Mengenal sesuatu yg baru bukan menjadi persoalan, tetapi ialah suatu anugrah yg baik oleh Sang Kuasa. Melaui alat indera, manusia member makna atau tanda yg dlm untuk dijadikan isyarat . Keunikan insan dlm menunjukkan isyarat dlm memberikan suatu keterangan, fakta, & insiden yg dialami.
Tak banyak yg menduga hal ini mampu dilaksanakan,seperti tatkala ia mengeluarkan bahasanya. Tanpa bahasa kita tak akan dapat mengerti apa yg dipikirkan. Kerumitan yg ada, tanpa diutarakan pun pula akan sukar dimengerti. Sehingga, banyaknya insan akan terus bersyukur dgn apa yg mampu dikatakan dgn tanda yg menurutnya mampu diartikan bagi yg mampu memahaminya.
Meski manusia punya bahasa, tapi dlm prakteknya sehari-hari manusia masih harus melaksanakan interpretasi atau upaya memberi makna kepada bahasa. Apalagi sudah tertulis menjadi bahasa yg baku & tercetak di media massa. Upaya memberikan makna menjadi hambatan yg tak boleh dianggap gampang. Hal ini dikarenakan akan timbul bias atau bahkan penyimpangan makna lewat interpretasinya yg salah atau konteks berpikir yg berlainan.
Makna terhadap simbol insan kerap kali mengakibatkan ketegangan tersendiri. Apalagi dikaitkan dgn ideology latar belakang para penyampai pesan serta mereka yg menginterpretansikan pedan. Pemaknaan symbol komunikasi verbal ini disebut dgn semiotika. Istilah yg dewasa ini teramat popular dikalangan perguruan tinggi.
Pengunaan disiplin ilmu, yg dimulai dr pendekatan, metodologi, atau suatu kajian yg berkaitan dgn semiotika ini, sekarang lebih erat dr banyak sekali golongan, baik itu akademisi, mahasiwa & para hebat dibidang mahir komunikasi. Untuk itu, mari kita membahas dengan-cara sederhana dr teori dusta ini. Bagaimana kegunanannya, manfaatnya, bahkan gejala kebohongan & kebenaran yg mampu dipraktekkan dlm teori dusta ini.
Berdasarkan dr para penulis semiotika, bahwa semiotika berasal dr bahasa Yunani, yg bearti tanda. Tanda itu dibangun atas konvensi sosial yg terbangun sebelumnya, & dapat mengwakili sesuatu yg lain. Misalkan asap, yg menandai adanya api. Maka, pemaknaan tanda bearti ada sesuatu yg terjadi baik itu suatu kebohongan atau tidak.
Kemudian, banyak lagi tanda yg mampu kita amati, misalnya disekitar lingkungan kita ada hingar bingar maka mereka akan memberikan tanda, agar tak dilewati & semacamnya. Yang tentunya memperlihatkan petanda bahwa ada pesta yg dilaksanakan. Dalam teori Semiotika, hal ini ialah suatu tanda yg mesti kita mengerti & pahami. Sehingga, menjadi petunjuk bagi kita untuk mengetahui gejala apa yg disampaikan seseorang bagi kita untuk dipahami. Maka, dr teori semiotika ini dapat dikatakan selaku penyampaian informasi yg begitu baik.
Tetapi, kita mampu mengerti pula peran semiotika bagi media massa, untuk pendidikan pula yg mesti diketahui khalayak. Tetapi hal itu pastinya ditanggapilah para hebat seperti Althusser perihal media dianggap oleh Gramsci (1971) justru mengabaikan. Baginya, media massa selaku pergulatan ideology yg saling berkompetensi. Hal ini dilihat, bahwa media mampu menjadi fasilitas penyebaran ideology penguasa & public, kemudian disisi lain mampu menjadi suatu resistensi terhadap kekuasaan.
Artinya, bahwa media mampu dihasilkan selaku kepentingan ideology antara penduduk & negara. Dan dlm diri media massa pula ada kepentingan keberlangsungan pekerja media, wartawan, & karyawan. Dalam kondisi ini media, mungkin berdiri statis, netral, ditengah-tengah, media massa begitu dinamis diantara pusaran-pusaran kepentingan yg sedang bermain.
Dengan didukungnya penduduk modern, maka media massa menjadi salah satu alat dlm memilih perilaku politiknya. Hal ini, pastinya media massa mengakibatkan perkembangan masyarakat dlm politik. Tetapi sungguh disayangkan, jikalau masih ada yg berpendapat bahwa media massa akan menawarkan keterangan yg sesuai dgn kenyataan ataukan kebenaraan. Maka, hal ini perlu dicermati dgn seksama, & dipahami dengan-cara dlm apa yg menjadi masalah terhadap media massa, lewat pemahaman teori ini.