Lahirnya Pola 17 Plus Bimbingan Dan Konseling

Pelaksanaan Bimbingan & Penyuluhan di sekolah diselenggarakan dgn pola yg tak terperinci, ketidak jelasan contoh yg harus diterapkan berefek pada buruknya gambaran bimbingan & konseling, sehingga melahirkan miskonsepsi terhadap pelaksanaan BK, munculnya persepsi negatif kepada pelaksanaan BK, aneka macam kritikan timbul selaku wujud ketidakpuasan atas kinerja Guru Pembimbing sehingga terjadi kesalahpahaman, persepsi negatif & miskonsepsi berlarut. Masalah menggejala diantaranya: konselor sekolah dianggap polisi sekolah, BK dianggap semata-mata sebagai pertolongan rekomendasi, BK dibatasi pada menanggulangi persoalan yg insidental, BK dibatasi untuk klien-klien tertentu saja, BK melayani ”orang sakit” & atau ”kurang wajar ”, BK bekerja sendiri, konselor sekolah harus aktif sementara pihak lain pasif, adanya fikiran bahwa pekerjaan BK dapat dilaksanakan oleh semua orang, pelayanan BK berpusat pada unek-unek pertama saja, menganggap hasil pekerjaan BK harus secepatnya dilihat, menyamaratakan cara pemecahan masalah bagi semua klien, memusatkan perjuangan BK pada penggunaan instrumentasi BK (tes, inventori, kuesioner & lain-lain) & BK dibatasi untuk menangani duduk perkara-duduk perkara yg ringan saja.

Pelaksanaan Bimbingan & Penyuluhan di sekolah diselenggarakan dgn contoh yg tak terang, ketidak jelasan contoh yg harus dipraktekkan disebabkan diantaranya oleh hal-hal sebagai berikut :

1. Belum adanya hukum

Sejak Konferensi di Malang tahun 1960 sampai dgn munculnya Jurusan Bimbingan & Penyuluhan di IKIP Bandung & IKIP Malang tahun 1964, fokus pemikiran yaitu mendesain pendidikan untuk mencetak tenaga-tenaga BP di sekolah. Tahun 1975 Konvensi Nasional Bimbingan I di Malang berhasil menelurkan keputusan penting diantaranya terbentuknya Organisasi tutorial dgn nama Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI). Melalui IPBI inilah kelak yg akan berjuang untuk memperolah Payung hukum pelaksanaan Bimbingan dann Penyuluhan di sekolah menjadi terang arah kegiatannya.

  Asas Bimbingan Dan Konseling

2. Semangat hebat untuk melaksanakan

BP di sekolahLahirnya SK Menpan No. 026/Menpan/1989 wacana Angka Kredit bagi Jabatan Guru dlm lingkungan Departemen Pendidikan & Kebudayaan. Merupakan angin segar pelaksanaan Bimbingan & Penyuluhan di sekolah. Semangat yg hebat untuk melaksanakan ini lantaran di sana dibilang “Tugas guru yakni mengajar dan/atau membimbing.” Penafsiran pelaksanaan ini di sekolah & didukung tenaga atau guru pembimbing yg berasal dr lulusan Jurusan Bimbingan & Penyuluhan atau Jurusan Psikologi Pendidikan & Bimbingan (sejak tahun 1984/1985) masih kurang, menjadikan pelaksanaan Bimbingan & Penyuluhan di sekolah tak terperinci. Lebih-lebih lagi dilaksanakan oleh guru-guru yg ditugasi sekolah berasal dr guru yg senior atau mau pensiun, guru yg kelemahan jam mata pelajaran untuk menyanggupi tuntutan angka kreditnya. Pengakuan legal dgn SK Menpan tersebut menjadi jauh arahnya khususnya untuk pelaksanaan Bimbingan & Penyuluhan di sekolah.

