ISU DAN WACANA MUTAKHIR KUALITAS PENDIDIKAN INDONESIA

ISU DAN WACANA MUTAKHIR KUALITAS PENDIDIKAN INDONESIA


A.  Isu Yang berkembang dimasyarakat

Desentralisasi, demokrasi, & otonomi merupakan isu yg amat popular final-final ini. Walaupun gosip tersebut  sudah usang dikemukakan bersama-sama dgn harapan mengubah system pemerintahan otoriter yg melanda Eropa Tengah & Timur pada final tahun 1989 & awal 1990 (David Held, Dmocracy and the Global Order, 1995).

Sekarang ini sudah  terjadi perubahan paradigma dlm menata tata kelola pemerintahan, termasuk di dalamnya menata manajemen pendidikan. Dalam manajemen pemerintahan, salah satu faktor yg amat mencolokyg mampu dijadikan indikator apakah tata kelola pemerintahan itu dijalankan dengan-cara absolut atau demokratis yaitu dilihat hingga seberapa jauh lokus & focus kekuasaan itu diaplikasikan. Di segi lain, indikator tugas rakyat atau masyarakat pula ikut menentukan tentang demokratisasi manajemen pemerintahan. Kekuasaan & peran masyarakat amat menentukan corak & demokrasi atau pelaksanaan system desentralisasi.

B.  Pendidikan menghasilkan Manusia Demokratis
Pendidikan kita terkesan masih sewenang-wenang, baik tata kelola, interaksi atau transaksi, proses, kedudukan, maupun substansinya. Tidak mungkin kondisi demikian menghasilkan insan demokratis. Apabila kita semua menjadi pejabat, maka seakan-akan kita telah memiliki modal ‘benar’ dlm segala hal; berhak mengoreksi, berhak memberi isyarat , berhak menyalahkan bawahan, & seterusnya. Waskat (pengawasan menempel) menjadkan atasan absolut. Padahal justru informasi bawahan kebanyakan menenteng kebenaran. Transaksi pendidikan kita masih satu arah & vertical. Sumber keterangan masih didominasi oleh para guru. Pembelajar jarang didudukkan sebagai sumber informasi alternative sehinga menyebabkan tak terjadinya interaksi horizontal.

Pengalaman demokratis tak pernah diperoleh pembelajar dlm hidup sehari-hari. Mereka cuma memahaminya dengan-cara tekstual. Dalam praktik, kedudukan substansi & proses pembelajaran kita masih berorientasi vertical, yakni dr atas ke bawah. Pengetahuan (tekstual) masih berpola pada guru – siswa, yg seharusnya guru & pembelajar bahu-membahu menghadapi masalah pengetahuan yg konseptual bukan tekstual. Proses pembelajaran masih didasarkan atas kerapian administrasi pendidikan dibandingkan dengan fungsionalnya dlm praktik. Padahal fungsionalnya proses pembelajaran (instruksional) ini yg akan menghasilkan perolehan tujuan instruksional. Bagaimana cara yg dikerjakan pembelajar dlm mencapai rancangan keilmuan itulah selanjutnya yg akan mewarnai perolehan pendidikan.

C.  Pendidikan di Sekolah  dengan Sistem Desentralisasi
Desentralisasi pendidikan merupakan upaya untuk mewakilkan sebagian atau seluruh wewenang di bidang pendidikan yg sebaiknya dlakukan oleh unit atau pejabat pusat pada unit atau pejabat dibawahnya, atau dr pemerintah pusat pada pemerintah daerah, atau dr pemerintah darah pada penduduk . Salah satu wujud dr desentralisasi ialah terlaksanya proses otonomi dlm penyelenggaraan pendidikan.

