Ambarawa ialah satu dr sekian banyak kota yg menjadi saksi sejarah perjuangan tatkala bangsa Indonesia berusaha mendapatkan kemerdekaan dr penjajahan. Penyebab terjadinya peperangan Ambarawa mencetuskan suatu insiden bersejarah dlm usaha kemerdekaan Indonesia. Di Ambarawa pernah terjadi peperangan melawan tentara Sekutu di masa – masa perjuangan kemerdekaan yg berlangsung dr 11 Desember hingga 15 Desember 1945, tatkala itu kemenangan diraih oleh para pejuang Indonesia. Kemenangan tersebut diabadikan pada satu monumen yg berjulukan Palagan Ambarawa. Dekat Ambarawa bahkan ada pula situs sejarah Candi Gedong Songo.
Tidak hanya menyimpan banyak kisah sejarah, Ambarawa yg masih merupakan kepingan dr Kabupaten Semarang ini pula menjadi tempat rekreasi yg memiliki peluang. Salah satu tempat tujuan rekreasi di Kab.Semarang, Jawa Tengah ini yaitu Museum Kereta Api Ambarawa. Keberadaan museum kereta api paling besar di Indonesia ini tak mampu dilepaskan dr sejarah penjajahan Belanda pada ketika itu. Bangunannya yg yang dibuat dr bata masih menggambarkan bagaimana jayanya transportasi perkereta apian pada masa kolonial eropa di Indonesia. Tidak jauh dr Ambawara ada sejarah Lawang Sewu & sejarah Masjid Agung Semarang sebagai cuilan dr bangunan yg bernilai sejarah di kota Semarang.
Sejarah Museum Ambarawa
Pada zaman Hindia Belanda, kota Ambarawa merupakan salah satu kawasan militer Belanda semenjak pendirian benteng besar milik Belanda, bernama benteng Willem I. Sejak itu Ambarawa pelan – pelan menjelma garnisun militer yg penting bagi para tentara Belanda di masa penjajahan Belanda di Indonesia. Selain itu dgn dibukanya izin investasi oleh pemerintah kolonial, bermunculan pebisnis – pebisnis swasta yg membuka perkebunan kopi di sekitar Ambarawa. Semua itu menyebabkan pemerintah kolonial merasa perlu membuat suatu fasilitas pengangkutan massal yg dapat mengakomodasi keperluan hasil perkebunan kopi & pula kegiatan militernya. Kereta yg mampu memuat banyak barang dlm sekali jalan menjadi tanggapan dr kebutuhan tersebut.
Raja Willem I , kepala kerajaan Belanda pada masa itu mengawali sejarah museum Ambarawa dgn membangun stasiun & jalur kereta api gres pada tanggal 21 Mei 1873 di Ambarawa yg bersahabat dgn bentengnya. Tujuan pembangunan stasiun ini adalah untuk mempermudah pemerintah kolonial mengangkut persenjataan & tentara dr Ambarawa ke Semarang. Stasiun Ambarawa dibangun di lahan seluas 127.500 meter persegi, & diketahui dgn nama Koenig Willem I. Kota Ambarawa termasuk dlm salah satu kota yg berada di fase I pembangunan jalur kereta api oleh Nederlands Indische Spoorweg Maatschappij (NIS).
Bangunan mulanya memakai materi kayu hingga mengalami renovasi bangunan dgn materi beton pada 1907 dgn arsitektur yg mitip dgn Stasiun Kedungjati & Purwosari tetapi dgn ukuran bangunan yg lebih besar. Jejak dr revolusi industri pada stasiun ini terlihat pada penggunaan material lainnya berbentukbaja, yg dibikin oleh pabrik pengecoran logam di Amsterdam menurut pesanan. Begitu pula dgn tegel – tegel yg dipakai yg dibuat oleh pabrik di Maastricht, Belanda. Sejarah museum ambarawa ini menggambarkan dgn baik kejayaan transportasi kereta api pada masa itu, namun tak terlepas dr aroma diskriminasi yg terjadi pada zaman kolonial terlihat dr adanya pemisahan ruang tunggu yg dikhususkan untuk para penumpang kulit putih & terlarang untuk penumpang pribumi meskipun telah membeli tiket kelas I.
Karena medan di sekeliling stasiun berupa perbukitan, maka jalur kereta menjadi meliuk – liuk. Agar kereta lebih mudah mengikuti jalur tersebut, maka lebar rel yg dipakai perlu diperkecil. itu sebabnya ada dua jenis jalur berlawanan. Lebar rel yg dibuat sebesar 1.435 mm di emplasemen selatan & 1067 mm di emplasemen utara. Jalur dr Kedung jati ke Ambarawa memakai rel 1435 mm sementara Ambarawa – Yogya – Magelang menggunakan rel 1067 mm.
