Contoh Fenomena Sosial : Elite Politik Tebar Baliho, Ini Pandangan Sosiologi

– Sebagian orang memang menyayangkan elite politik di Indonesia malah memboroskan duit untuk pemasangan baliho di sudut kota, meskipun rakyat sedang sukar akhir Pandemi Covid-19. 

Memang tak menjadi problem bagi kaum elite yg punya kuasa & punya modal (dana) dlm memasang baliho tersebut. 

Tentunya bagi rakyat kecil, wong cilik akan menyaksikan elite politiknya tak punya rasa empati & simpati pada rakyatnya yg sedang bertahan hidup di masa Pandemi Covid-19. 

Bagaimana ulasan singkatnya, sosiologi melihat teladan fenomena sosial tebar baliho para elite politik ditengah Pandemi Covid-19 ? Yuk simak ulasannya.  

Pro Kontra Baliho Elite Politik Disaat Pandemi Covid-19 Bertebaran
Belakangan ini kita dihebohkan dgn baliho yg menampakkan wajah Ibu Puan Maharani, dgn tajuk “Kepak Sayap Kebhinekaan.” Banyak yg mendukung, tetapi tak sedikit pula yg memaki & mengkritik adanya baliho tersebut. 
Bagi mereka yg mendukung, ya tak menjadi persoalan adanya baliho tersebut. Bagi mereka yg memaki, ya dijadikan guyonan ditambah dgn tindakan beliau dahulu yg mematikan microphone dikala sedang rapat paripurna Omnibus Law (Ciptaker), & dijadikan meme di sosial media. 
Bagi mereka yg mengkritik, ini merupakan sebuah kerisauan yg mereka hadapi ditengah pandemi. Mereka mengkritik atas adanya baliho tersebut dipublikasikan, sebaiknya selaku pejabat publik, yg menjabat selaku Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 
Ibu Puan lebih care kepada susahnya kondisi pada saat pandemi dikala ini, begitulah komentar, kritik, serta anjuran yg diberikan oleh netizen di sosial media, serta pakar-pakar yg mengamati politik Indonesia. 
Pada tulisan ini, gue akan menyajikan data-data seputar fenomena ini. Mulai dr mereka yg mendukung, yg menghujat, hingga mereka yg menawarkan kritik. 
Disclaimer sedikit, gue tak melakukan penghujatan pada goresan pena ini. Aku pribadi akan menulis fenomena ini dgn sungguh adil, tak memihak, tanpa adanya intervensi dr pihak manapun, ini murni perspektif sendiri serta data-data yg gue kumpulkan. 
Hal ini gue kerjakan, agar tak terjadi kesalahpahaman & jikalau ada yg mempersoalkan goresan pena ini, gue pribadi akan siap bertanggung jawab.
Pembahasan

