kurun konsumerisme atau konsumsi yg bersumber dr dunia barat.
Di tahun 1970, Baudrillard menawarkan bahwa masyarakat tak lagi hidup berdasarkan fungsi barang/nilai guna yg dihasilkan dr barang tersebut.
Melainkan pada komoditas selaku nilai tanda & simbol yg penggunaannya bersifat sembarangan.
Menurut Baudrillard, masyarakat konsumtif condong menemukan kesenangan atau kenikmatan
dengan cara membeli & menyantap tata cara tanda yg dimiliki bersama.
Dalam konteks kali ini, meninjau maraknya fenomena coffee shop akan menyebabkan asumsi terhadap fenomena konsumerisme terhadap dimensi spasial.
Para hadirin kafe (customer/pelanggan) akan menggambarkan apa yg mereka gunakan.
Seperti berfoto, update status di Instagram & Whatsapp hal ini seolah menjadi pembuktian diri mereka eksis di aneka macam dunia maya.
Kebutuhan pun menjadi dikaburkan oleh suatu kepuasan yg sementara (semu) kemudian menjadikannya pula selaku kebutuhan palsu.
Di mana kebutuhan tersebut hadir dlm budaya konsumerisme berwujud nilai-nilai yg didapat dlm keterkaitannya dgn kekerabatan sosial.
Contohnya, dlm konteks ini seperti status sosial, kemewahan (prestise) ataupun gambaran yg melekat dlm suatu komoditas (Fauzi et al., 2017).
Menurut Baudrillard, apa yg dikonsumsi masyarakat pada dasarnya bukanlah objek tersebut melainkan tanda.
Konsumsi merupakan suatu sistem aksi dr manipulasi tanda, sehingga mengkonsumsi objek tertentu membuktikan bahwa kita sama dgn orang lain.
Yang mengonsumsi objek tersebut, & di ketika yg sama kita berbeda dgn orang yg mengonsumsi objek yg lain.
Inilah yg disebut Baudrillard sebagai kode, yg kemudian apa yg kita semestinya konsumsi & apa yg tak menjadi konsumsi kita (Nasiwan & Wahyuni, 2016).
Melihat kembali fenomena coffee shop yg ramai simpulan-tamat ini menggambarkan sebagai pola hidup yg berorientasi pada konsumsi ruang.
Sebagai akibat meningkatnya keleluasaan bentuk bikinan yg bergantung pada seruan konsumen.
Dalam hal ini, melihat bagaimana aktualisasi diri pada hadirin coffee shop terlihat pada acara konsumsi mereka di kafe lewat banyak sekali macam bentuk penyesuaian seperti berfoto atau update status di media sosial.
Hal ini menggambarkan tak ubahnya konsumen bersifat selektif dgn apa yg mereka konsumsi hanya bersifat sementara saja, & bukan lagi pada substansinya.
Karena yg terjadi adalah masyarakat tak berbelanja apa yg mereka butuhkan, namun membeli apa yg ‘instruksi’ sampaikan pada kita tentang apa yg sebaiknya dibeli.
Nah itulah sekilas pembahasan & penjelasan mengenai topik wacana Contoh Fenomena Sosial Budaya di Masyarakat Indonesia Menurut Teori Baudrillard.
Penulis αrtikel : Mαhαsiswα Sosiologi Universitαs Riαu, Hussein Ruslαn Rαfsαnjαni
Sumber Referensi :
Fauzi, A., Punia, I. N., & Kamajaya, G. (2017). Budaya Nongkrong Anak Muda di Kafe (Tinjauan Gaya Hidup Anak Muda di Kota Denpasar). Jurnal Ilmiah Sosiologi (SOROT), 3(5), 40–47. https://ojs.unud.ac.id/index.php/sorot/article/view/29665
Kholik, N. S. (2018). Kajian Gaya Hidup Kaum Muda Penggemar Coffee Shop. In Jurnal UIN.
Nasiwan, & Wahyuni, Y. S. (2016). Seri Teori-Teori Sosial di Indonesia.