MODEL PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISTIK

MODEL PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISTIK


1.      Pengantar

Kemajuan teknologi komunikasi & informasi yg meningkat begitu pesat pada masa globalisasi, menenteng perubahan yg sangat radikal. Perubahan itu sudah mempunyai dampak pada setiap faktor kehidupan, tergolong pada system pendidikan & pembelajaran. Dampak dr perubahan yg luar biasa itu terbentuknya suatu ‘kumonitas global’, lebih parah lagi sebab komunitas global itu ternyata tiba jauh lebih singkat dr yg dipertimbangkan: revulusi keterangan telah mendatangkan dunia baru yg benar-benar hyper-reality.

Akibat dr perubahan yg begitu cepatnya, manusia tak bias lagi hanya bergantung pada seperangkat nilai, kepercayaan, & pola kegiatan social yg konstan. Manusia dipaksa dengan-cara berkesinambungan untuk menganggap kembali posisi sehubungan dgn factor-faktor tersebut dlm rangka membangu suatu konstruksi social-personal yg memungkin atau yg tampaknya memungkinkan. Jika masyarakat bisa bertahan dlm menghadapi tantangan perubahan di dlm dunia wawasan, teknologi, komunikasi serta konstruksi social budaya ini, maka kita harus berbagi proses-proses gres untuk menghadapi masalah-masalah gres ini. Kita tak mampu lagi bergantung pada jawaban-jawaban masa lalu karena jawaban-jawaban tersebut begitu cepatnya tak berlaku seiring dgn perubahan yg terjadi. Pengetahuan, sistem-sistem, & keahlian-keterampilan menjadi suatu hal yg ketinggalan zaman hamper bersama-sama dgn ketika hal-hal ini menawarkan hasilnya. Degeng (1998) menyatakan bahwa kita sudah memasuki kala kekacauan. Era yg hadirnya begitu tiba-tiba & tak seorang pun mampu menolaknya. Kita mesti masuk di dalamnya & diobok-obok. Era kesemrawutan tak dapat dijawab dgn paradigma keteraturan, kepastian, & ketertiban. Era kekacauan harus dijawab dgn paradigma kesemrawutan. Era kesemrawutan ini dilandasi oleh teori & konsep konstruktivistik; suatu teori pembelajaran yg sekarang banyak dianut di kalangan pendidikan di AS. Unsure terpenting dlm konstruktivistik ialah kebebasan & keberagaman. Kebebasan yg dimaksud ialah kebebasan untuk melakukan opsi-opsi sesuai dgn pa yg mampu & mau dilakukan oleh si berguru. Keberagaman yg dimaksud yakni si mencar ilmu menyadari bahwa individunya berbeda dgn orang/kelompok lain, & orang/kelompok lain berlainan dgn individunya.

Alternative pendekatan pembelajaran ini bagi Indonesia yg sedang menempatkan reformasi sebagai wacana kehidupan berbangsa & bernegara, bukan hanya di bidang pendidikan, melainkan pula di segala bidang. Selama ini, wacana kita adalah behavioristik yg berorientasi pada penyeragaman yg pada balasannya membentuk manusia Indonesia yg sangat sulit menghargai perbedaan. Perilaku yg berlainan lebih dilihat sebagai kesalahan yg mesti dihukum. Perilaku manusia Indonesia selama ini sudah terserang virus kesamaan, virus keteraturan, & lebih jauh virus inilah yg mengendalikan perilaku kita dlm berbangsa & bernegara.

Longworth (1999) meringkas fenomenan ini dgn menyatakan: ‘Kita perlu mengubah focus kita & apa yg perlu dipelajari menjadi bagaimana caranya untuk mempelajari. Perubahan yg harus terjadi yaitu perubahan dr isi menjadi proses. Belajar bagaimana cara belajar untuk mempelajari sesuatu menjadi suatu hal yg lebih penting daripada fakta-fakta & konsep-konsep yg dipelajari itu sendiri’.