Sekarang kita masuk pada pembahasan inti, ihwal “Pro-Kontra Baliho Kepak Sayap Kebhinekaan yg jadi guyonan.” Ini memang mempesona untuk dibahas, alasannya adalah sangat ramai di dunia maya. 
Aku pribadi akan membahasnya ke beberapa sudut pandang, selain politik pembahasan ini pula masuk pada pembahasan sosiologinya. 
Apakah ada paradigma, teori, atau perspektif  yg bisa menerangkan tentang fenomena baliho kepak sayap? Kita lihat pada pembahasan di bawah.
Tentu terjadi pro & kontra dlm publikasi baliho ini, mereka yg mendukung tentu menilai tak ada yg salah & harus dipermasalahkan dlm baliho tersebut.
Mereka menilai itu yaitu suatu hal yg dijalankan elit politik dlm mempromosikan dirinya. Mengutip dr (republika.com), “Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Arteria Dahlan, menegaskan keliru pemasangan baliho Ketua dewan perwakilan rakyat Puan Maharani bertujuan untuk kepentingan elektoral. Ia pun meminta semua pihak tak berburuk sangka terkait pemasangan baliho-baliho tersebut.” 
“Keliru yg mengaitkan baliho dgn kepentingan elektoral. Kalau baliho Mbak Puan dr awal memang tak ditujukan & sama sekali, tak ada kaitannya dgn kepentingan elektoral,” Ujar Arteria ketika dihubungi, Jumat (13/8). Arteria melanjutkan, kader-kader yg memasangkan baliho bergambar Puan pula tak bermaksud untuk mendongkrak elektabilitasnya. 
Pendapat para spesialis pengamat politik pun di nilainya tak sempurna ihwal baliho tersebut. “Makanya jangan berburuk sangka tak usah tanya sama konsultan politik atau pakar-pakar yg jago di marketing politik. Kita sangat paham instrumen-instrumen untuk meningkatkan elektabilitas itu apa saja, pastinya bukan baliho,” ujar Arteria.
Nah dr kutipan di atas, sobat-sobat bisa menilai bagaimana pertimbangan yg disampaikan oleh Pak Arteria Dahlan. Kalau menurut saya, sebab ia seorang kader partai yg sama dgn Ibu Puan Maharani, tentu ia memiliki statement yg mendukung adanya publikasi baliho ini. 
Beliau pula mengatakan bahwa, jangan terlalu mempercayai & menyimak mereka yg berstatus sebagai pengamat politik. 
Mereka yg tergabung dlm parpol benar-benar paham dgn instrumen-instrumen elektabilitas kandidat Presiden & Wapres untuk tahun 2024.
Disisi lain, para pengamat politik hingga penulis-penulis yg paham politik menjadi kubu yg kontra terhadap publikasi baliho tersebut, banyak yg mengeluarkan statement ABCDEFG, sehingga mengakibatkan perdebatan di tengah- tengah masyarakat. 
Era arus informasi yg makin cepat ini pula, pula membuat para netizen-netizen di sosial media ikut andil dlm bersuara mengenai pro-kontra publikasi baliho tersebut. 
Aku ada membaca suatu esai yg menarik di (mojok.co) yg ditulis oleh Mas Gusti Aditya, esai tersebut bertajuk “Kisah Nelangsa Baliho Kepak Sayap Kebhinekaan”. 
Selepas membaca artikel itu gue terpikirkan untuk menulis goresan pena ini. Sangat menggelitik satire satire yg dipakai oleh mas Gusti Aditya, yaitu selaku berikut: 
“Mas Bal melanjutkan keluh kesahnya. “Kalau perumahan kan terperinci. Ada rumahnya, ada harganya, ada tempatnya, & ada pula keterangan rincinya. 
Lha kalau Kepak Sayap ini apa jal, Mas? Kampanye, bukan. Mau ngadain agenda mantenan, bukan. Mau sosialisasi kebersihan selama pandemi, bukan.” 
“Oh, mungkin maksudnya mau pamer prestasi, Mas? Kan itu pula termasuk dialektika nggak langsung untuk menyambut pemilu,” jawab saya. “Prestasi macam apa yg hanya menampilkan gambar & jargon, Mas? 