Sekarang sudah datang saatnya menimbang-nimbang & melaksanakan upaya desentralisasi kewenangan di bidang pendidikan. Kewenangan di bidang pendidikan bisa dirinci mulai & kewenangan merumuskan atau menciptakan akal nasional di bidang pendidikan, melaksanakan budi nasional, & memeriksa atau memonitor budi nasional tersebut. Tidak seluruh kewenangan tersebut mampu disesentralisasikan. Kewenangan perumusan atau pembuatan kecerdikan nasional mengenal pendidikan yg mencakup kurikulum, persyaratan pokok perihal jenjang pendidikan, taksonomi ilmu yg dikembangkan & diajarkan dlm jenjang pendidikan, persyaratan pembukaan acara gres, persyaratan ihwal guru pendidik di setiap jenjang pendidikan, & kegiatan-kegiatan strategis lainnya yg dipandang lebih efektif, efisien & tepat kalau tak didesentralisasikan barangkali masih dijalankan & dibutuhkan sentralisasi. Sedangkan kewenangan implementasi dilaksanakan oleh pemerintah daerah atau masyarakat. Dalam hal-hal tertentu yg spesifikasinya membutuhkan penanganan khusus, pemerintah pusat masih berwenang melaksanakan sendiri. Demikian pula hal-hal yg ertalian dgn evaluasi budi nasional dikerjakan oleh pemerintah pusat & bisa pula  diserahkan atau didesentralisasikan ke unit di bawah, di kawasan atau pada penduduk . Demikian pula kewenangan pembuatan akal & yg berdimensi daerah atau local serta pelaksanaan & evaluasinya tak perlu lagi diintervensi & dilakukan oleh pemerintah pusat, melainkan bisa dengan-cara didesentralisasika.

Desentralisasi pendidikan berusaha untuk menghemat campur tangan atau intervensi pejabat atau unit pusat terhadap dilema-dilema pendidikan yg selayaknya bisa diputus & dilaksanakan oleh unit di tataran bawah atau pemerintah daerah, atau masyarakat.

Dengan demikian, dikehendaki bisa memberdayakan peran unit di bawah atau tugas rakyat & masyarakat tempat.

Kebijaksanaan yg berdimensi local ialah semua hal yg sesuai dgn aspirasi & kebutuhan masyarakat tempat. Kebijaksanaan mirip ini biarkanlah rakyat kawasan (baik melalui DPRD maupun kalangan-golongan kepentingan tempat) & pemerintah tempat yg memutuskannya. Memilih lokasi tempat berdirinya gedung sekolah, memperbesar & mengangkat guru, memilih & menetpkan Kepala Sekolah, mendidik & mendiklat guru, menentukan kurikulum local, & lain sebagainya yg lebih tepat & efisien jika kawasan yg melaukannya. Akan tetapi, pelaksanaan itu tetap berlandaskan kebijakan, ketentuan, standardisasi, & ketetapan pemerintah pusat.

Didalam jenjang pendidikan yg selama ini kita anut, yakni jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, & pendidikan tinggi sudah waktunya dipikirkan upaya-upaya desntralisasi. Desentralisasi jenjang pendidikan bisa diseleksi apakah semua jenjang pendidikan itu dapat ditangani oleh pemerintah tempat, atau hanya terbatas jenjang pendidikan dasar & menengah saja. Apakah desentralisasi pula mengenai jenjang pendidikan tersebut atau desentralisasi itu cuma terbatas pada substansi kebijaksanaannya seperti yg diuraikan di depan.

Pemberian otonomi tempat pada Perguruan Tinggi merupakan upaya desentralisasi pendidikan. Pelaksanaan otonomi ini masih terasa belum sempurna sehingga masih banyak urusan & kewenangan yg semestinya pimpinan Perguruan Tinggi bisa melakukannya, tetapi masih menggantungkan pada kebijaksanaan pusat. Pembukaan program baru yg seharusnya mengenali urgensinya ilah Perguruan Tinggi tersebut, namun masih menunggu kecerdikan & keputusan pusat.

Dengan demikian, semestinya keputusan perlu tidaknya, abash tidaknya, terletak pada pertimbangan & keputusan Perguruan Tinggi masing-masing. Hanya saja budi yg membuat rambu-rambu  mirip persyaratannya membka acara baru perlu diputuskan oleh pusat.

