Kehidupan sosial politik, akan berlangsung dgn adanya faktor manusia yg hendak mengetahui pembangunan kota yg berjalan pada masa periode politik pada masa orde Baru, & Reformasi. Setelah itu, aneka macam kepentingan ekonomi pedesaan, & perkotaan berjalan dgn adanya asimilasi seksualitas masyarakat setempat yg tinggal pada urbanisasi ekonomi pedesaan.
Kepentingan ekonomi, dgn adanya diskriminasi, & rasialis akan berada pada keadaan manusia, yg hendak dipahami adanya kepentingan birokrasi, & ekonomi pedesaan pada penduduk perkotaan yg layak dipahami dgn adanya perubahan sosial pantas dikenali dgn adanya pembangunan insan sehabis reformasi – Orde Baru 1970an – 2002.
Kapitalisme tumbuh di Jakarta, jual beli & tekstil menjadi permulaan dr kehidupan pada masa kemerdekaan, & sehabis pertentangan etnik, & agama yg dibuat guna mencari perhatian publik di Pontianak, tak jauh berlainan pada kepentingan ekonomi masyarakat Tionghoa pedesaan (Hakka – Hokkien) perbudakan, pemerasan, sesama kaum.
Taipan, menjadi sebutan bagaimana ekonomi tumbuh di Jakarta, dgn jual beli tradisional seperti pertokoan, & market yg diciptakan dlm setiap elemen penduduk dr pemasaran yg dihasilkan pada ekonomi pribumi, masyarakat Tionghoa menjadi buruh pabrik, pertanian, transportasi.
Hal ini menjelaskan adanya penciptaan ekonomi kota yg terjadi, lewat pembagian kerja, atau merasa tak mampu mencari makan, kata orang Jawa yg berurbanisasi ekonomi, guna memanfaatkan agama & penyebaran agama di Indonesia, lokal dlm kehidupan budaya sosial di masyarakat dengan-cara lazim.
Ketika mereka menguasai metode ekonomi & budaya, serta apa yg menjadi catatan kepada aspek kehidupan sosial di penduduk lokal, & pembangunan manusia, & ekonomi patut dipahami dgn adanya moralitas & akhlak yg hilang pada kaum Tionghoa – Pribumi yg sebelumnya beragama Kristen Protestan – Kristen.
Hamba Uang, Pada Konflik Agama
Cara menghambakan duit, & kesehatan menjadi jelas dgn asimilasi & pertentangan etnik, & kebuasaan mereka selaku orang Tionghoa – Dayak – Jawa, orang disini, sebagai permulaan dr asimilasi seksualitas mereka di Tanah bumi Kalimantan & Jawa Kolonial Belanda – revolusi yg menjadi catatan terhadap hasil seksualitas politik.
Fase kehidupan sosial budaya, menerangkan adanya aspek kehidupan primitive, & peredaran ekonomi sosial pada metode sosial di masyarakat, kepada seksualitas, guna mendapatkan pengesahan masyarakat Tionghoa untuk beragama Katolik – Protestan, & Islam.
Sebelumnya menerangkan hal tersebut pada kepentingan politik ekonomi di Ibukota Jakarta, hal ini dipahami selaku utang darah pada konflik agama & etnik di Kalimantan, & Jawa di masa kemudian terjadi. Sistem ekonomi pedesaan, terletak pada orang Jawa – Dayak – Melayu. Tionghoa menjadi awal bagaimana pertentangan tersebut tercipta baik dijadwalkan atau tidak.
Pada aspek pendidikan misalnya bila mendapatkan uang darimana, & bagaimana melakukan penelitian dlm menyelesaikan pendidikan tinggi, & melakukan pekerjaan itu menjadi permulaan dr golongan kehidupan sosial kebawah sebelumnya.
Sedangkan orang Jawa, tentunya senang dgn perumpamaan kehidupan agama alasannya adalah kepentingan golongan, suku & seksualitas, baik itu dengan-cara ekonomi, politik & budaya serta konsumsi (pertanahan). Tatkala ekonomi ketuhanan yg mempunyai efek pada pola prilaku penduduk lokal, Indonesia.
Dengan masuknya agama, maka mereka berbondong – bondong tiba ke pedesaan & kota untuk menunjukkan jasa medis, & pendidikan dlm pembangunan ekonomi pada kekuasaan birokrasi pada politik lokal di Kalimantan Barat, & hidup berpindah – pindah berdasarkan kepentingan politik – ekonomi agama Budha – Nasrani – Protestan (orang).