Kepak Sayap Kebhinekaan ini kepak sayap macam apa coba, Mas? Bhineka yg dimaksud itu burung Garuda gitu, ya? Lha wong dengan-cara terminologi saja melenceng jauh dr makna. Duh, isin,” 
Mas Bal menutup rai. Lantas Mas Bal melanjutkan, “Nah, ketimbang mengeluarkan hal yg jelas mbok ya o jelasin dahulu jargonnya itu pada masyarakat biar paham. 
Kan yg paling pinter di Indonesia itu para pejabat di atas sana. Rakyat biasa itu ya tugasnya pas pemilu doang. Dan panas-panasan geber motor di Ring Road Selatan.” 
Mas Bal masih melanjutkan, kali ini lebih berani, “Prestasi blio kalau mau ditampilkan ya pas sidang Omnibus Law itu, Mas. Mematikan mic dengan-cara teatrikal. Kan lebih terang, penduduk apresiasi, & ada maknanya. 
Kalau cuma kepak sayap-kepak sayap nggak mashok itu, tubuhku layaknya ketidakjelasan & serasa papan iklan doang tanpa makna!” “Lantas, apa dong makna matikan mic saat sidang, Mas?” 
“Lho, terang mematikan mic itu berarti. Blio itu hanya mematikan mic doang, Mas. Namun mendengar bunyi penduduk kecil. Lihat saja waktu sidang Omnibus Law, 8 Oktober masyarakat turun ke jalan tanda bahwa blio ini amat Bhineka banget,” kata Mas Baliho.” 
“Nah, mungkin arti dr Kepak Sayap Kebhinekaan, Mas,” kata saya belaga jadi Socrates yg sedang macak jadi bidan dlm sebuah perdebatan. “Weh, iya juga, ya…” kata Mas Bal bikin saya mak jejagik nahan terkejut . Pitikih. 
Sejak tulisan ini diketik & disunting, makin banyak baliho di penjuru negeri yg berubah dr sebelum nya dagangperumahan jadi jualan slogan. 
Dari utara hingga selatan, dr perempatan satu ke perempatan yang lain, baliho-baliho berkembang menjadi sebuah kepak  sayap kebhinekaan. Kata yg indah, namun embuh maknanya apa. 
Lah, selama kita hidup di negeri ini, sebagai masyarakat biasa, memangnya kami punya makna, ya?
Nah begitulah kutipan yg gue baca di (mojok.co). Cukup menggelitik isi dr percakapan dua orang tersebut, Mas Gusti sungguh apik dlm menyajikannya. 
Namun saya pula agak sedikit bingung pada awalnya sebab percakapan tersebut memakai beberapa istilah dr bahasa Jawa. 
Membuat saya mesti search dahulu di google seperti kata mantenan, jejagik, & pitikih. Terlepas dr itu semua, saya sangat mengetahui isi dr esai tersebut. 
Ya menjadi kerisauan saja, tatkala pandemi ketika ini ada elit politik yg menerbitkan balihonya, ya penduduk sudah memiliki pandangan & perspektif sendiri yakni untuk tujuan tahun 2024, Pemilu Presiden Republik Indonesia.
Namun kerisauan masyarakat sipil & mereka para pemerhati politik bukan itu, yg menjadi keresahannya ialah kenapa buang-buang duit.
Anggaran negara cuma untuk sebuah baliho yg tujuannya untuk mencari elektabilitas untuk mencalonkan diri sebagai Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Banyak yg mengkritisi kebijakan tersebut, sebaiknya daripada buang-buang duit untuk baliho mending dialokasikan untuk menangani pandemi covid-19. Begitu kritik mereka yg tak oke, yg di upload di kolom komentar sosial media.
Dalam esai di atas, dijelaskan pula bahwa adanya penggunaan diksi kalimat yg kurang dipahami oleh khalayak ramai. Kepak Sayap Kebhinekaan, merupakan sebuah kalimat yg mempunyai arti & filosofi yg dalam. 
Seharusnya para pejabat tersebut mesti menerangkan dengan-cara lebih detail ihwal kalimat itu, sebab mereka pejabatnya pinter & masyarakatnya cuma jadi tukang coblos pas pemilu. 
 
