“Keadilan sosial ialah masyarakat adil dan makmur, tanpa penindasan,” ujar Soekarno dalam pidatonya pada 1 Juni 1945, saat merumuskan dasar negara Indonesia. Kalimat ini menjadi inti dari sila kelima Pancasila: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Lebih dari sekadar jargon, sila ini adalah cita-cita besar yang terus bergema hingga hari ini, di tengah tantangan modern seperti ketimpangan ekonomi, akses hukum yang timpang, dan transformasi digital. Pada Maret 2025, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa tingkat kemiskinan ekstrem di Indonesia turun menjadi 0,9%—sebuah kemajuan, namun masih menyisakan pertanyaan: sudahkah keadilan sosial benar-benar tercapai? Artikel ini akan mengupas makna keadilan sosial, sejarahnya, tantangan di era modern, hingga langkah nyata untuk mewujudkannya di Indonesia tahun 2025.

Apa Itu Keadilan Sosial dalam Konteks Pancasila?
Keadilan sosial dalam Pancasila bukanlah konsep abstrak, melainkan panduan nyata untuk membangun masyarakat yang adil dan sejahtera. Secara harfiah, sila kelima menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hak ekonomi, sosial, budaya, dan hukum. Dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 34 ayat 1 menyatakan, “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara,” sementara ayat 2 menambahkan bahwa negara mengembangkan sistem jaminan sosial untuk kesejahteraan rakyat.
Soekarno, dalam berbagai pidatonya, menekankan bahwa keadilan sosial adalah “semua buat semua”—bukan hanya untuk segelintir elit, tetapi untuk seluruh rakyat tanpa terkecuali. Filosofi ini lahir dari semangat anti-kolonialisme, di mana rakyat Indonesia yang terbelenggu kemiskinan dan penindasan kolonial harus dibebaskan melalui sistem yang adil. Keadilan sosial dalam Pancasila juga berkaitan erat dengan sila kedua, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,” yang menegaskan nilai kemanusiaan sebagai landasan kesejahteraan bersama.
Namun, apa artinya keadilan sosial di era modern? Di tahun 2025, konsep ini tidak lagi hanya soal pangan dan sandang, tetapi juga akses terhadap pendidikan, kesehatan, teknologi, dan keadilan hukum. Keadilan sosial kini menjadi cermin apakah Indonesia mampu menjawab tantangan global sambil tetap berpijak pada nilai-nilai luhur Pancasila.
Sejarah dan Landasan Keadilan Sosial di Indonesia | Perumusan Sila Kelima dalam Sidang BPUPKI
Pada 1 Juni 1945, Soekarno mengusulkan Pancasila sebagai dasar negara dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Sila kelima awalnya dirumuskan sebagai “Keadilan Sosial,” tetapi kemudian diperluas menjadi “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” untuk menegaskan inklusivitas. Menurut Mohammad Hatta dalam memoarnya, sila ini mencerminkan semangat gotong royong dan kebersamaan yang sudah mendarah daging dalam budaya Indonesia.
Sidang BPUPKI bukan tanpa perdebatan. Beberapa anggota mengusulkan fokus pada keadilan ekonomi semata, tetapi Soekarno menegaskan bahwa keadilan sosial harus mencakup semua aspek kehidupan—dari ekonomi hingga budaya—agar tidak ada rakyat yang tertinggal. Hasilnya, sila kelima menjadi penutup Pancasila yang mengikat semua sila sebelumnya menjadi satu visi: negara yang adil dan makmur.
Peran Keadilan Sosial dalam Perjuangan Kemerdekaan
Selama perjuangan kemerdekaan, keadilan sosial menjadi senjata ideologis melawan kolonialisme Belanda. Rakyat Indonesia, yang mayoritas petani miskin, menghadapi eksploitasi ekonomi dan sosial selama ratusan tahun. Soekarno dan para pendiri bangsa melihat bahwa kemerdekaan tidak hanya soal politik, tetapi juga pembebasan dari kemiskinan dan ketidakadilan. Dalam pidato “Lahirnya Pancasila,” Soekarno menegaskan bahwa negara merdeka harus menjadi “jembatan emas” menuju masyarakat adil dan makmur.
Evolusi Makna Hingga Era Reformasi dan Digital 2025
Setelah kemerdekaan, keadilan sosial terus berkembang sesuai zaman. Pada era Orde Lama, fokusnya adalah nasionalisasi aset-aset asing untuk redistribusi kekayaan. Orde Baru kemudian menggeser paradigma ke pembangunan ekonomi, meski sering dikritik karena memperlebar ketimpangan. Reformasi 1998 membawa harapan baru dengan desentralisasi dan demokratisasi, tetapi tantangan seperti korupsi dan birokrasi tetap menghambat.