Akreditasi pendidikan di Perguruan Tinggi memang perlu dilaukan. Akan namun, lembaga legalisasi itu jangan dibentuk oleh pemerintah (Departemen Diknas) sehingga ada kesanAkan tetapi, forum pengesahan itu jangan dibuat oleh pemerintah (Departemen Diknas) sehingga ada kesan sebagai proyek dr Departemen atau dr Direktorat Jenderal Penguruan Tinggi. Lembaga akreditasi pendidikan mesti dibentuk oleh penduduk selaku forum swadaya penduduk yg terdiri dr kumpulan para mahir di bidang pendidikan & ilmu-ilmu lain yg relevan. Lembaga ini bekerja sebagai lembaga professional di bidang pengukuhan yg setiap tahunnya melaksanakan legalisasi semua Perguruan Tinggi, tak terkecuali Perguruan Tinggi Negeri.

D.  Menuju Otonomi pada Tingkat Sekolah-Sekolah
Paradigma MBS berangapan bahwa satu-satunya saluran yg terdekat menuju kenaikan mutu & relevansi yaitu demokratisasi, partisipasi, & akuntabilitas pendidikan. Kepala Sekolah, guru & masyarakat ialah pelaku utama & terdepan dlm penyelenggaraan pendidikan di sekolah sehingga segala keputusan mengenai penanganan persoalan pendidikan pada tingkatan mikro mesti dihasilkan dr interaksi ketiga pihak tersebut. Masyarakat ialah stakeholder  pendidikan yg memiliki kepentingan akan keberhasilan pendidikan di sekolah, alasannya adalah mereka yaitu pembayar pendidikan, baik lewat duit sekolah maupun pajak, sehingga sekolah-sekolah semestinya bertanggung jawab terhadap penduduk .

Namun demikian, entitas yg disebut “penduduk ” sangat kompleks & tak terbatas (borderless) sehingga sungguh sulit bagi sekolah untuk berinteraksi dgn penduduk selaku stakeholder pendidikan. Untuk penyelenggaraan pendidikan di sekolah, desain penduduk perlu disederhanakan  (simplified) supaya menjadi gampang bagi sekolah melakukan relasi dgn penduduk tersebut.

Penyederhanaan desain masyarakat tersebut dilaksanakan melalui “perwakilan” fungsi stakeholder, dgn jalan membentuk Komite Sekolah (KS) pada setiap sekolah & Dewan Pendidikan di setiap Kabupaten/ Kota.

Dewan Pendidikan & Komite Sekolah sedapat mungkin bisa merepresentasikan keanekaragaman yg ada agar benar-benar dapat mewakili penduduk . Dengan demikian, interaksi antara sekolah & penduduk mampu mewujudkan melalui prosedur pengambilan keputusan antara sekolah-sekolah dgn Komite Sekolah, & interaksi antara para pejabat pendidikan di pemerintah kabupaten/ kota dgn Dewan Pendidikan. Bukti tanggung jawab penduduk terhadap pendidikan diwujudkan dlm fungsi yg menempel pada DP & KS, yaitu fungsi pemberi pertimbangan dlm pengambilan keputusan, fungsi  dan akuntabilitas public, fungsi pendukung (support), serta fungsi mediator antara sekolah dgn masyarakat yg diwakilinya.

Kemandirian setiap satua pendidikan adalah salah satu target dr kebijakan desentralisasi pendidikan sehingga sekolah-sekolah menjadi lembaga yg otonom dgn sendirinya. Namun, tentu saja perubahan menuju sekolah-sekolah yg otonom ialah jalan panjang sehingga membutuhkan banyak sekali kajian serta perencanaan yg hati-hati & mendalam. Jalan panjang ini tak senantiasa mulus, tetapi akan menempuh jalan terjal yg penuh onak & duri. Orang bisa mengatakan bahwa paradigm baru untuk mewujudkan pengelolaan pendidikan yg demokratis & partisipat tak mampu dilaksanakan di dlm suatu lingkungan birokrasi yg tak demokratis. Namun, pengembangan demokratisasi pendidikan tak mesti menunggu birokrasinya menjadi demokratis dahulu, namun mesti dikerjakan dengan-cara simultan dgn desain yg terang & tarnsparan.

