Juga berhasil. Wabah virus di sana sukses dikendalikan –meski belum seberhasil Tiongkok.
Italia mengikuti cara Tiongkok. Italia utara di-lockdown. Belum tahu sukses atau tidak. Baru dimulai lima hari yg kemudian.
Iran belum tahu akan ikut cara yg mana. Ayatollah Khamenei Jumat lalu baru mengeluarkan komando: menugasi militer menghadapi wabah itu.
Amerika Serikat masih bertengkar antara pemerintah tempat New York dgn pemerintah sentra.
Pemerintah sentra –terutama Presiden Donald Trump– awalnya cenderung menilai remeh. Dianggapnya wabah ini lebih sepele dibanding flu.
Sampai-hingga Gubernur New York mengancam akan mengatasi sendiri tanpa pemerintah pusat.
Ternyata wabah di AS terus meluas. Sebagian pengikut Trump menyalahkan Tiongkok. Sebagian lagi menyalahkan Partai Demokrat.
”Ketika wabah ini mulai berjangkit di Tiongkok, perhatian kita tercurah untuk menghadapi impeachment dari Partai Demokrat,” ujar pendukung Trump.
Tapi balasannya Trump menginformasikan kondisi darurat nasional. Termasuk menunjukkan stimulus USD 50 miliar.
Caranya: untuk beberapa waktu pajak penghasilan tak mesti dibayar. Harga saham di pasar modal pun –yang sempat anjlok terparah sejak tahun 1986– naik kembali 7 persen.
Saya menelepon John Mohn di kota kecil Hays, di pedalaman negara penggalan Kansas. ”Di sini kehidupan berjalan wajar ,” ujarnya dua hari kemudian.
Sehari kemudian John kirim kabar susulan. Yakni sehabis Trump pidato ”darurat” dr Oval Office di Gedung Putih itu. ”Dillons kini ini kehabisan susu, tisu, & roti,” ujarnya. Dillons adalah swalayan terdekat dr rumahnya.
”Di Kota Lawrence yg lebih besar & penduduknya lebih berpendidikan pula kehabisan susu, tisu, & roti,” tambahnya.
Sebenarnya jumlah penderita virus COVID-19 di Amerika masih sedikit –dibanding Italia, Iran, atau Korsel: 2.269 yg terkena, 48 yg meninggal, & 31 yg sudah sembuh. Itu pun yg terbanyak hanya di tiga negara potongan: Washington, California, & New York.
Tapi jumlah penderita barunya terus bertambah. Terakhir, Kamis kemudian, masih 277 orang. Itu sehari.
Sebenarnya –mirip kata gubernur New York– penderita gres itu lebih banyak lagi, namun tak terdeteksi.
Penyebabnya terperinci: kemampuan deteksi di Amerika yg rendah. Sampai Kamis kemarin masyarakatyg sudah dites, dengan-cara total, baru 5.000 orang.
Padahal, di Korea Selatan, tiap harinya saja mampu mengetes 12.000 orang. Sampai Kamis kemarin jumlah orang yg sudah dites di Korsel mencapai 230.000 orang. Bandingkan dgn 5.000 orang di negara sebesar AS.
Kemampuan sebanyak mungkin melakukan tes yakni kunci kebenaran data penderita COVID-19.
Kebenaran data itulah kunci keberhasilan pengendalian wabah di Korea Selatan. Yang tanpa lockdown pun bisa mengatur Covid-19.
Tentu itu terkait dgn tersedia tidaknya alat tes yg cukup. Juga terkait dgn ongkos tes.
Di Korsel & Tiongkok, tes virus COVID-19 diadakan dgn gratis. Itu pula yg akan dijalankan di Amerika, balasannya.
Kemampuan tes yg tinggi di Korsel itu berkat jasa pengusaha bioteknologi molekular di sana.
Pengusaha itu begitu sensitif. Tanggal 16 Januari 2020 –ketika COVID-19 belum masuk Korea– pebisnis itu sudah memutuskan memproduksi perlengkapan tes untuk virus dr Wuhan itu.
Tanggal 5 Februari peralatan tes pertama sudah mulai dibuat . Hanya perlu waktu 20 hari untuk mendesain, mengadakan bahan, & mempersiapkan alat produksi.
Kini perusahaan itu berproduksi 24 jam sehari. Pesanan tiba dr seluruh dunia. Kuwalahan.
Yang pula cepat ialah mekanisme perizinannya. Khususnya agar alat itu lolos –dianggap aman & benar. ”Biasanya izin mirip ini gres selesai sehabis 1,5 tahun,” ujar Chun Jong-yoon, CEO Seegene, perusahaan bioteknologi mulekular itu.
”Kali ini izin keluar dlm waktu 1 ahad,” ungkapnya.
Tanpa Omnibus Law.