Oleh sebab itu, pendidikan mesti menyiapkan para individu untuk siap hidup dlm suatu dunia di mana perkara-masalah timbul jauh lebih singkat daripada jawaban dr perkara tersebut, di mana ketidakpastian & ambiguitas dr perubahan dapat dihadapi dengan-cara terbuka, di mana para individu memiliki keahlian-keahlian yg diperlukannya untuk dengan-cara berkesinambungan menyesuaikan relasi mereka dgn suatu dunia yg terus berganti, & di mana tiap-tiap & kita menjadi pemberi arti dr keberadaan kita. Beare & Slaughter (1993) menagaskan, ‘Hal ini tak hanya berarti teknik-teknik baru dlm pendidikan, tetapi pula tujuan baru. Tujuan pendidikan haruslah unutk menyebarkan suatu masyarakat di mana orang-orang mampu hidup dengan-cara lebih tenteram dgn adanya perubahan dibandingkan dengan dgn adanya kepastian. Dalam dunia yg akan tiba, kemampuan untuk menghadapi hal-hal baru dengan-cara tepat lebih penting dibandingkan dengan kesanggupan untuk mengetahui dang mengulangi hal-hal lama.

Kebutuhan akan orientasi baru dlm pendidikan ini terasa begitu berpengaruh & faktual dlm aneka macam bidang studi, baik dlm bidang studi eksakta maupun ilmu-ilmu social. Para pendidik, praktisi pendidikan & kita semua, mau tidak ingin harus menanggapi perubahan yg terjadi dgn mengubah paradigma pendidikan. Untuk menjawab & menangani perubahan yg terjadi dengan-cara terus-menerus, alternative yg mampu digunakan ialah paradigmna konstruktivistik.

2.      Hakikat Pembelajaran Behavioristik & Pembelajaran Konstruktivistik

a. Hakikat Pembelajaran Behavioristik

Thornike, salah seorang penganut paham behavioristik, menyatakan bahwa berguru merupakan peristiwa terbentuknya perkumpulan-asosiasi antara insiden-kejadian yg sisebut stimulus (S) dgn respon ® yg diberikan atas stimulus tersebut. Pernyataan Thorndike ini didasarkan pada hasil eksperimennya di laboratorium yg memakai beberapa macam hewan seperti kucing, anjing, monyet, & ayam. Menurutnya, dr berbeagai suasana yg diberikan seekor hewan akan menunjukkan sejumlah respon, & tindakan yg mampu terbentuk bergantung pada kekuatan keneksi atau ikatan-ikatan antara situasi & respon tertentu. Kemudian ia menyimpulkan bahwa semua tingkah laku insan baik fikiran maupun tindakan dapat dianalisis dlm potongan-cuilan dr dua struktur yg sederhana, yaitu stimulus & respon. Dengan demikian, berdasarkan persepsi ini dasar terjadinya berguru adalah pembentukan perkumpulan antara stimulus & respon. Oleh alasannya itu, menurut Hudojo (1990:14) teori Thondike ini disebut teori perkumpulan.

Selanjutnya, Thorndike (dalam Orton, 1991:39-40; Resnick, 1981:13) mengemukakan bahwa terjadinya perkumpulan antara stimulus & respon ini mengikuti hokum-hukum berikut: (1) Hukum latihan (law of exercise), yakni apabila perkumpulan antara stimulus & respon serting terjadi, maka asosiasi itu akan terbentuk semakin besar lengan berkuasa. Interpretasi dr hokum ini yaitu makin sering suatu pengetahuan – yg telah terbentuk akibat tejadinya asosiasi antara stimulus & respon – dilatih (digunakan), maka perkumpulan tersebut akan kian kuat; (2) Hukum akibat (law of effect), yaitu apabila asosiasi yg terbentuk antara stimulus & tanggapandibarengi oleh suatu kepuasan maka perkumpulan akan kian meningkat. Hal ini memiliki arti (idealnya), jika suatu respon yg diberikan oleh seseorang terhadap suatu stimulus yakni benar & ia mengetahuinya, maka kepuasan akan tercapai & perkumpulan akan diperkuat.