Pelaksanaan desentralisasi pendidikan sebaiknya tak dijalankan melalui suatu prosedur penyerahan “kekuasaan birokrasi” dr pusat ke tempat, sebab kekuasaan telah terbukti gagal dlm merealisasikan pendidikan yg bermutu. Melalui seni manajemen “desentralisasi pemerintahan di bidang pendidikan “, Depdiknas tak hnya berkepentingan dlm membuatkan kabupaten/kota dlm mengelola pendidikan, namun pula berkepentingan dlm mewujudkan otonomi satuan pendidikan, Depdiknas mempunyai kelonggaran untuk membangun kapasitas setiap penyelenggara pendidikan, yakni sekolah-sekolah. MBS membuatkan satuan-satuan pendidikan dengan-cara otonom karena mereka adalah pihak yg paling mengetahui operasional pendidikan. Sesuai dgn seni manajemen, sekolah bukan bawahan dr birokrasi pemerintah kawasan, namun selaku forum professional yg bertanggung jawab kepada klien atau Stakeholder yg diwakili oleh Komite Sekolah & Dewan Pendidikan. Keberhasilan pendidikan di sekolah tak diukur dr pertimbangan para birokrat, namun dr kepuasan masyarakat atau Stakeholder . Fungsi pemerintah ialah fasilitator untuk mendorong sekolah-sekolah biar bermetamorfosis lembaga professional & otonom sehingga mutu pelayanan mereka memberi kepuasaan kepada komunitas basisnya, yakni penduduk .

Perlu pula dipahami bahwa pengembangan paradigm MBS bukanlah kelanjutan apalagi “kemasan baru” dr  Badan Pembantu Pelaksanaan Pendidikan (BP-3). Adalah keliru kalau DP & KS yakni alat untuk “penarikan iuran”, sebab “penarikan iuran” yg dilaksanakan oleh BP-3 terbukti tak berhasil memoblisasi partisipasi & tanggung jawab masyarakat. Akan tetapi, yg harus lebih diketahui ialah fungsi Dewan & Komite sebagai jembatan antara sekolah & penduduk . Sekolah yg terbatas personalnya, akan sangat dibantu bila dibuka bila dibuka kesempatan bagi masyarakat luas untuk ikut mempertimbangkan pendidikan di sekolah-sekolah. Sekolah yg sungguh tertutup bagi konstribusi pemikiran dr penduduk harus kita akhiri, & dgn MBS dibuka peluang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk ikut serta mempertimbangkan pendidikan disekolah. Dengan konsep MBS, penduduk akan merasa memiliki & mereka akan merasa bertanggungjawab untuk keberhasilan pendidikan didalamnya. Jika ini tak mampu diwujudkan, jangankan “iuran”, apapun yg mereka miliki (duit, barang, tenaga, anggapan & bahkan potensi ) akan mereka abdikan untuk kepentingan pendidikan belum dewasa bangsa yg berlangsung di sekolah-sekolah.

Namun, untuk hingga pada kemampuan untuk mengurus & menertibkan penyelenggaraan pendidikan di setiap satuan pendidikan, diperlkan program yg sistematis dgn capacity building. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kesanggupan setiap satuan pendidikan dengan-cara berkesinambungan, baik untuk melaksanakan tugas-peran manajemen pendidikan maupun tugas-tugas pembelajaran, sesuai dgn buti-butir yg disebut di atas. Namun kegiatan capacity building tersebut perlu dikerjakan dengan-cara sistematis lewat penahapan sehingga menjadi proses yg dijalankan dengan-cara berkesenimbungan arahnya menjadi jelas ( straight foreward ) & terukur ( measurable).

