– Dampak adanya Pandemi Covid-19 kepada pedagang kecil pasti terasa, mulai dr sepi pembeli, turunnya omset, & lainnya.
Berikut ini kisah Pedagang Batagor yg bisa kita jadikan pelajaran, motivasi dlm kehidupan sehari-harinya. Yuk Baca.
Penulis : Rafly Caesario, Mahasiswa Sosiologi Universitas Indonesia
Crossing the Border : Menyelami Kehidupan Penjual Batagor
Pandemi Covid-19 ialah penyakit disebabkan oleh coronavirus yg sudah didapatkan semenjak final 2019.
Penyebaran virus ini begitu masif di seluruh dunia tak terkecuali di Indonesia. Adanya virus ini berdampak ke seluruh aspek kehidupan insan.
Dampak yg dirasakan misalnya terjadi dlm bidang ekonomi. Para usahawan kelas atas sampai pedagang kecil mencicipi dampaknya.
Pendapatan yg mereka terima selama pandemi menyusut dengan-cara signifikan.
Bahkan, tak jarang pula hal itu menyebabkan lahirnya permasalahan sosial yang lain yakni pengangguran & kemiskinan.
Berkaitan dgn hal tersebut, saya menjadi kesengsem untuk mendalami kehidupan pedagang kecil di kurun pandemi ini.
Saya ingin mengetahui bahwasanya apakah pandemi yg terjadi begitu memiliki dampak atau hanyalah suatu konstruksi sosial belaka.
Saya mewawancarai mas Anggi & berupaya untuk menyelami kehidupan pribadinya.
Setor Hasil Jualan 400 Ribu ke Bos
Mas Anggi sendiri merupakan pedagang batagor yg berjualan di pinggir jalan sempurna di depan Stasiun Kebayoran, Jakarta Selatan.
Beliau sendiri sudah cukup usang menjadi pedagang batagor.
“kurang lebih 3 tahunan berjualan”
Setelah ditelusuri lebih jauh ternyata Mas Anggi masih berusia 18 tahun & berasal dr Garut.
Beliau mengaku sudah putus sekolah semenjak Sekolah Menengah Pertama (SMP) yg disebabkan akibatnya minimnya keuangan keluarga.
Saat masih sekolah, biaya sekolah dia sendiri ditanggung oleh seseorang namun sayangnya orang tersebut justru melepas tanggung jawabnya begitu saja untuk membiyainya.
Akhirnya, beliau menetapkan untuk tak melanjutkan sekolah lantaran keterbatasan dana.
Beliau pun diajak ke Jakarta bersama bibinya & menetapkan untuk menjadi batagor atas rekomendasi bibinya sekitar 3-4 tahun yg kemudian.
“Kalo ada biayanya sih pengen sekolah”
“Udah lama keluar sih dr kelas 8 karena ga ada biaya”
“Kalo dulu sih saya ada yg biayain, tapi dilepas, ga ada yg mau nanggung cuma komitmen doang jadi yaudah”
Setelah menjadi pedagang batagor, beliau mengaku cukup tenteram dgn pekerjaannya tersebut.
Beliau pun menyatakan bahwa keinginannya untuk kembali sekolah diurungkan lantaran sudah tenteram dgn berdagang batagor.
Selain itu, beliau pula enggan kembali tinggal di Garut yg menjadi kampung halamannya lantaran sudah tenteram tinggal bareng bibinya di Jakarta & berdagang batagor.
Beliau hanya pulang ke kampung dikala momen lebaran saja.
“Udah usang ga pulang, udah ga mikiran kampung”
“Lebaran pulang tapi pas puasa engga”
Cukup miris dirasa tatkala dia enggan melanjutkan sekolahnya.
Tetapi saya melihat bahwa ia merupakan perjaka yg gigih dlm mencari duit demi menjaga kehidupannya.