3. Belum ada aturan main yg terang

Apa, mengapa, untuk apa, bagaimana, pada siapa, oleh siapa, kapan & di mana pelaksanaan Bimbingan & Penyuluhan dilaksanakan pula belum terang. Oleh siapa panduan & penyuluhan dilaksanakan, di sekolah banyak terjadi diberikan pada guru-guru senior, guru-guru yg mau pensiun, guru mata pelajaran yg kurang jam mengajarnya untuk menyanggupi tuntutan angka kreditnya. Guru-guru ini jelas sebagian besar tak menguasai & memang tak disediakan untuk menjadi Guru Pembimbing. Kesan yg tertangkap di masyarakat terutama orang tua murid Bimbingan Penyuluhan tugasnya menuntaskan anak yg bermasalah. Sehingga tatkala orang renta diundang ke sekolah apalagi yg memanggil Guru Pembimbing, orang tua menjadi malu, & dr rumah sudah berpikir ada apa dgn anaknya, bermasalah atau mempunyai problem apakah. Dari sisi pengawasan, pula belum terang arah & pelaksanaan pengawasannya. Selain itu dgn teladan yg tak terang tersebut menimbulkan:

  • Guru BP (sekarang Konselor Sekolah) belum mampu mengoptimalisasikan tugas & fungsinya dlm memperlihatkan pelayanan terhadap siswa yg menjadi tanggungjawabnya. Yang terjadi malah guru pembimbing ditugasi mengajarkan salah satu mata pelajaran seperti Bahasa Indonesia, Kesenian, dsb.nya.
  • Guru Pembimbing merangkap pustakawan, pengumpul & pengolah nilai siswa dlm kelaskelas tertentu serta berfungsi selaku guru piket & guru pengganti bagi guru mata pelajaran yg berhalangan hadir.
  • Guru Pembimbing ditugasi sebagai “polisi sekolah” yg mengurusi & menghakimi para siswa yg tak mematuhi peraturan sekolah seperti terlambat masuk, tak menggunakan busana seragam atau baju yg dikeluarkan dr celana atau rok.
  • Kepala Sekolah tak mampu melakukan pengawasan, lantaran tak mengerti program pelayanan serta belum mampu memfasilitasi kesibukan layanan bimbingan di sekolahnya.
  • Terjadi persepsi & persepsi yg keliru dr personil sekolah kepada peran & fungsi guru pembimbing, sehingga tak terjalin kolaborasi sebagaimana yg diharapkan dlm organisasi bimbingan & konseling.Kondisi-keadaan seperti di atas, nyaris terjadi pada setiap sekolah di Indonesia.

Lahirnya Pola 17 Plus

Program layanan bimbingan Konseling tak mampu berjalan dgn efektif apabila tak didukung dgn profesionalismenya guru BK tersebut dlm melayani siswanya dgn terprogram dengan-cara efektif apabila kurang atau tak disokong aspek lain, misalnya faktor pengalaman melakukan pekerjaan .

Layanan konseling yg diberikan pada penerima didik untuk mencar ilmu dgn efektif. Efektivitas konseling dapat tercapai bila seorang konselor atau guru pembimbing melaksanakan teladan 17, antara lain:

  1. bidang tutorial langsung,
  2. bidang tutorial sosial,
  3. bidang tutorial belajar,
  4. bidang tutorial karier.

Sedangkan tujuh layanan panduan & konseling meliputi :

  1. layanan orientasi,
  2. layanan isu,
  3. layanan penempatan & pengukuran,
  4. layanan pembelajaran,
  5. layanan konseling individual,
  6. layanan tutorial kelompok,
  7. konseling kalangan.

Dan lima aktivitas penunjang layanan tutorial & konseling, meliputi:

  1. aplikasi instrumentasi,
  2. himpunan data & studi kasus,
  3. kunjungan rumah, dan
  4. alih tangan kasus.

Jika pola 17 tutorial konseling mampu dilaksanakan maksimal, terprogram, & berkualitas, mampu menunjang hasil mencar ilmu siswa. Pelaksanaan bimbingan konseling teladan 17 tersebut dapat optimal apabila dlm kurikulum diberikan alokasi waktu sekurang-kurangnya1 jam pelajaran sehingga empat bidang tutorial, delapan layanan, & lima kesibukan penunjang dapat diberikan pada seluruh siswa & bukan pada siswa yg memiliki masalah saja.