– Bagaimana desain tuhan menurut perspektif sosiologi ? Simak penjelasan & ulasannya berikut ini ya.
Mengenal, menelaah, mengetahui rancangan ketuhanan dlm ilmu sosiologi. Yuk baca.
Penulis : Alumnus Sosiologi Universitas Riau (Unri), Sandewa Jopanda
Sekilas Menelaah Konsep Ketuhanan
Tuhan, tak sekedar kata. Tuhan pun bukan sekedar zat yg mencipta, memelihara, & mengakhiri semua kehidupan semesta.
Tuhan tak hanya hadir dlm sanubari & logika. Bagaimanakah bahu-membahu Sosiologi memahami keberadaan Tuhan?
Konsep Ketuhanan senantiasa dipatenkan oleh agama, atau disiplin ilmu yg berdekatan dengannya. Tuhan dianggap tak mampu dijelaskan oleh disiplin ilmu sosial & sians.
Kepemilikan definisi Tuhan seperti hanya mampu dituturkan pemuka agama, mirip Ustadz, Syekh, Pendeta, Pastor, Biksu, atau keturunan orang suci yg hingga kini masih hidup.
Para cendikiawan yg mempelajari agama selaku suatu pengetahuan dlm pencariannya berulang kali mendefinisikan Tuhan dengan-cara sederhana.
Definisi tersebut justru tak menafsirkan Tuhan dr hati, seolah Tuhan yg dinalar tak boleh ada didunia ini.
Petikan film Angels and Demons, saat Robert Langdon meminta izin il camerlengo (Pastor ajudan pribadi Paus-Pemimpin Umat Kristen Sedunia) untuk mengakses Arsip Vatikan yg berupa perpustakaan, ada pertanyaan kepadanya yg menohok.
“Apakah kau-sekalian percaya Tuhan?”
“Aku seorang akademisi, pikiranku berkata bahwa gue tak akan pernah mengerti Tuhan”
“dan hatimu?”
“Percayalah, gue tak berencana begitu, Keyakinan yakni anugerah yg belum saya terima”.
Dialog itu mengutarakan kenyataan yg ada, seringkali ilmu wawasan yg diajarkan di kelas-kelas sekolah & universitas tak akan mampu memahami Tuhan.
Menalar Tuhan, menganalogikan Tuhan mirip benda lain, & Iptek dianggap berseberangan dgn keberadaan Tuhan.
Pakem ini tak tau kapan munculnya namun inilah yg mungkin mendasari banyak sekali guru besar yg menjadi jauh atas pengertian agama & ketuhanan.
Beberapa tokoh & sejarawan banyak memberikan desain-konsep ketuhanan dlm jabaran disiplin ilmu mereka.
Ketertarikan akan rancangan ketuhanan pula menyentil sosiologi, kemudian bagaimana Tuhan dlm konsep sosiologi?
Mengenal & Memahami Konstruksi Sosial
Awal tulisan ini, sudah memberikan sebuah konfirmasi bahwa penulis tak sedang menguraikan desain ketuhanan dlm artikel singkat.
Melainkan esai kritis yg gampang-mudahan saja bisa subtil, menyentuh konsep ketuhanan ala sosiologi.
Masyarakat yg tamadun, condong sudah mengenal keyakinan akan zat yg agung diluar diri mereka.
Akal & budi yg ada pada manusia menumpahkan abstraksi akan agama & Tuhan dlm model yg bermacam-macam.
Interaksi manusia yg condong bersifat isomorfis & filantropik sesungguhnya memberi efek teofani (Yusuf, 2009).
Hubungan-relasi yg terjalin dlm masyarakat dlm daypikir Tuhan yg awalnya serba melangit menjadi harus membumi.
Tuhan yg ada diatas, harus mampu diletak dibawah.
Artinya Tuhan mesti berada ditengah penduduk yg ada di bumi, yg memahaminya dlm konteks kesesuaian budaya, & dominasi pandangan.
Pemuka agama menjabarkan nilai ketuhanan sebagai upaya menerangi jalan pikiran manusia, mengingatkan kita yg tak ada menjadi ada & akan kembali tiada.
Sebuah siklus kehidupan yg sekali lagi menjabarkan kita “dihidupkan” & “dimatikan” oleh zat yg besar & tak mungkin kita gapai dgn nalar kita yg sempit.
Menurut ilmu sosial Tuhan tak cuma hadir di rumah ibadah yg megah berlantai marmer & bercerobong.
Tuhan tak cuma direngkuh melalui asap dupa & sujud sembah, namun Tuhan ada dlm tiap berkas kelakuan kita terhadap yg lain.
Konsep ketuhanan yg disebutkan pada kalimat sebelumnya adalah upaya insan memproyeksikan Tuhan.
Ada yg memproyeksikan Tuhan dlm seni rupa dua atau tiga dimensi, ada yg merasa Tuhan tak perlu di simbolisasi, ada pula yg merasa Tuhan perlu di lokalisasi dlm rumah-rumah ibadah.
Semua penjelmaan desain Ketuhanan & Agama diatas merupakan cara insan mengkonfirmasi keyakinan mereka.