Terdapat 4 (empat)  tahapan pokok yg perlu dilalui dlm pelaksanaan capacity building bagi setiap satuan pendidikan. Masing-masing tahap pengembangan dilaksanakan terhadap setiap golongan satuan pendidikan yg memiliki karakteristik atau tahap perkembangan yg setara capacity building  dijalankan untuk meningkatkan ( up-grade ) sebuah kelompok satuan pendidikan pada tahap pertumbuhan tertentu ke tahap selanjutnya. Keempat tahap kemajuan tersebut mampu dijekaskan selaku berikut :

a.    Tahap Praformal

Satuan pendidikan yg termasuk ke dlm kalangan ini ialah yg belum menyanggupi kriteria teknis, yaitu belum mampu mempunyai sumber-sumber pendidikan (contohnya guru, sarana & prasarana & lain sebagaina) yg mencukupi untuk mengadakan pelayanan pendidikan dengan-cara minimal. Akibat kurangnya sumber-sumber pendidikan, satuan pendidikan ini  belum memenuhi standar teknis selaku prasyarat minimal satuan pendidikan yg siap untuk dikembangkan kemampuannya. Untuk mampu mulai dkembangkan kemampuannya, satuan-satuan pendidikan ini perlu dilengkapi kemudahan sekurang-kurangnyapendidikannya terlebih dahulu agar dapat dinaikkan tahap berikutnya, yaitu tahap formalitas.

b.    Tahap Formalitas

Satuan pendidikan yg tergolong kedalam kalangan ini ialah mereka yg suda memiliki sumber-sumber pendidikan yg memadai dengan-cara minimal. Satuan-satuan pendidikan ini sudah meraih standar teknis dengan-cara minimal, mirip dlm jumlah & kualifikasi guru, jumlah & mutu ruang kelas, jumlah & kualitas buku pelajaran, serta jumlah & kualitas akomodasi pendidikan lainnya.

Terhadap satuan-satuan pendidikan yg sudah meraih kriteria sekurang-kurangnyateknis ini, capacity building dilakukan melalui peningkatan kemampuan administrator (seperti kepala sekolah) & pelaksanaan pendidikan (mirip guru-guru, instruktur, tutor, & lain sebagainya) biar mampu melaksanakan pengelolaan pendidikan dengan-cara efisien serta dapat menyelengarakan proses pembelajaran yg kreatif & inovatif. Jika pengembangan kesanggupan ini sudah berhasil dijalankan maka satuan-satuan pendidikan ini mampu ditingkatkan ke tahap pertumbuhan selanjutnya, yakni tahap transisional.

Keberhasilan satuan pendidikan yg sudah mencapai tahap ini diukur dgn menggunakan tolok ukur pelayanan minimum tingkat sekolah, utamanya yg menangkut ukuran-ukuran output  pendidikan, mirip tingkat penurunan putus sekolah, penurunan mengulang kelas, tingkat kemampuan para siswa, tingkat kelulusan, serta tingkat melanjutkan sekolah.

c.    Tahap Transisional

Satuan pendidikan yg sudah meraih tahap kemajuan ini yakni yg sudah mampu memperlihatkan pelayanan sekurang-kurangnyapendidikan yg bermutu, mirip kesanggupan mendayagunakan sumber-sumber pendidikan dengan-cara maksimal, meningkatkan kreativitas guru, pendayagunaan perpustakaan sekolah dengan-cara optimal, kesanggupan untuk memperbesar budget & santunan fasilitas pendidikan dr sumber masyarakat, & kesanggupan lainnya yg mendukung best practices  pelayanan pendidikan pada setiap satuan pendidikan. Jika satuan-satuan pendidikan sudah meraih tahap transisional, selanjutnya dapat dinaikkan kelasnya ke tahap kemajuan selanjutnya, yakni tahap otonom (meaning).

d.    Tahap Otonomi

Satuan pendidikan yg sudah mencapai tahap perkembangan ini mampu dijategorikan sebagai tahap penyelesaian capacity building menuju profesionalisasi satuan pendidikan & pelayanan pendidikan yg berkualitas. Jika sudah meraih tahap otonom, setiap satuan pendidikan sudah mampu menunjukkan pelayanan di atas SPM sekolah (yaitu Standar Pelayanan Minimum) & akan bertanggung jawab terhadap klien serta stakeholder pendidikan pendidikan yang lain.

