Jika dilihat dr system pertanian dgn ladang berpindah tentunya merupakan salah satu dilema, dgn demikian pemerintah memutuskan sebuah kebijakan dgn program-acara yg sudah ditetapkan, & dgn makin banyaknya hutan yg diolah & diatur oleh pemegang HPH. Semakin luas tempat hutan yg dikontrol oleh pemegang (HPH) itu, maka hutan untuk perladangan bagi para peladang makin menyempit.
- 1. Suatu daerah di hutan atau di Sabana dibersihkan (ditebang atau di bakar)
- 2. Bidang tanah ladang yg dgn demikian dibuka, ditanami satu sampai paling banyak lima kali (1-3 tahun).
- 3. Kemudian, ladang tadi dibiarkan dlm waktu yg lama (10-15 tahun), sehingga menjadi hutan kembali.
- 4. Sesudah itu, hutan bekas ladang tadi di buka lagi dgn cara-cara mirip tersebut dlm 1, & demikian seterusnya.
Jika menurut history nya mengenai ladang berpindah, bercocok tanam di ladang telah dimulai dilakukan manusia sejak jaman Neolitik hingga saat ini. Cara bercocok tanam ini tersebar di wilayah-kawasan tropic & subtropik mirip di Afrika, Asia Selatan & Tenggara (tergolong Indonesia). Untuk menyaksikan kecocokan yg ada di Indonesia, maka daera-kawasan yg semula terdapat cocok tanam ladang berpindah ialah di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi Tengah, Kepulauan Maluku, Nusa Tenggara, Papua & beberapa tempat di Jawa Barat.
Salah satu kebijakan yg dijalankan pemerintah saat itu, bahwa mengganti teladan cocok tanam perladangan, maka eksistensi & kelestarian para petani ladang berpindah kian kurang mendapat tempat. Dari beberapa pakar menerangkan bahwa petani ladang berpindah ini selaku masyarakat petani, melainkan hanya dikategorikan selaku penccocok tanam. Secara cultural para pencocok tanam ini, tingkatannya masih berada dibawah masyarakat petani.