Perdebatan akan Tuhan mirip apa & bagaimana sudah mesti teratasi. Tatkala manusia lahir, lantas unsur sosial seperti budaya, suku, agama, ras.
Semuanya terikut bersama-nya. Hal-hal itu dikenal dgn perumpamaan given (terberikan), & given bukanlah sesuatu yg perlu dipersoalkan.
Dia hadir & menyatu, berkelindan dlm jiwa raga. Sebagai salah satu komponen sosial, agama yg dianut sudah dikonstruksi oleh penduduk .
Tak perlu heran kemudian Orang Arab menggunakan Serban, sementara di Indonesia memakai Kopiah.
Begitu pula, dgn upacara kematian di Roma, dgn di Tanah Batak. Di Bali, Nyepi dirayakan sesuai namanya.
Berdiam diri, hening & berupaya menyatu dgn sang Hyang Widhi, namun di India penduduk memenuhi jalanan dgn suara riuh rendah.
Tuhan yaitu representasi keyakinan sosial terhadap sesuatu yg ada dlm wujud yg tiada.
Menalar Tuhan Sosial dlm Keseharian Aktivitas Manusia
Ketika bicara keyakinan, maka tak boleh seseorang menjustifikasi hal tersebut dlm standarnya sendiri.
Artinya ia tak mengilhami bahwa interaksi & hubungan sosial yg terjalin pun harus dijaga.
Tuhan tak mungkin hadir menjelaskan makna tenang, tetapi insan harus menjamahnya tatkala saling bertegur sapa, bersalaman, tersenyum, & sebagainya.
Benar bahwa Konsep ketuhanan yg ilmiah acapkali justru tak menentramkan hati pendengar & umat sehingga ditolak mentah-mentah.
Ini terjadi karena ada sekat antara orang awam & ilmuwan. Beda bacaan, diskursus, & perbedaan lain yg mendasar sehingga penjelasan tersebut seolah tak diterima.
Misalnya inovasi Antimateri musuh Materi pada bidang Fisika & Biologi, yg mengejawantahkan bahwa zat seperti itu ada.
Materi ada pada makhluk, anti materi berada pada zat diluar makhluk, yg dianggap sebagai zatnya Tuhan.
Pendekatan Fisika Kuantum yg menerangkan keberadaan Tuhan justru tak mudah dipahami.
Oleh kesannya ilmu sains tak gampang menerangkan adanya Tuhan alasannya adalah tingginya diskursus yg hadir.
Ketika agama & tradisi beriringan di masyarakat, semisal dlm bentuk persembahan, program budpekerti & sebagainya, pakem akan Tuhan & Agama sudah sepaket menyatu dlm hati & asumsi.
Menalar Tuhan atau mengkonsepkan kelogisan Tuhan tak diharapkan dlm dunia sosial. Karen Amstrong (2002) berpendapat rancangan Tuhan tak mesti bersifat logis atau ilmiah yg penting bisa diterima.
Maknanya, konstruksi sosial yg telah semerbak disekitar tak perlu diperdebatkan. Tuhan dengan-cara sosial lebih gampang diterima.
Tuhan diwujudkan oleh insan, sehingga penafsirannya adakala membuat kita kebingungan memaknai keberadaannya.
Chopra (2016) pernah berpendapat, Tuhan yakni ladang yg sarat dgn kemungkinan.
Keberagaman model “Tuhan” di penduduk dr tinjauan sosiologi merupakan ekspresi manusi beribu tahun untuk menalar Tuhan yg bersahabat & lekat.
Tidak jauh & tak kentara seperti langit. Tak pula dlm & misterius mirip laut.
Tuhan berada disekitar tetapi tak menampilkan “wujud agung”-nya dengan-cara spesifik untuk menyingkir dari perselisihan & persatuan dlm kurun waktu yg singkat.
“…Kemudian kami jadikan ananda berbangsa-bangsa, bersuku-suku, supaya ananda saling mengenal….”.
Menukil salah satu Ayat Al-Quran di Surat Al-Hujurat ayat ke 13, dr sini kita bisa terangkan, kadang kitab suci pun ditafsirkan sesuai dgn pemahaman pemuka agama.
Namun dlm sabdanya sendiri Tuhan (Allah dlm Islam), mengajarkan insan untuk bersosialisasi, berinteraksi & hidup berdampingan.
Tak perlu ada perdebatan atas nama Tuhan.
Walaupun Ia Esa,
Namun tampaknya Tuhan senang dgn keberagaman selaku hiburan-Nya.
_Prema Chaitanya
Nah itulah sekilas klarifikasi perihal Konsep Tuhan Menurut Perspektif Sosiologis, Ini Penjelasannya.
Sumber Referensi :
Amstrong, Karen. 2002. Sejarah Tuhan. Bandung: Mizan
Chopra, Deepak. 2016. Future of God: Pendekatan Praktis Spiritualitas Masa Kini. Jakarta: Change
Yusuf, Yusmar. 2009. Langit, Melayu, & Aras Mustari. Riau: Pemkab Pelalawan & Riau Jazz Turbulence