Konflik yg terjadi antara Amerika Serikat Dan Iran, pastinya merupakan serpihan dr pertentangan yg berkecamuk diantara kedua Negara tersebut di berbagai aspel. Kemudian, catatan saat ini dinyatakan bahwa Iran mengancam akan membalas serangan Amerika Serikat yg pada permulaan tahun ini menewaskan Mayor Jenderal Qassem Soleimani, (Republik.com).
Sementara, berbagai hal terkait dgn waktu setempat, serangan akhir Iran berupa rudal dialamatkan ke pangkalan udara Irak al Asad, kawasan pasukan asal Amerika Serikat berada. Iran menganggap serangan tersebut sebagai “pembelaan diri yg sah”. Setelah serangan-serangan ini, muncul kekhawtiran akan ada perang siber Amerika Serikat versus Iran.
Jacqueline Schneider dr Hoover Institution of Stanford dlm kolom opini di The New York Times menyatakan “negara yg tak bisa menyerang Amerika Serikat dgn pesawat, rudal atau melalui laut, bisa memakai serangan siber untuk menargetkan tanah Amerika”.
Serangan siber dr Iran ke Amerika Serikat, menurut Schneider, tak menargetkan militer, melainkan warga sipil. Iran bisa saja menargetkan infrastruktur publik sehingga akan berdampak eksklusif pada kehidupan masyarakat. Target serangan siber antar lain pasokan listrik, rumah sakit, pasokan air & transportasi.
Departemen Keamanan Dalam Negeri Amerika Serikat (DHS) mengeluarkan buletin yg menyinggung soal serangan akibat, dikutip dr laman Yahoo Finance, bahwa tak ada ancaman spesifik & sah’ dr Iran.
Tapi, menurut buletin DHS, Iran & sekutunya memiliki rekam jejak untuk melancarkan serangan ke AS, baik yg menargetkan infrastruktur fisik maupun serangan siber.
Iran pula memiliki riwayat serangan siber ke AS, September 2019 kemudian, menurut data dr laman CSIS, Iran pernah menyerang 60 universitas di beberapa negara, tergolong Amerika Serikat, untuk mencuri hak kekayaan intelektual.
Salah satu serangan siber terbesar Iran yakni “Operation Ababil”, serangan distributed denial of services (DDoS) dr grup yg menamakan diri Izz ad-Din al-Qassam Cyber Fighters. Serangan itu berlangsung pada 2011-2013, menargetkan institusi perbankan, antara lain Bank of America & JP Morgan Chase, serta bursa saham Nasdaq.
Pendiri firma keselamatan siber IronNet, yg pula mantan petinggi di National Security Agency (NSA), Keith Alexander, menyatakan AS merupakan salah satu negara yg paling mempersiapkan pertahanan terhadap serangan siber.
Tapi, tatkala menghadapi sebuah serangan, bantu-membantu tak ada satu negara pun yg siap. “Alasannya, lebih mudah menyerang dibandingkan dengan bertahan,” kata Alexander, dikutip dr laman Forbes.
Philip Ingram, seorang mantan intelijen militer Inggris Raya, berpendapat, meski pun susah untuk membandingkan kemampuan siber antarnegara, Iran merupakan salah satu negara yg diperhitungkan.
“Rusia & China ialah tier 1 penyerang siber, lalu yg sangat bersahabat dgn mereka yakni Iran, kemudian Korea Utara,” kata Insgram.
Menurut Ingram, sangat susah untuk membedakan kemampuan siber setiap negara alasannya mereka terkadang memakai proxy dr negara lain untuk menyembunyikan kegiatan mereka.
Jika Schneider menyinari infrastruktur publik yg akan terdampak serangan siber, Alexander menilai yg paling berisiko yaitu sektor keuangan, energi & komunikasi, mirip yg pula dinyatakan DHS.
Alexander menyertakan kegiatan pemerintah AS pula berisiko diserang. “Karena itulah yg mereka lakukan dulu, pula ke kebanyakan tempat di Timur Tengah. Masuk akal kalau mereka menyerang jaringan militer jika bisa. Mereka pula akan menyerang jaringan yg berkaitan dgn energi & finansial,” kata dia.
Meski pun ada kemungkinan bahaya, Schneider berpendapat AS tak boleh hanya berkonsentrasi pada serangan siber dr Iran.
ia mencontohkan Operation Ababil, meski pun menargetkan institusi keuangan, dampaknya tak begitu besar, cuma sebentar pelanggan tak bisa mengakses akun mereka.
Kekhawatiran AS soal serangan siber dr Iran beralasan, pada 2010 kemudian serangan worm komputer Stuxnet memukul program nuklir Iran. Amerika Serikat & Israel dicurigai berada di balik serangan Stuxnet, meski pun kedua negara membantahnya.