Kebijakan Moneter di Masa Pandemi yang Perlu dipahami

Bank sentral Indonesia (BI) memperkirakan pemulihan ekonomi Indonesia akan lebih singkat. Prakiraan ini didasarkan pada kebijakan pemerintah dlm merespon pandemi COVID-19 & dianggap tepat.

BI mengakui pandemi sudah menurunkan produktivitas & kemajuan ekonomi. Pada dikala yg sama, pagebluk ini sudah mengganti semua bidang kehidupan, tetapi pula diperlukan oleh negara.

Edhie menerangkan Indonesia telah memakai tiga game changer tahun ini untuk mendorong pemulihan ekonomi negara. Pertama, intervensi kesehatan lewat program vaksinasi nasional.

Kedua, menjaga supaya anggaran APBN tetap fleksibel sehingga mampu dipakai selaku alat pemulihan ekonomi. Dua dr fleksibilitas itu tergolong kelancaran bisnis & rencana proteksi sosial, kata Edhie.

Terakhir, reformasi struktural yg didorong oleh UU Cipta Kerja meliputi isu penciptaan lapangan kerja, pemberdayaan UMKM, & reformasi regulasi. Edhie pula menyampaikan bahwa vaksinasi COVID-19 di Indonesia pula turut andil dlm mendukung pemulihan ekonomi negara Indonesia.

Game changer tersebut menurutnya membuat perkembangan ekonomi ke depan bakal kasatmata, meskipun pada 2020 sempat minus 2,1 persen.

Hal ini diperuntukkan untuk memajukan kegunaan & dapat dipercaya BI. Ia optimistis kebijakan ke depan akan lebih mempunyai dampak kasatmata jika BI lebih transparan.

Pertumbuhan yg berkelanjutan dlm volume perdagangan dunia menunjukkan hal ini. Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti sependapat dgn Edhie bahwa pemulihan ekonomi global akan lebih cepat dr perkiraan di tengah pandemi.

Hal ini tercermin dr berlanjutnya pertumbuhan volume jual beli dunia.Untuk itu, BI telah menempuh beberapa kebijakan untuk mendorong momentum pemulihan ekonomi, antara lain kebijakan moneter, kebijakan makroprudensial, & kebijakan metode pembayaran.

Semuanya dikoordinasikan dgn pemerintah & instansi lain. Lebih lanjut ia mengatakan, BI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi di kisaran 4,1-5,1 persen & inflasi diperkirakan 3,0 +/- 1 di 2021.

  Amerika Serikat

Masih di potensi yg sama, Rektor Universitas Indonesia, Ari Kuncoro menganggap, para pelaku UMKM optimistis menghadapi triwulan II tahun ini.

Seperti triwulan sebelumnya, kata beliau, peningkatan Indeks aktivitas bisnis (IAB) dipicu oleh meningkatnya acara penduduk seiring tren kasus COVID-19 yg menurun, peningkatan bikinan untuk pemenuhan hari raya, serta alasannya-sebab lainnya.

Sedangkan, dilihat dr perbedaan keadaan makro & perbankan antar tahun 1998, 2008, & 2020 saat terjadi krisis, tahun ini tatkala dihadapkan dgn suasana COVID-19, ia mengatakan bahwa inflasi lebih terkendali dibanding kedua tahun sebelumnya.

Ini ia sebut berkat adanya Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) yg melibatkan kolaborasi dgn kementerian, lembaga terkait seperti kepolisian pula pemerintah daerah. Sehingga tak ada lagi penimbunan barang & transportasi yg terusik distribusinya.

Meski demikian, pandemi COVID-19 tetap menunjukkan imbas bervariasi pada aneka macam sektor, khususnya sektor riil yg menjadi sektor paling terdampak & potensial mengakibatkan terjadinya PHK & memunculkan kelompok penduduk miskin baru.

Selain dr kedua pembahasan di atas, kita banyak menyaksikan bank sentral melaksanakan penyesuaian kebijakan yg sesungguhnya “tidak lazim”. Kebijakan bank sentral tersebut karena kebijakan suku bunga telah berada di level terendah.

Misalnya, suku bunga Fed berada di 0,25% di Amerika Serikat (AS); & UE sebesar 0,0%; & 0,1% di Inggris. Negara-negara regional mirip India memiliki rate 4,0%; China 3,85%; Indonesia 3,5%; Filipina 2,0%, & Malaysia 1,75% pula tergolong yg terendah, jadi tatkala pandemi tiba-datang melanda & menciptakan.

Ketika dampaknya sangat besar ruang stimulus moneter dgn menurunkan suku bunga sesungguhnya sungguh terbatas. Jadi mau tidak ingin, kebijakan injeksi likuiditas atau pertolongan pandemi mesti dilakukan.

  Soal Pilihan Ganda Tentang Pengertian, jenis dan Syarat Uang

Sebagai catatan, hal ini pun disebabkan terbatasnya ruang stimulus di sisi fiskal lantaran adanya tekanan pada penerimaan negara.

Untungnya, suku bunga rendah & suntikan likuiditas telah menjadi satria untuk menahan penurunan ekonomi yg disebabkan oleh pandemi, sementara pula membantu menciptakan pasar keuangan lebih stabil.

Sayangnya, pemulihan segi ajakan yg didorong oleh stimulus moneter lebih memiliki pengaruh dibandingkan dengan segi penawaran tatkala risiko pandemi mulai mereda. Hal ini diwujudkan dlm pemulihan buatan manufaktur – umumnya ditunjukkan oleh Indeks Manajer Pembelian (PMI) – yg lebih cepat ketimbang pemulihan likuiditas atau populasi.

Atau pula ditandai dgn kenaikan harga komoditas terutama logam & energi yg menerima dorongan signifikan. Kenaikan harga komoditas tersebut lantaran perkembangan ekonomi global dengan-cara umum sudah keluar dr zona resesi sejak triwulan IV-2020, namun dibarengi dgn peningkatan inflasi, baik oleh konsumen (Consumer Price Index). /CPI) & produsen (Producer Price Index /PPI), pula meningkat dengan-cara signifikan di sebagian besar negara di dunia.

Akibatnya, timbul “musuh” gres bagi kebijakan moneter ke depan. Yakni dgn nama kegundahan supply shock, global value chain crisis, dan stagflasi. Itulah tantangan berikutnya yg perlu ditangani oleh para pemegang kebijakan moneter global.

Sehingga tak aneh pada 2021 arah kebijakan longgar (loosening) yg dianut pada tahun sebelumnya mulai ditinggalkan, bahkan banyak yg langsung berganti kutub menjadi ketat (tightening) hanya dlm hitungan bulan.

Itulah hal “tidak lazim” selanjutnya yg kita lihat di masa transisi atau pemulihan ini. Patut dimaklumi memang, siapapun tentu akan cemas bi la terjadi supply shock, global value chain crisis, dan stagflasi karena akan menimbulkan perekonomian kembali berbalik arah.

  Perbedaan BUMN, BUMD dan BUMS

Adanya Surat Keputusan Bersa ma (SKB); forum stabilitas sistem keuangan (FSSK); & tim pengendali inflasi nasional & tempat menjadi bentuk yg mampu menjadi indikator tersebut. “Ketidaklaziman” yg bersifat aktual sebenarnya, apalagi jikalau melihat apa yg menjadi tujuan BI yg tertuang dlm UU No 23 tahun 1999 ataupun UU No 3 tahun 2004, yaitu “mencapai & memelihara kestabilan nilai rupiah”.