Covid19 Kontestasi Pengetahuan Dan Prilaku Manusia

Pengetahuan atau gosip memegang peran penting untuk menghipnotis sikap insan. pemikir ilmu sosial kritis Michel Foucault dlm hal ini menyaksikan bahwa pengetahuan sebagai sebuah ‘kekuatan’ (power) yg mendasari sikap manusia. Tidak ada pemegang otoritas tunggal dlm kontestasi wawasan. Sehingga Pemerintah, ilmuwan, & masyarakat awam pun mempunyai porsi masing-masing dlm otoritas wawasan.

Pengetahuan yg disampaikan pun akan mengalami proses reproduksi sesuai dgn akal & akal sehat manusia. ‘Output’ dr reproduksi tersebut boleh jadi mendukung sikap ketaatan pada kebijakan COVID-19, atau justru menyebabkan resistensi.

Dengan demikian, bagaimana COVID-19 dinarasikan maupun dibingkai (framing) selaku sebuah wawasan akan menentukan bagaimana individu merespons terhadap wabah virus tersebut & kebijakan yg menyertainya.

Dengan, adanya Kebijakan social/physical distancing & PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) mulai diterapkan di beberapa kawasan. Hanya saja, efektivitasnya untuk meminimalisir eskalasi penularan COVID-19 belum terbukti.

Secara Antropologis, wabah COVID-19 tak hanya menyangkut faktor biologis virus tetapi pula biososial, yg terkait dgn upaya mengubah sikap insan untuk ‘patuh’ (compliant) pada hukum. Ada pula konteks budaya yg sangat bermacam-macam & kompleks yg melandasi suatu sikap. Tidak kalah penting adalah pandangan baru/wawasan (knowledge).

Pengetahuan mempunyai kekuatan untuk mengontrol sikap insan. Pengetahuan pun relative tak ada mutlak benar atau salah, tergantung proses internalisasi insan dlm konteks budaya. Maka, berbagai hal terkait factor budaya akan diketahui lewat peningkatannya suatu Negara dlm membangun sumber daya manusianya.

Selama proses yg berjalan dgn pemahaman kepada konteks budaya yg dlm akan dilalui dgn banyak sekali pengetahuan yg rincian terhadap insan yg berperan dlm hal ini mempunyai dinamika budaya yg memang berbeda.

  Apa Yang Dimaksud Dengan Tindakan Sosial Dan Interaksi Sosial

Setiap Negara, memang mempunyai sumber daya manusia yg berlawanan, disesuaikan dgn budaya suatu Negara dlm menerapkan & menyiapkan pembangunan apa yg akan disampaikan bagi tiap Negara untuk mencapai yg baik sebagai insan.

Dalam konteks negara, pemerintah mempunyai otoritas penuh dlm menarasikan pengetahuan perihal COVID-19 sehingga dapat diinternalisasikan ke masyarakat yg beragam latar belakang budayanya.

Bagi masyarakat dgn tingkat sosial-ekonomi ‘yang lebih baik’, over-estimation atau ‘over-interpreting’ wawasan berwujud ke rasa ketakutan & takut terhadap ‘nature’ dr virus ini & melihatnya selaku sebuah bahaya sehingga mereka akan patuh pada kebijakan, terlepas dr inkonsistensi & kontradiksi yg menyertainya.

Filosofi klasik dr Jawa ‘mangan ra mangan sing penting kumpul’ atau makan atau tak makan yg penting kumpul ibarat hidup lagi & dimanifestasikan. Filosofi dr mudik ini mesti sungguh-sungguh dipahami pembuat kebijakan; tak semata-mata melarang namun tak mampu mengompensasi keperluan material maupun non-material pemudik.

 

Kulture & Order Semu : Model of And Model For

Aspek wawasan, lalu bagaimana kaitannya dgn formulasi kebijakan yg kontradiktif & inkonsisten, yg memiliki pengaruh pada ketidaktaatan penduduk ? Secara Antropologis, ‘model of’ & ‘model for’ dr Clifford Geertz14 dapat digunakan untuk lebih dlm menerangkan kenapa pemerintah gagal menginternalisasikan wawasan COVID-19 pada penduduk , sehingga mempunyai dampak pada ketidaktaatan pada kebijakan.

‘Model of’ dapat diartikan selaku bagaimana insan, termasuk pemerintah mengabstraksikan realitas sosial perihal COVID-19, antara lain yakni tentang penularan virus antar manusia; mengakibatkan demam, batuk & kematian; dunia medis kewalahan sebab melonjaknya penderita; ekonomi hancur.

Di negara-negara Asia Timur seperti Tiongkok, Jepang, & Korea Selatan, faktor budaya yg ‘homogen’ menjadi sentral untuk ‘menemani ’ sikap insan. Masalah hakikat dr hidup insan; karya insan; kedudukan manusia dlm ruang waktu; relasi manusia dgn alam sekitar & korelasi manusia dgn sesamanya sungguh dijunjung tinggi.

  Pelepasan Perpisahan Siswa SMP Negeri Megang Sakti Tahun 2008

Di Jepang, penanganan wabah COVID-19 terbantu dgn huruf yg mengakar dr budaya mirip sopan & selalu mempertimbangkan keperluan orang lain apalagi dulu, menghargai yg lebih renta, disiplin, berdedikasi & jujur. Bila berbuat salah atau melanggar, ada harga diri yg dipertaruhkan.

Disiplin kebersihan mirip mencuci tangan & memakai masker sudah ditegakkan sejak usang. Di Tiongkok, ‘budaya’ yg mengakar dr nilai-nilai Konfusianisme seperti menjunjung tinggi nilainilai kebajikan, keadilan, tata aturan, berbakti, nilai keyakinan & nilai keberanian begitu diagungkan & merupakan fondasi yg mendukung perkembangan sosial-ekonomi bangsa tersebut.

Pemerintah yg tegas & cenderung otoriter ditambah dgn budaya yg besar lengan berkuasa telah sukses merealisasikan suatu masyarakat yg kohesif & solid dlm menghadapi COVID-19 ini meskipun ‘kekerasan’ dipraktekkan untuk membangun aksara disiplin & patuh di masyarakat. Situasi di Indonesia berbeda.

Keberagaman budaya condong bukan menjadi suatu modalitas, melainkan sumber perpecahan yg tak bisa menemani perilaku manusia lewat penerapan nilainilai baiknya. Seperti diceritakan di permulaan goresan pena, COVID-19 sudah mengerosi norma-norma sosial yg mengganti hubungan antar manusia.