Ambarawa yg letaknya berada di antara gunung Ungaran, Merbabu, & Rawa Pening ini dengan-cara geografis memang terletak di wilayah perbukitan. Agar terhubung dgn kota – kota lain mirip Secang & Gemawang memakai rel kereta api biasa, dibutuhkan jalur yg melingkar. Sebab itulah jalur kereta api Ambarawa berbeda dgn jalur yang lain. Yang membuat jalur ini istimewa yakni penggunaan rel khusus untuk kereta api bergerigi yg biasa digunakan untuk melintasi jalur perbukitan yg banyak mempunyai tanjakan.
Jalur ini pada masa itu dlm sejarah museum Ambarawa ditujukan utamanya untuk kegiatan militer karena kecepatan lokomotif uap B25 yg dipakai cuma sebatas optimal 15 km per jam. Setelah kemerdekaan Indonesia, stasiun ini masih beroperasi dgn melayani rute Ambarawa-Secang – Magelang, Ambarawa – Parakan – Temanggung, Ambarawa – Kedung Jati – Semarang hingga rute – rute tersebut ditutup pada 1975.
Peralihan ke Museum Kereta Api Ambarawa
Sejarah museum Ambarawa memasuki babak gres tatkala stasiun dialih fungsikan pada museum. Seiring dgn dihentikannya produksi kereta uap, pada tahun 1953 Djawatan Kereta Api mulai menggunakan lokomotif diesel. Lokomotif uap yg tak lagi digunakan kemudian menjadi barang antik yg bernilai sejarah, sehingga memunculkan ide untuk mendirikan museum yg berisi lokomotif – lokomotif tersebut. Pada 1976 Gubernur Jateng Soepardjo Rustam & Kepala PJKA Eksploitasi Soeharso mempunyai pandangan baru untuk menciptakan stasiun Ambarawa menjadi Museum Kereta Api . Pada kurun waktu tersebut, banyak dibangun museum – museum di beberapa tempat berlawanan di Indonesia sebagai pecahan dr program pemerintah. Simaklah sejarah museum biologi Yogyakarta & sejarah museum batik Yogyakarta.
Pada tanggal 18 Mei 1976 kemudian dibentuk panitia yg bertugas untuk mengumpulkan materi – materi yg diharapkan untuk mengisi museum & menyusun serta mengajukan desain rencana kerja pada Gubernur Jawa Tengah. Komisi D DPRD Jateng kemudian meninjau bakal lokasi museum tersebut pada 6 Oktober 1976 & menyetujui planning tersebut. Untuk itu dilaksanakan perombakan atau renovasi untuk mendukung fungsi barunya tersebut. Salah satu tujuan dibangunnya museum kereta api ini yakni untuk melestarikan bukti sejarah kemajuan alat transportasi kereta api dr masa ke masa di Indonesia. Peresmian Museum Kereta Api Ambarawa dilakukan oleh Menteri Perhubungan RI Rusmin Noerjadin pada 21 April 1978.
Koleksi Museum Ambarawa
Koleksi museum ini tergolong 22 buah lokomotif uap yg sudah dipensiunkan yg yang dibuat antara tahun 1891 sampai 1928. Salah satu lokomotif tersebut ialah lokomotif CC50 yg diproduksi pada tahun 1927 oleh Schweizerische Lokomotiv und Maschinenfabrik Winterthur, Swiss, & Werkspoor, Belanda. Lokomotif ini pada masa jayanya dijuluki Berkoningin yg artinya Ratu Pegunungan, karena ia ialah lokomotif yg paling sigap dlm menempuh jalur pegunungan yg memiliki tanjakan & berliku – liku.
Dua dr koleksi lokomotif di museum ini masih beroperasi & dipakai sebagai kereta rekreasi yg beroperasi pada akhir pekan. Lokomotif tersebut ialah buatan pabrikan Jerman, B25 02 & B25 03 dgn jenis kereta uap bergerigi. Selain di Ambarawa, rel bergerigi yg masih difungsikan yaitu di Sawahlunto, Sumatera Barat. Kedua lokomotif tersebut dipakai pada dua paket kereta wisata di museum tersebut dgn rute Ambarawa – Bedono yg berjarak tempuh sejauh 9 km dgn kereta penumpang berdinding kayu, tanpa dilengkapi beling jendela. Rute kedua ialah Ambarawa – Tuntang yg jaraknya 10 km dgn panorama Danau Rawa Pening.
Beberapa koleksi gres dlm sejarah museum Ambarawa antara lain lokomotif diesel hidrolik bernama D 300 23 yg asalnya dr Depo Lokomotif Cepu yg dipindahkan ke depo lokomotif Ambarawa pada 6 Oktober 2010. Ada pula kereta inspeksi yg dulu digunakan Sultan Madura, kereta kayu dr Kebonpolo, Magelang, gerbong GR dr Balai Yasa Manggarai, beberapa lokomotif lain, halte kayu di jalur kereta api lama, persinyalan, alat pencetakan tiket, peralatan administrasi, atribut – atribut perusahaan dr zaman SS, NIS hingga PJKA. Saat ini museum tergolong ke dlm Daop IV Semarang, dikelola oleh Unit Pusat Pelestarian & Desain Arsitektur PT. Kereta Api Indonesia bersama Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Tengah.