Di Jakarta, ia tak tinggal dgn siapa-siapa selain bareng bibinya yg dahulu membawanya ke Jakarta. Beliau sendiri tinggal di sekitar kawasan Palmerah, Jakarta Barat.
Beliau sudah mulai berangkat dr rumah untuk berjualan batagor semenjak pukul 6 pagi. Untuk pulangnya sendiri di setiap harinya ia pulang ke tempat tinggal sekitar pukur 6 atau 7 malam.
Hal itu menciptakan saya merasa terinspirasi dimana begitu rajinnya dia dlm mencari & menjemput rezeki dr Tuhan.
Saya sendiri mengaku tak serajin ia terutama tatkala berangkat ke perkualiahan & acap kali masih berpangku tangan ria di jam-jam sebelum perkuliahan, hehe.
Kemudian, hal itu pula terlihat kontras dgn pada umumnya perjaka yang lain yg seumuran dgn dia yg masih saja malas bagun pagi untuk berangkat ke sekolah atau kampus.
Selain itu, banyak pula para cowok yg hanya menghabiskan waktunya dgn sia-sia tanpa menerima sesuatu yg memiliki arti.
Misalnya dgn nongkrong-nongkrong tanpa tujuan ataupun main game online tanpa mengenal waktu & biaya.
“Berangkatnya jam 6, nyampe jam 7”
“Pulangnya jam 7”
Adanya pandemi sepertinya ikut mempunyai dampak pada penjualan batagor miliknya.
Beliau merasa jikalau penghasilannya di masa pandemi ini mengalami penurunan sekitar 1-2 kali lipat dr biasanya.
Beliau enggan menyebutkan penghasilan yg didapat dr penjualan batagor sekitar Rp 600.000 per harinya.
Lalu beliau pula meyebutkan bahwa ada uang yg mesti disetorkan ke bos sebagaipemilik gerobak & pemilik perjuangan batagor yakni sebesar Rp 400.000.
Makara, penghasilan bersih yg didapat oleh mas Anggi sekitar Rp 100.000-200.000 per hari.
“Sehari bisa dapet 600”
“Kalo di luar masa pandemi itu bisa dapet jutaan”
“Nyetor ke bos mampu 400 sehari”
Namun, dibalik penghasilannya yg mengalami penurunan, terdapat hal menarik yg lagi-lagi memberi gagasan saya.
Beliau sepertinya sama sekali tak merasa hidup dlm keterbatsan meskipun dia tak bersekolah layaknya perjaka lain yg seumuran dgn beliau.
Selain itu, ia tak menawarkan gelagat mengeluh tatkala saya menanyakan perihal perekonomian beliau.
Penghasilan Cukup untuk Biaya Hidup
Beliau merasa jikalau penghasilan yg didapat selama memasarkan batagor sudah cukup untuk menghidupi kehidupannya sehari-hari.
Beliau pula menyampaikan jika alasannya memasarkan batagor ialah untuk membahagiakan orang tuanya.
“Ga ada kekurangan sih, cukup”
“Untuk membahagiakan orang renta”
Dari hal tersebut mengingatkan saya bahwa benar kata orang-orang kalau memang ilmu itu bisa didapat darimana saja tanpa menatap tempat, status seseorang, & waktu.
Saya mencicipi hal tersebut dimana saya mendapat ilmu untuk selalu mensyukuri apa yg didapat dlm hidup.
Tidak akan ada artinya hidup jika selalu megeluh & Mas anggi yakni salah satu cowok yg usianya masih 18 tahun.
Tetapi tak banyak mengeluh meski mesti melakukan pekerjaan dgn jaminan pekerjaan yg tak cukup baik untuk masa depannya & tak bersekolah layaknya perjaka lain di luaran sana.
Nah itulah sekilas mengenai Dampak Pandemi Terhadap Pedagang Kecil : Kisah Pedagang Batagor. Semoga bisa menjadi motivasi & semangat ya.