Memang, tatkala seseorang menjadi publik figur, tokoh terkemuka, Artis, Politikus, selebragam, Youtuber, & lain-lain, itu tak akan bisa menghindardr sorotan media, kebanggaan, kritik, komentar negatif & sebagainya. 
Ya alasannya adalah pekerjaan  tersebut membutuhkan serta memancing atensi orang ramai, sehingga hal hal yg disebutkan tadi tak dapat dikesampingkan. 
Terlebih lagi dlm dunia politik, perbedaan usulan itu sudah lumrah terjadi. Mereka yg setuju dgn pejabat A, tentu belum baiklah & sependapat dgn pejabat yg B.
Analisis Sosiologi Terhadap Pemasangan Baliho Elite Politik Disaat Pandemi Covid-19
Aku ingin menganalisis fenomena ini, dgn mengaitkannya pada sebuah teori yg dicetuskan oleh tokoh sosiologi. Pendapat atau teori yg gue pakai yaitu kaum proletar & borjuis, yg dicetuskan oleh Karl Marx. 
Dua perumpamaan ini, sangat familiar bagi mereka yg mendalami ilmu sosial, & mereka yg mengikuti pergerakan & menjadi aktivis di kampus. 
Memang dengan-cara definisi, proletar ini yakni kaum buruh sedangkan borjuis yakni mereka yg menjadi pemilik modal. Istilah tersebut lahir, selaku bentuk kritik Karl Marx terhadap tata cara pasar yg kapitalis. 
Kapitalis itu menyiksa penduduk kecil, menyedot mereka yg tertindas untuk mensejahterakan mereka para cukong-cukong. 
Istilah borjuis & proletar ini, bisa dipakai untuk memposisikan mereka yg berlaku sebagai pejabat tinggi atau elit politik & mereka yg tergolong masyarakat biasa. 
Komentar pedas & kritik dr aneka macam pihak, membuat baliho kepak sayap menjadi sebuah polemik, & gue dapat mengasumsikan bahwa penduduk (proletar) muak dgn langkah-langkah elit politik (borjuis) yg menerbitkan baliho di tengah kondisi sulit seperti ini. 
Mereka (elit politik) menjadi tercoreng namanya, akhir ulah mereka sendiri. Kesan buruk terlihat seperti tak peduli dgn keadaan & penduduk . Lama-lama penduduk bisa muak, & itu dapat membahayakan posisi elit politik dlm pemerintahan. 
Mengutip dr (tirto.id) bahwa “Memang terjadi ironi dikala subsidi eksklusif ke masyarakat dikurangi tapi subsidi parpol ditambah. Dalam catatan, Polmark Indonesia, total derma keuangan untuk 10 parpol yg lolos ke DPR berdasarkan hasil pemilu mencapai Rp 13,2 miliar. 
Selain itu, ada pertolongan untuk parpol di tempat yg nilai semuanya Rp385,4 miliar. Artinya bila ada peningkatan 10 kali lipat jumlahnya untuk 10 parpol yg lolos ke dewan perwakilan rakyat saja bisa meraih Rp 132 miliar. Jumlah ini memang tak lebih besar dr bantuan atau program subsidi lainnya.”
Suatu hal yg dilematis bukan? Saya kurang yakin jikalau baliho tersebut memakai duit pribadi dia, kalaupun ada niscaya tak banyak. 
Yang menjadi permasalahannya adalah, dgn budget sebanyak itu. Selain digunakan untuk membiayai operasional parpol, akan lebih baik pula jika disumbangkan ke masyarakat. 
Rakyat sudah memilih mereka selaku pemimpin, tapi mereka lupa kewajiban & tanggung jawabnya selaku pemimpin. Dengan baliho “kepak Sayap” tersebut akan memperparah reputasi ibu Puan Maharani, hal-hal yg beliau kerjakan yg bersifat sosial ke masyarakat bisa luntur akibat baliho ini. Seperti kata pepatah, “Karena Nila Setitik Rusak Susu Sebelanga.” 
Karena persoalan baliho ini, citra ibu Puan Maharani menjadi kurang baik, apalagi lagi ada masalah mematikan mic kemarin pada ketika rapat paripurna, yg membicarakan tentang RUU CIPTAKER. 
Posisi Ibu Puan Maharani di sebagian khalayak kini seolah-olah menjadi seorang tokoh jahat, seorang borjuis yg mengeluarkan uangnya untuk kepentingan dirinya sendiri, dgn memeras simpati & bunyi rakyat. 
Sebaiknya dana parpol yg banyak, digunakan untuk aktivitas sosial mirip menolong penduduk , nakes, & relawan covid untuk tetap bertahan di tengah pandemi. 
Hal ini akan jauh lebih baik, & dapat membangun gambaran yg baik serta rasa simpatik pada Ibu Puan Maharani, & partai politiknya yaitu PDIP.
Teman-teman sudah melihat, baliho-baliho ibu puan dijadikan guyonan dlm meme yg sudah di edit di media sosial. Aku kurang berkenan untuk memasukan meme tersebut, ditakutkan arah goresan pena ini tak bisa netral.  
Persoalan mengenai baliho elit politik ini pernah dibahas dlm suatu buku yg bertajuk “Politik tanpa Dialog.” Bukunya menawan, membahas seputar politik, korupsi, & media di Indonesia. 
Buku tersebut ditulis oleh Mohammad Isa Gautama, seorang Dosen di Universitas Negeri Padang & pengamat politik. 
Beliau memberikan pendapatnya kalau strategi para elit politik untuk melaksanakan kampanye, dlm bentuk bingkai baliho itu merupakan suatu hal yg klise. 
Seharusnya di periode digital seperti ini, elit politik mesti lebih kencang kampanye di media digital agar lebih diketahui dgn generasi milenial atau generasi Z. 
Kutipan tulisan beliau yg menampung kritik baliho adalah sebagai berikut, “Mestinya, ke depan para kandidat harus menimbang-nimbang cara yg lebih sempurna target. 
Kaum milenial dgn ketergantungannya yg tinggi terhadap media sosial sebaiknya pula dijadikan lahan subur bagi komunikasi politik. Melalui medsos, politisi bisa menyediakan informasi politik akurat selain menyediakan ruang untuk berdialog.
Melalui medsos politisi bisa menuangkan ide disampaikan dgn bahasa medsos yg ringan tetapi komunikatif. Last but not least, di kurun digital ini komunikasi & strategi kampanye digital tentu lebih pas & meninggalkan kurun manual & konvensional. 
Sementara, dilihat & klasifikasi target pasarnya, komunikasi politik dgn konstituen milenial adalah komunikasi paling efektif mengenang aspek determinan dr segi kuantitas.
Jumlahnya yg merupakan terbanyak dibanding segmen golongan usia lain & mutu (kemampuannya menghipnotis opini publik biasanya). 
Tidak hanya Ibu Puan yg melaksanakan pemasangan baliho, tetapi politisi & Ketua Umum Golkar yakni Airlangga Hartarto pula bertebaran dimana-mana balihonya di sudut-sudut kota di Indonesia.
Penutup

