Penyampaian aspirasi penduduk sipil, untuk wilayah masing-masing dlm hal ini mengenai “Draf RUU Cipta Kerja & naskah akademiknya telah disampaikan oleh Pemerintah ke dewan perwakilan rakyat. RUU yg memakai pendekatan omnibus law ini dlm proses penyusunannya di lingkup Pemerintah menyimpan banyak masalah.
Pemerintah hanya membuka jalan masuk & melibatkan asosiasi usahawan tertentu & sama sekali tak membuka saluran pada publik dengan-cara luas. Prosesnya pun condong ingin dipercepat sebagaimana isyarat Presiden yakni dlm 100 hari.
Hanya perkumpulan usahawan besar & segelintir elit yg mempunyai susukan sedangkan penduduk yg akan terkena dampak tak dilibatkan sama sekali. Akses publik sama sekali tak gampang dlm mengakses RUU Cipta Kerja ini. Sangat berlawanan dgn RUU yang lain yg bisa dikritisi semenjak pembahasan di tingkat pemerintah.
Permasalahan RUU Cipta Kerja tak cuma terdapat dlm proses, melainkan pula pada substansi. RUU ini masih memasukkan ketentuan yg sudah dinyatakan tak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi.
Bahkan, Pasal 170 RUU Cipta Kerja pula menawarkan kewenangan bagi Pemerintah untuk mengganti isi Undang-undang hanya melalui peraturan pemerintah. Selain itu terdapat begitu banyak bahan dlm RUU Cipta Kerja yg melebihi niatan yg disampaikan Pemerintah pada publik bahwa RUU ini akan melakukan simplifikasi perizinan berusaha.
Usaha Pemerintah untuk melakukan pembenahan regulasi, yg sebetulnya merupakan penyebab utama kurang atraktifnya Indonesia untuk investor, malah tersia-sia begitu. Alih-alih membenahi situasi hiper-regulasi, justru RUU Cipta Kerja menambah lebih banyak peraturan pelaksana untuk implementasinya; tanpa proses penilaian & monitoring yg terperinci.
Substansi yg dikelola dlm RUU ini pula menabrak banyak undang-undang & metode yg sudah biasa berlaku, mulai ketenagakerjaan, kelautan, perikanan, tata ruang, lingkungan hidup, bangunan gedung, pangan, kehutanan, kearifan lokal hingga media.
Dalam bidang ketenagakerjaan banyak ketentuan yg akan menimbulkan perbudakan baru alasannya adalah pekerja dieksploitasi membabi buta sehingga kehilangan jaminan hak serta proteksi dlm pekerjaannya.
Dalam bidang lingkungan hidup, penghapusan pasal akreditasi kearifan lokal untuk melakukan pembakaran lahan seluas 2 hektar dihapus, sehingga berpotensi menjerat masyarakat adat & peladang tradisional. Ironisnya, korporasi akan sukar dijerat alasannya penegakan aturan pidana bersifat ultimum remedium (mesti didahului dgn sanksi administratif).
Materi lain yg tak berhubungan dgn akomodasi perijinan berupaya ialah tentang pemberian ruang bagi pemerintah untuk campur tangan dlm pemberitaan media. Permasalahan lain yg turut mewarnai materu RUU Cipta Kerja ini yakni pengabaian total pada faktor lingkungan hidup, tergolong pada hak-hak penduduk adat.
Dampak yg ditimbulkan pun akan sungguh luas yaitu rusaknya lingkungan, runtuhnya keadaban hukum, & kriminalisasi yg bertambah banyak terhadap peladang tradisional. Hancurnya lingkungan, rusaknya aturan, & justifikasi perampasan hak-hak masyarakat akan menjinjing Indonesia ke ketimpangan yg semakin dalam. Apabila dampak itu yg terjadi, maka RUU Cipta Kerja menjadi RUU terburuk semenjak masa reformasi.
Patut dikenang bahwa Pemerintah menargetkan proses penyusunan serta pembahasan di dewan perwakilan rakyat dlm waktu 100 hari. Sungguh disayangkan pula bahwa tugas DPR yg sebaiknya sebagai penyeimbang eksekutif justru tak menjalankan perannya. Suara publik yg kritis & kencang menolak RUU Cipta Kerja tak tersuarakan oleh DPR; malah justru yg keluar adalah bagaimana proses pembahasan RUU CIpta Kerja ini secepat mungkin; alih-alih pembahasan mengenai bahan.
Penolakan yg terjadi bukan cuma organisasi masyarakat sipil, mahasiswa & kelompok buruh yg kritis menolak RUU Cipta Kerja ini, namun pula akademisi dr berbagai disiplin ilmu dgn semangat penolakan yg sama. Dengan pendekatan kejar tayang & serba terburu-buru sebagaimana diperlihatkan dewan perwakilan rakyat & Presiden; bukan tak mungkin RUU Cipta Kerja jika diundangkan menjadi sejarah sebagai UU yg efektivitasnya gagal.
Saat ini Pemerintah tengah menyusun peraturan pelaksana RUU Cipta Kerja bahkan sebelum pembahasan di dewan perwakilan rakyat dimulai. Bahkan paralel dgn waktu pembahasan di DPR, peraturan pelaksana RUU CIpta Kerja sudah mulai dibahas di kementerian.
Belajar dr banyak sekali pengalaman penyusunan RUU di periode DPR lalu & melihat cepatnya proses yg terjadi untuk RUU Cipta Kerja ini, Koalisi Masyarakat Sipil untuk RUU Cipta Kerja mendesak semoga:
1. Presiden menarik kembali Surat Presiden (Surpres) & RUU Cipta Kerja yg telah diantarke DPR.
2. dewan perwakilan rakyat menolak & menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja.
3. Akademisi & pakar yg terlibat & dilibatkan dlm pembahasan RUU Cipta Karya mesti menyaksikan kepentingan publik selaku yg utama, & berhenti menggadaikan ilmu yg dimilikinya.
Jakarta, 1 Maret 2020
Koalisi Masyarakat Sipil Tolak RUU Cipta Kerja
Koalisi Masyarakat Sipil Tolak RUU Cipta Kerja
AMAN, Auriga, ELSAM, Greenpeace, ICEL, ICW, ICJR, Kontras, LBH Jakarta, LBH Pers, Perludem, PPMAN, PSHK, Sajogyo Institut, Walhi, Yappika, YLBHI