Membangkitkan Daya Dialektis dengan Secangkir Kopi

– Cafe atau Warkop di era digital harus membuka ruang baca, ruang diskusi khusus, ruang literasi bagi hadirin guna membangkitkan daya dialektis.
Kopi kata yg terdiri atas penanda, yaitu K-O-P-I yg menerangkan suatu Objek berbentukminuman hangat penyegar syaraf Neuron di dlm otak kita. Campuran rasa antara Pahit & manis menghasilkan sebuah dialektika yin & yg mengenai pahit-manisnya hidup.
Secangkir kopi yg dahulu berasosiasi dgn cafe atau warkop selaku kawasan berafiliasi yg sudah menjadi lokasi komitmen primordial nan kritis. Kita pernah membaca pada buku filsafat atau paling tak pernah sekedar mendengar bagaimana Filosof menghabiskan waktunya di warkop atau cafe.
Kita lihat, dua orang filosof Materialis, sebut saja Karl Heinrich Marx & Freidrich Engels, menyelenggarakan akad primordial di café, atau Jean Paul Sartre sorang Filosof Eksistensialis asal Prancis pula mengisi waktunya di warkop.
Begitu besarnya eksistensi warkop atau cafe di jaman dulu, sehingga tatkala kita menjajal berkunjung di cafe pada masa itu, kemungkinan kita akan melihat perdebatan filosofis yg berlangsung & ditemani oleh kopi selaku penghangat suasana.
Itulah realitas kopi & cafe pada masa kemudian. Dan yg menjadi pertanyaan sekarang masih adakah filosofi di secangkir kopi atau masih hidupkah ihwal kritisisme di cafe milenial ?
Tentu ini menjadi pertanyaan kita semua mengingat realitas cafe hari ini tak lagi seolah mengalami ajal ditengah dunia yg ter-digitalisasi.
Siapakah Raksasa Penghancur ?
Benarkah Filosofi kopi masih hidup ? Tak kala kita menyaksikan fenomena dilapangan, dimana Cafe atau warkop kini ini tak lebih menjadi daerah hura-hura, mulai dr pecandu wifi yg merindukan kehangatan Jaringan Online hingga para Pasangan yg mengadu Romantika cinta mereka di cafe.
Dan dgn itu dapatkah kita memanifiestokan suatu keadaan dimana hakikat kopi ataupun Cafe sudah mengalami pembantaian massal, ibarat genosida kopi & cafe di bantai dr sejarah historisitas yg dimilikinya & menjinjing kita semua para penikmat kopi memasuki sebuah era yakni “Post-Kopi”.
Pertanyaan berikutnya siapakah pelaku pembantaian tersebut ? Siapakah Raksasa yg sudah merusak sendi-sendi filosofis dr kopi ? Jika kita membuka buku atau Eksemplar yg berjudul “The McDonalditation of Society” Goerg Ritzer seorang tokoh Ilmu Sosial yg termansyur dapat dimengerti bagaimana Cafe-Cafe tradisional mengalami suatu tanda-tanda modernisasi yg dinamakan “Sturbuckisasi”.

Sturbuckisasi yg mengambil rancangan pelayanan cafe yg diterapkan oleh perusahaan Sturbuck dengan-cara perlahan sudah mengubah paradigma cafe dr ruang-ruang filosofis ke ruang-ruang parade Hedonitas.
Teknik Panggung depan (Front stage) yg menjadi ciri dr Sturbuckisasi sudah memoles suatu gambaran baru bagi cafe milenial yg serba ramah tamah & sarat rasa kekeluargaan. Cafe mirip menjadi rumah kedua yg mengisi waktu kosong seseorang lewat dialektika dgn youtube.
Namun, dengan-cara perlahan kultus berupa pelayanan yg serba ramah tamah tersebut pula kemungkinan mempunyai dampak pada tertanamnya suatu paradigma baru dialam bawah sadar pengunjung café, ialah budaya kesenangan.
Budaya kesenangan tersebut, bila demikian besarnya & melaksanakan perkawinan dgn Budaya yang lain berbentukhedonitas yg sudah mantap, maka akan besar lengan berkuasa pada realitas cafe itu sendiri.
Dalam hal ini benturan antara Sturbuckisasi dgn Hedonitas kekinian sudah menenteng sebuah perubahan pada esensi café. Sekaligus makna dr secangkir kopi itu sendiri, dr ruang-ruang perihal filosofis menjadi ruang-ruang penghancur kesadaran, dr minuman pengaktiv syaraf neuron ke minuman candu para budak hedonitas.
Seperti itulah masa Post-Coffe sebagai suatu kondisi dimana tentang cafe mengalami akhir hayat massal lewat pembantaian oleh perkawinan antara Hedonitas, Sturbuckisasi, Media & Local Universal dr Globalisasi itu sendiri.
Post-Postcoffe : Mengembalikan Wacana Filosofis di Cafe
Berbagai tantangan untuk mengembalikan esensi sejati cafe & segelas kopi merupakan tantangan kita bersama, mengingat dunia yg sedang dilanda Jahilya Modernitas mirip kini ini kembali memerlukan ruang-ruang wacana kritis.
Cafe di masa milenial mesti melebihi tren post-coffe yg pada umumnya telah melanda realitas dunia. Cafe membuatnya tak lebih selaku candu bagi para kaum hedon. Cafe harus dikembalikan pada esensi sejatinya ialah ruang-ruang daerah lahirnya ihwal filosofis & perihal kritis.
Melalui proyek Post-PostCoffe cafe atau warkop di era Digital mesti membuka ruang-ruang baca, ruang diskusi khusus, ruang literasi bagi hadirin guna membangkitkan daya dialektis yg selama ini sudah tenggelam di tengah hingar-bingar budaya borjuis di cafe-cafe millennial.
Cafe mesti turut andil menjadi ruang atau wadah kawasan terjadinya diskusi dialektis dgn dibukanya acara-acara diskusi keilmuan, analisis fenomena ataupun kebijakan. Menjadi salah satu titik angin segar dlm perubahan dgn cultur kritisisme di dalamnya, bila perlu antara cafe & perpustakaan harus mengalami perkawinan guna menjadi ciri dab tren gres bagi cafe-cafe milenial.
Dari ruang yg sebelumnya cuma sebatas ruang daerah curhat yg tak berbobot ke ruang yg berisikan curhat-curhat filosofis, maka dr itu mari kembalikan budaya kritisisme didalam cafe/warkop sehingga era Kopi kembali berjaya.
Salam Pecinta Kopi Indonesia

“Sturbuckisasi yg mengambil konsep pelayanan cafe yg dipraktekkan oleh perusahaan Sturbuck dengan-cara perlahan sudah mengganti paradigma cafe dr ruang-ruang filosofis ke ruang-ruang parade Hedonitas”

Penulis : Dinasty (Pegiat Filsafat di Athena Institute)
Jurusan : Sosiologi

Mhs/Kampus : Universitas Negeri Makassar

Media sosial
IG : @celoteh_Dinasty