Tokoh Agama kini, Berpartisipasi dlm setiap proses pemilihan mencari atau kandidat pemimpin ini, dimana dlm tulisannya dengan-cara garis besar mengkritik para golputers yg ia anggap udik, parasit, & tak menimbang-nimbang masa depan bangsa.
Ia beranggapan bahwa, pemilu ialah sarana paling demokratis semoga publik menerima pemimpin yg terbaik dr yg terburuk. Kaprikornus konsekuensi dr argumen ini yakni seburuk apapun kedua paslon, niscaya ada yg lebih mendingan. Nah itu yg mesti dipilih.
Argumen ini bahu-membahu mengalami beberapa kejanggalan apabila dibedah satu persatu. Apa keunggulan dr kedua kubu sehingga mereka harus dipilih? Apakah benar, Jokowi & Prabowo mempunyai acara yg mampu memecahkan masalah bangsa ini kedepannya?
Franz Magnis biar bisa menentukan kandidat presiden dgn baik, cuma dgn dua masalah; persoalan HAM & Konflik Agraria. debat pertama Capres-Cawapres dgn tema “Hak Asasi Manusia & Hukum,” baik Prabowo maupun Jokowi sama-sama gagal menerangkan dengan-cara nyata capaian-capaian mereka, ataupun pemahaman mendalam mereka terhadap masalah HAM.
Sama sekali tak membahas akar konflik agaria di tingkat akar rumput. Konflik Samin vs Semen, pertentangan warga vs Pengembang bandara Kulon Progo, serta kasus kejahatan yg menimpa Budi Pego pun tak dibicarakan. Krisis lingkungan & kerusakan ekologis di daerah pertambangan & sawit, pula tak dibahas sama sekali.
Gerakan Golput ialah hal yg sangat berhubungan ketika ini. Mengapa? Semua pintu untuk publik ikut serta dlm pemilu telah ditutup oleh kekuasaan, metode threshold 20 persen belum pula dicabut. Hal ini menciptakan publik tak bisa mencalonkan presiden dengan-cara independen tanpa melalui partai. Padahal, bertambah banyak calon akan makin baik. Publik pun mampu menyeleksi & memilih dgn seksama.
Sementara, cara selanjutnya agar publik bisa berpartisipasi dlm proses politik yakni membuat partai politik. Namun untuk membuat partai politik yg bisa disahkan oleh KPU, publik diberikan syarat yg seabrek & butuh ongkos milyaran rupiah untuk mendirikan cabang DPC/DPD tiap kota.
Mungkinkah, hal ini membuat sebagian besar partai yg mengikuti pemilu, berkembang & dihidupi oleh orang kaya & usahawan besar yg tak mempunyai ikatan yg kuat dgn penduduk bawah. Maka jangan heran bila kebijakan-kebijakan yg dibentuk partai condong tak berpihak pada rakyat miskin.
Referensi : DiKutip Salah Satu Media Online