Dari tahap-tahap pertumbuhan tersebut capacity building dilaksanakan dgn dijalankan dgn strategi yang  berlainan-beda antara kelompok satuan pendidikan satu dgn satuan pendidikan lainnya. Strategi tersebut yaitu selaku berikut :

1.    Terhadap golongan satuan pendidikan  pada tahap praformal,strategi capacity building dilaksanakan lazimnya lewat upaya memperlengkapi satuan pendidikan dgn fasilitas & prasarana pendidikan sesuai dgn keperluan mereka dengan-cara minimal, namun memadai untuk dapat meraih tahap perkembangan selanjutnya.

2.    Terhadap golongan satuan pendidikan yg sudah meraih tolok ukur teknis (tahap formalitas), taktik capacity building  dilaksanakan melalui training & pengembangan kemampuan tenaga kependidikan, seperti kepala sekolah semoga mampu mendayagunakan sumber-sumber pendidikan dengan-cara maksimal dgn tanpa banyak pemborosan. Bagi tenaga pengajar dikembangkan kesanggupan mereka untuk dapat melaksanakan proses pembelajaran dengan-cara kreatif & inovatif, serta dapat melakukan observasi terhadap pndekatan pembelajaran yg paling efektif. Jika satuan pendidikan sudah mencapai kemampuan ini, mereka mampu ditingkatkan ke tahap kemajuan selanjutnya, yaitu tahap transisional.

3.    Terhadap satuan pendidikan yg sudah meraih tahap transisional, perlu dikembangkan system tata kelola berbasis sekolah yg disokong oleh partisipasi masyarakat dlm pendidikan serta prosedur akuntbilitas pendidikan lewat fungsi Dewan Pendidikan & Komite Sekolah. Jika manajemen berbasis sekolah, partisipasi masyarakat, & akuntabilitas pendidikan mampu dikembangkan maka satuan pendidikan sudah mampu dinaikkan kelasnya ke Tahap Otonomi.

4.    Strategi yg sungguh fundamental dlm capacity building adalah pengembangan system indicator yg dapat mengukur ketercapaian tolok ukur teknis & standar sekurang-kurangnyapelayanan pendidikan di setiap satuan pendidikan. Sistem indicator ini perlu disokong oleh system pendataan pendidikan yg akurat, berkaitan, lengkap, & tepat waktu semoga setiap dikala dapat diukur & dilakukan monitoring terhadap tahap pertumbuhan yg sudah dicapai oleh masing-masing satua pendidikan. Sistem pendataan ini harus dijalankan dr tingkat satuan pendidikan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi sampai dgn tingkat Nasional.


DAFTAR PUSTAKA

Ace Suryadi, 1999, Pendidikan, Investasi SDM, & Pembangunan; Isu, Teori, & Aplikasi. Jakarta : Balai Pustaka

Alfian. 1985. Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan. Kumpulan Karangan.  Jakarta : Gramedia.

Alisyahbana, Iskandar. 1980. Teknologi  dan Perkembangan. Jakarta :  Yayasan Idayu.

Hamzah. B. Uno, 2008,  Profesi Kependidikan; Problema, Solusi, dan Reformasi Pendidikan di Indonesia. Bumi Aksara. Jakarta.

Djohar, 1999. Reformasi & Masa Depan Pendidikan di Indonesia. Yogyakarta : IKIP Yogyakarta.


= Baca Juga =

  Apakah Perbedaan Antara Teori Konflik Budaya Dan Teori Kelas Sosial?​