Di tahun 2025, era digital membawa dimensi baru. Keadilan sosial kini juga berarti akses internet merata, literasi digital, dan pemanfaatan teknologi untuk pemerataan peluang. Misalnya, program “Internet Desa” yang diluncurkan pemerintah pada 2023 telah menjangkau 80% wilayah terpencil hingga Maret 2025, menunjukkan langkah nyata menuju inklusi digital.
Tantangan Keadilan Sosial di Indonesia Tahun 2025
Meski ada kemajuan, Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan besar dalam mewujudkan keadilan sosial. Berikut adalah analisis mendalam atas tiga isu utama:
Ketimpangan Ekonomi
Berdasarkan laporan BPS Maret 2025, indeks Gini—ukuran ketimpangan pendapatan—berada di angka 0,38, turun dari 0,41 pada 2020. Namun, angka ini masih menunjukkan jurang antara kaya dan miskin. Di perkotaan seperti Jakarta, pendapatan per kapita bisa mencapai Rp 200 juta per tahun, sementara di daerah terpencil seperti Papua, angka itu hanya Rp 10 juta. Ketimpangan ini diperparah oleh urbanisasi yang tidak merata dan minimnya investasi di wilayah timur Indonesia.
Program penghapusan kemiskinan ekstrem yang dicanangkan melalui Inpres No. 4 Tahun 2022 berhasil menurunkan angka kemiskinan ekstrem menjadi 0,9% pada 2025. Namun, banyak keluarga di ambang garis kemiskinan masih rentan jatuh kembali akibat bencana alam, inflasi, atau kehilangan pekerjaan.
Akses Hukum
Ketimpangan hukum menjadi sorotan tajam di Indonesia. Salah satu kasus yang viral pada 2024 adalah seorang korban begal di Jawa Tengah yang justru dijadikan tersangka karena melawan balik. Kasus ini mencerminkan bagaimana rakyat kecil sering kali tidak mendapat keadilan di mata hukum, sementara elit dengan sumber daya besar bisa lolos dari jeratan.
Menurut laporan Komisi Hukum Nasional (KHN) 2025, hanya 35% masyarakat pedesaan yang memiliki akses penuh terhadap layanan hukum gratis. Hal ini diperparah oleh minimnya advokat pro bono dan birokrasi pengadilan yang rumit.
Diskriminasi Sosial
Diskriminasi terhadap kelompok rentan seperti masyarakat adat dan pekerja rumah tangga (PRT) masih marak. Data dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menunjukkan bahwa lebih dari 2.000 komunitas adat kehilangan tanah mereka akibat ekspansi perusahaan sawit hingga 2025. Sementara itu, PRT—yang mayoritas perempuan—belum mendapat jaminan hak seperti upah minimum atau hari libur, meski RUU Perlindungan PRT sudah digaungkan sejak 2004.
Di sisi lain, transformasi digital juga menciptakan diskriminasi baru. Lansia dan masyarakat dengan literasi rendah sering tertinggal dalam akses layanan online, seperti bansos digital atau telemedicine.
Contoh Nyata Penerapan Keadilan Sosial
Meski penuh tantangan, ada beberapa contoh nyata yang menunjukkan keadilan sosial mulai terwujud di Indonesia:
Program Pemerintah
Melalui Inpres No. 4/2022, pemerintah meluncurkan program bansos terarah yang berhasil mengentaskan 1,2 juta jiwa dari kemiskinan ekstrem sepanjang 2023-2025. Selain itu, Kartu Indonesia Sehat (KIS) telah menjangkau 95% penduduk hingga Maret 2025, memastikan akses kesehatan bagi rakyat miskin.
Kisah dari Desa
Di Desa Sumber Rejeki, Nusa Tenggara Timur, warga akhirnya menikmati air bersih pada 2024 setelah puluhan tahun bergantung pada sungai keruh. Program “Air untuk Rakyat” dari Kementerian PUPR membawa perubahan besar: anak-anak tak lagi bolos sekolah karena sakit perut, dan petani bisa meningkatkan hasil panen. “Ini seperti mimpi,” ujar Maria, ibu dua anak di desa itu, dengan mata berkaca-kaca.
Inisiatif Masyarakat
Gerakan “Berbagi Nasi” di Jakarta, yang dimulai oleh komunitas pemuda pada 2020, kini telah berkembang menjadi jaringan nasional. Setiap Jumat, ribuan kotak nasi dibagikan kepada pekerja informal seperti tukang ojek dan pedagang kaki lima. Inisiatif ini menunjukkan bahwa keadilan sosial tidak hanya tugas negara, tetapi juga tanggung jawab bersama.