Berbicara mengenai isu-isu & fenomena politik yg terjadi, tak akan pernah usai. Dari Indonesia telah merdeka, hingga sudah 76 tahun merdeka. 
Banyak gejolak yg terjadi. Seperti yg sudah gue katakan di atas, bahwa perbedaan usulan, kebijakan, & lain sebagainya sudah lumrah dlm politik. 
Setiap elit politik pasti memikirkan bagaimana bangsa ini maju, mereka yg langsung terjun di pemerintahan pasti mempertimbangkan bagaimana nasib masyarakatnya. 
Tujuan mereka sama, yaitu mengembangkan Indonesia & mensejahterakan rakyatnya, tetapi memiliki cara pandang & langkah-langkah yg berlawanan. 
Fenomena baliho merupakan cara pandang yg berlawanan bagi setiap politik, di negara yg menjunjung tinggi demokrasi Pancasila ini, terang akan menghargai bagaimana pertimbangan -usulan yg berbeda, mereka yg di pemerintahan tentu akan berseberangan dgn mereka yg berada di oposisi pemerintah.
Yah begitulah politik, memang penuh dialektika, dilema, & fenomena. Tahun 2024 memang masih lama, akan tetapi banyak elit politik yg sudah gas pol untuk mencari simpatik rakyat. 
Aku mempunyai perspektif yakni, bahwasanya tak menjadi dilema adanya baliho tersebut akan tetapi kurang sempurna saja kalau dipublikasi dgn ukuran bingkai baliho yg sangat besar, & posisinya pun di tengah-tengah kota. 
Indonesia sedang dlm fase kritis, akan lebih baik & manis jikalau budget yg dipakai untuk baliho dialihkan untuk kebutuhan pandemi mirip APD, masakan, obat-obatan, tabung oksigen, derma tunai, sembako, & sejenisnya. 
Hal ini akan sangat berfaedah untuk khalayak ramai, sungguh sedih rasanya banyak komentar, meme, hingga mural yg berseliweran yg isinya sudah mengalah dgn kebijakan pemerintah, banyak kalimat yg terdiri dari seperti “rakyat bantu rakyat” atau “Tuhan kami lapar.” 
Secara tak tersirat, ini pertanda bahwa rakyat sudah tak peduli lagi dgn apa yg akan dilakukan pemerintah, sudah mengalah, & lebih memprioritaskan gotong royong antar sesama rakyat.
 