Penganut paham psikologi behavior yg lain yaitu Skinner, beropini hamper senada dgn hokum akhir dr Thorndike. Ia mengemukakan bahwa unsur paling penting dlm belajar ialah penguatan (reinforcement). Maksudnya yaitu pengetahuan yg terbentuk lewat ikatan stimulus – tanggapanakan makin berpengaruh bila diberi penguatan. Skinner membagi penguatan ini menjadi dua, yakni penguatan positif & penguatan negative. Penguatan positif sebagai stimulus, apabila representasinya mengiringi suatu tingkah laris yg condong dapat meningkatkan terjadinya pengulangan tingkah laris itu. Sedangkan penguatan negative yakni stimulus yg dihilangkan/dihapuskan alasannya cenderung menguatkan tingkah laku (Bell, 1981:151).

b. Hakikat pembelajaran Konstruktivisme

Pembentukan wawasan berdasarkan konstruktivistik menatap subyek aktif membuat struktur-struktur kognitif dlm interaksinya dgn lingkungan. Dengan santunan struktur kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun lewat struktur kognitif yg diciptakan oleh subyek itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus diubah & diubahsuaikan berdasarkan permintaan lingkungan & organisme yg sedang berganti. Proses penyesuaian diri terjadi dengan-cara terus menerus melalui proses rekonstruksi.

Yang paling penting dlm teori konstruktivisme yaitu bahwa dlm proses pembelajaran, si belajarlah yg harus mendapatkan penekanan. Merekalah yg harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau orang lain. Mereka yg mesti bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan mencar ilmu siswa dengan-cara aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas & keaktifan siswa akan menolong mereka untuk berdiri sendiri dlm kehidupan kognitif siswa.

Belajar lebih diarahkan pada experimental learning yakni merupakan penyesuaian kemanusiaan menurut pengalaman konkrit di laboratorium, diskusi dgn sahabat sekelas, yg kemudian dikontemplasikan & dijadikan wangsit & pengembangan konsep gres. Karenanya pengutamaan dr mendidik & mengajar tak terkonsentrasi pada si pendidik melainkan pada pebelajar.

Beberapa hal yg mendapat perhatian pembelajaran konstruktivistik, yaitu: (1) memprioritaskan pembelajaran yg bersifat kasatmata dlm kontek yg berhubungan , (2) mengutamakan proses, (3) menanamkan pembelajran dlm konteks pengalaman social, (4) pembelajaran dilaksanakan dlm upaya mengkonstruksi pengalaman (Pranata, http://puslit.petra.ac.id/journals/interior/.).

Hakikat pembelajaran konstruktivistik oleh Brooks & Brooks dlm Degeng menyampaikan bahwa pengetahuan yakni non-objective, bersifat temporer, selalu berganti, & tak menentu. Belajar dilihat sebagai penyusunan wawasan dr pengalaman konkrit, acara kolaboratif, & refleksi serta interpretasi. Mengajar memiliki arti menata lingkungan supaya si mencar ilmu termotivasi dlm menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan. Atas dasar ini maka si mencar ilmu akan mempunyai pengertian yg berlawanan kepada wawasan tergentung pada pengalamannya, & perspektif yg dipakai dlm menginterpretasikannya.

3. Aspek-aspek Pembelajaran Konstruktivistik

Fornot mengemukakan aaspek-faktor konstruktivitik sebagai berikut: adaptasi (adaptation), konsep pada lingkungan (the concept of envieronmet), & pembentukan makna (the construction of meaning). Dari ketiga aspek tersebut oleh J. Piaget bermakna yaitu penyesuaian terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses yakni asimilasi & fasilitas.