Mengapa Keadilan Sosial Belum Tercapai Sepenuhnya? Analisis Kritis
Ada beberapa faktor struktural yang menghambat keadilan sosial di Indonesia:
- Korupsi: Laporan Transparency International 2024 menempatkan Indonesia di peringkat 85 dunia dalam Indeks Persepsi Korupsi, menunjukkan bahwa dana publik masih banyak yang diselewengkan.
- Birokrasi Lambat: Proses pengurusan bansos atau layanan publik sering kali memakan waktu, terutama di daerah terpencil.
- Kesenjangan Wilayah: Infrastruktur di Jawa jauh lebih maju dibandingkan Papua atau Maluku, menciptakan ketimpangan peluang.
Menurut ahli sosiologi Selo Soemardjan, ketimpangan sosial terjadi karena “struktur masyarakat yang tidak merata dan kebijakan yang tidak konsisten.” Pandangan ini diperkuat oleh data Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2025, yang menunjukkan perbedaan mencolok: IPM DKI Jakarta mencapai 82, sedangkan Papua hanya 61.
Dampak Teknologi
Di sisi lain, teknologi juga membawa tantangan baru. Meski program “Internet Desa” berhasil, hanya 40% warga pedesaan yang benar-benar melek digital per Maret 2025. Hal ini menciptakan kesenjangan baru antara mereka yang bisa memanfaatkan teknologi dan yang tertinggal.
Langkah Praktis Menuju Keadilan Sosial yang Lebih Baik
Kebijakan Pemerintah
Pemerintah dapat memperkuat keadilan sosial melalui:
- Penguatan Bansos: Fokus pada bansos produktif, seperti pelatihan kerja, bukan hanya bantuan tunai.
- Subsidi Terarah: Alokasi subsidi energi dan pendidikan untuk kelompok paling rentan.
- Digitalisasi Layanan: Perluas akses telemedicine dan e-government ke seluruh wilayah.
Peran Masyarakat
Masyarakat juga memiliki peran besar:
- Pendidikan Kesadaran: Kampanye tentang pentingnya solidaritas sosial di sekolah dan komunitas.
- Gotong Royong: Revitalisasi budaya membantu sesama, seperti “Berbagi Nasi.”
- Advokasi: Dukung kelompok rentan melalui gerakan sosial atau petisi.
Teknologi 2025
Di era digital, teknologi bisa menjadi alat pemerataan:
- AI untuk Bansos: Gunakan kecerdasan buatan untuk mendeteksi keluarga miskin secara akurat.
- Big Data: Analisis data untuk merancang kebijakan yang tepat sasaran.
- Edukasi Digital: Latih masyarakat pedesaan menggunakan platform online untuk bisnis atau pendidikan.
Kesimpulan
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah cita-cita luhur yang lahir dari perjuangan kemerdekaan dan tetap relevan hingga 2025. Dari definisinya dalam Pancasila hingga tantangan seperti ketimpangan ekonomi dan akses hukum, perjalanan menuju keadilan sosial penuh liku. Namun, dengan contoh nyata seperti program pemerintah dan inisiatif masyarakat, ada harapan bahwa visi Soekarno bisa tercapai. Tantangan seperti korupsi dan kesenjangan digital harus diatasi dengan solusi konkret—baik melalui kebijakan, peran masyarakat, maupun teknologi.
Keadilan sosial bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga kita semua. Apa yang bisa Anda lakukan hari ini untuk membawa perubahan kecil di sekitar Anda? Mari wujudkan sila kelima Pancasila bersama, demi Indonesia yang lebih adil dan sejahtera.
Tanya Jawab
Keadilan sosial dalam Pancasila merujuk pada prinsip yang terkandung dalam sila kelima, yaitu “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Arti utamanya adalah upaya menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera, di mana setiap individu memiliki hak yang sama untuk mendapatkan kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, dan perlindungan hukum tanpa diskriminasi. Dalam Pancasila, keadilan sosial tidak hanya berfokus pada aspek ekonomi, tetapi juga sosial, budaya, dan politik, dengan landasan gotong royong dan kemanusiaan. Ini mencerminkan visi pendiri bangsa, seperti Soekarno, yang menyebutnya sebagai “semua buat semua”—keadilan yang inklusif untuk seluruh rakyat, bukan hanya segelintir kelompok.
Keadilan berdasarkan Pancasila adalah konsep keadilan yang holistic dan berakar pada lima sila, khususnya sila kelima. Keadilan ini tidak hanya berarti perlakuan sama di depan hukum, tetapi juga pemerataan kesempatan dan kesejahteraan dalam kehidupan bermasyarakat. Berdasarkan Pancasila, keadilan harus:
Berlandaskan Ketuhanan: Adil dengan nilai moral dan spiritual.