Menurut saya, akan lebih baik jika berkampanye di media digital. Masyarakat kini sudah sangat melek digital, apa lagi kaula muda milenial & generasi Z. Untuk itu akan lebih baik, kalau platform digital pula dimanfaatkan menjadi fasilitas memperkenalkan diri atau kampanye. 
Akan lebih cantik juga, jikalau punya Instagram, Facebook, Twitter, atau situs web yg digunakan untuk kampanye yg dikontrol pihak KPU atau lembaga di Indonesia yg berwenang. 
Menurut saya untuk pemajangan baliho atau Videotron, lebih baik dihindari untuk hal hal yg mempunyai unsur kampanye politik.
Beri keleluasaan bagi teman-teman kita yg berkarir di industri inovatif untuk mempromosikan, atau memperlihatkan hasil karyanya dlm bentuk baliho ataupun Videotron. 
Aku mempunyai usulan seperti ini, sebab berkaca pada Time Square, New York, USA. Dimana promosi industri kreatif Sangat dihargai & dijunjung tinggi, negara orang ribut persoalan pendapatan ekonomi & kreatifitas. 
Masa kita masih ribut dgn baliho-baliho politik & sejenisnya ? Kita terlalu ribut dgn hal-hal berbau politik, yg nantinya menjadi residu politik. 
Kita lupa untuk meningkatkan pendidikan, olahraga, pariwisata, ekonomi, lingkungan, sumber daya alam, & lain-lainnya balasan debat politik. Aku berkomentar mirip ini ya alasannya adalah, perdebatan “Cebong- Kampret” saja tak pernah usai hahahaha. 
Sekian tulisan ku kali ini, untuk info & berkabar dgn ku, teman sobat bisa menelepon sosial media ku di bawah ini. Terima Kasih, sampai jumpa pada postingan berikutnya.
Sumber Referensi : 

Rius, 2014. Marx Untuk Pemula. Yogyakarta : Resist Book.

Gautama, Isa Mohammad. 2020. Politik tanpa Dialog Sehimpun Kolom Politik, Korupsi, & Media di Indonesia. Yogyakarta: Jual Buku Sastra. 

https://mojok.co/terminal/kisah-nelangsa-baliho-kepak-sayap-kebhinekaan/, diaskes 17 Agustus 2021.

https://republika.com/info/repjogja/nasional-repjogja/qxrtvi354/baliho-puan-bertebaran-pdip-jangan-berburuk-sangka, diakses 17 Agustus 2021.

https://tirto.id/bercermin-dari-negara-lain-soal-dana-parpol-cvw7, diakses 22 Agustus 2021.

Sumber Foto :

https://sinpo.id/rincian/19007/lipi-baliho-politik-ketika-pandemi-kurang-arif-dan-bijak
  Ada 7 Aspek Interaksi Sosial di Masyarakat, Apa Saja ?