Bersifat Kemanusiaan: Menghormati harkat dan martabat manusia.
Mendukung Persatuan: Mengutamakan kebersamaan, bukan konflik kelas.
Didasari Kerakyatan: Memberi ruang bagi partisipasi rakyat.
Mewujudkan Sosial: Menjamin hak ekonomi dan sosial bagi semua.
Jadi, keadilan dalam Pancasila adalah keadilan yang seimbang antara hak dan kewajiban, individu dan kolektif, serta material dan spiritual.
Makna sila ke-5 adalah komitmen negara dan rakyat Indonesia untuk menciptakan sistem sosial yang adil, di mana tidak ada penindasan, kemiskinan, atau ketimpangan yang merugikan sebagian masyarakat. Sila ini menegaskan bahwa keadilan harus dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia, tanpa terkecuali—baik kaya maupun miskin, kota maupun desa, Jawa maupun Papua. Dalam konteks sejarah, sila ini lahir dari semangat anti-kolonialisme untuk membebaskan rakyat dari eksploitasi dan menuju kemakmuran bersama.
Di era modern seperti 2025, makna sila ke-5 juga mencakup pemerataan akses terhadap teknologi, pendidikan, dan layanan publik. Ini adalah panggilan untuk menghapus ketidakadilan struktural, seperti korupsi atau diskriminasi, demi terwujudnya masyarakat yang harmonis dan sejahtera.
Kata “adil” dalam sila ke-5 berarti perlakuan yang setara, proporsional, dan tidak memihak terhadap semua pihak, sesuai dengan hak dan kewajiban masing-masing. Dalam bahasa Indonesia, “adil” berasal dari bahasa Arab (‘adl) yang berarti lurus atau seimbang. Dalam konteks sila ke-5, “adil” tidak hanya soal hukum, tetapi juga keadilan distributif—pembagian sumber daya dan kesempatan secara merata agar tidak ada yang tertindas atau terpinggirkan.
Misalnya, seorang petani di desa berhak mendapat akses air irigasi sama seperti petani lain, dan seorang anak miskin berhak mendapat pendidikan setara dengan anak dari keluarga kaya. “Adil” di sini adalah kunci untuk menghapus kesenjangan sosial dan menciptakan kesejahteraan bersama.
Keadilan sosial adalah prinsip yang menjamin setiap individu dalam masyarakat memiliki akses yang sama terhadap hak dasar, seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan hukum, serta hidup bebas dari diskriminasi atau kemiskinan. Dalam konteks Indonesia, keadilan sosial diwujudkan melalui nilai-nilai Pancasila, khususnya sila ke-5, yang menekankan pemerataan kesejahteraan untuk semua lapisan masyarakat.
Contoh Keadilan Sosial:
Program Bansos: Pada 2025, pemerintah mendistribusikan bantuan sosial kepada 10 juta keluarga miskin untuk mengatasi dampak inflasi, memastikan mereka tetap bisa membeli kebutuhan pokok.
Akses Pendidikan: Program “Sekolah Gratis” di daerah tertinggal seperti NTT memungkinkan anak-anak miskin bersekolah tanpa biaya, setara dengan anak di kota besar.
Kesehatan: Kartu Indonesia Sehat (KIS) memberikan layanan kesehatan gratis kepada warga miskin, seperti operasi katarak atau persalinan.
Contoh-contoh ini menunjukkan bagaimana keadilan sosial berupaya mengangkat martabat rakyat yang kurang beruntung.
Contoh sila keadilan sosial adalah penerapan nyata dari sila ke-5 dalam kehidupan sehari-hari, baik oleh pemerintah, masyarakat, maupun individu. Berikut beberapa contoh konkret:
Pembangunan Infrastruktur: Pada 2024, pemerintah membangun jaringan listrik di 500 desa terpencil di Papua, memastikan warga mendapat akses energi yang sama seperti di perkotaan.
Gotong Royong: Warga di sebuah kampung di Jawa Tengah bahu-membahu memperbaiki rumah tetangga yang roboh akibat banjir, tanpa meminta imbalan.
Kebijakan Upah Minimum: Pemerintah menetapkan upah minimum regional (UMR) untuk melindungi pekerja dari eksploitasi, meski masih ada tantangan dalam implementasinya.
Internet Desa: Program pemerintah sejak 2023 telah membawa koneksi internet ke 80% desa di Indonesia hingga Maret 2025, membuka peluang ekonomi digital bagi warga pedesaan.
Contoh-contoh ini mencerminkan semangat sila ke-5 untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan yang merata.