Asimilasi yakni proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman gres ke dlm bagan atau contoh yg sudah ada dlm pikirannya. Asimilasi dipandang selaku suatu proses kognitif yg menempatkan & mengklasifikasikan peristiwa atau rangsangan gres dlm denah yg sudah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tak akan menjadikan perubahan/pergeseran skemata melainkan perkembangan skemata. Asimilasi ialah salah satu proses individu dlm mengadaptasikan & mengorganisasikan diri dgn lingkungan gres perngertian orang itu meningkat .

Akomodasi, dlm menghadapi rangsangan atau pengalaman gres seseorang tak dapat mengasimilasikan pengalaman yg gres dgn skemata yg sudah dipunyai. Pengalaman yg gres itu bias jadi sama sekali tak cocok dgn skema yg telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan menyelenggarakan fasilitas. Akomodasi terjadi untuk membentuk skema baru yg cocok dgn rangsangan yg gres atau memodifikasi skema yg telah ada sehingga cocok dgn rangsangan itu. Bagi Piaget pembiasaan merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi & kemudahan. Bila dlm proses asimilasi seseorang tak mampu mengadakan penyesuaian kepada lingkungannya maka terjadilah ketidaksetimbangan (disequilibrium). Akibat ketidaksetimbangan itu maka tercapailah kemudahan & struktur kognitif yg ada yg akan mengalami atau munculnya struktur yg baru. Pertumbuhan intelektual ini merupakan proses terus menerus wacana keadaan ketidaksetimbangan & keadaan setimbang (disequilibrium-equilibrium). Tetapi bila terjadi kesetimbangan maka individu akan berada pada tingkat yg lebih tinggi ketimbang sebelumnya.

Tingkatan pengetahuan atau pengetahuan berjenjang ini oleh Vygotskian disebutnya selaku scaffolding. Scaffolding, berarti membrikan pada seorang individu sejumlah besar pemberian selama tahap-tahap permulaan pembelajaran & kemudian menghemat pertolongan tersebut & menunjukkan peluang pada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yg kian besar secepatnya setelah mampu melaksanakan sendiri. Bantuan yg diberikan pembelajar dapat berupa petunjuk, perayaan, dorongan, menguraikan masalah ke dlm bentuk lain yg memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky mengemukakan tiga klasifikasi pencapaian siswa dlm upayanya memecahkan permasalahan, yaitu (1) siswa meraih keberhasilan dgn baik, (2) siswa meraih kesuksesan dgn perlindungan, (3) siswa gagal menjangkau keberhasilan. Scaffolding, berarti upaya pembelajar untuk membimbing siswa dlm upayanya mencapai kesuksesan. Dorongan guru sangat diperlukan supaya pencapaian siswa ke jenjang yg lebih tinggi menjadi optimum.

Konstruktivisme Vygotskian menatap bahwa pengetahuan dikonstruksi dengan-cara kolaboratif antar perorangan & kondisi tersebut mampu disesuaikan oleh setiap individu. Proses dlm kognisi diarahkan memalui penyesuaian intelektual dlm konteks social budaya. Proses penyesuaian itu equivalent dgn pengkonstruksian wawasan dengan-cara intra individual yakni melalui proses regulasi diri internal. Dalam kekerabatan ini, para konstruktivis Vygotskian lebih menekankan pada penerapan teknik saling tukar gagasan antar individual.

Dua prinsip penting yg diturunkan dr teori Vygotsky adalah: (1), mengenai fungsi & pentingnya bahasa dlm komunikasi social yg dimulai proses pencanderaan kepada tanda (sign) sampai pada tukar menukar keterangan & wawasan, (2) zona of proximal development. Pembelajar sebagai mediator mempunyai peran mendorong & menjembatani siswa dlm upayanya membangun wawasan, pengertian & kompetensi.

Sumbangan penting teori Vygotsky yaitu penekanan pada hakikat pembelajaran sosiakultural. Inti teori Vygotsky ialah menekankan interaksi antara aspek internal & eksternal dr pembelajaran & penekanannya pada lingkungan social pembelajaran. Menurut teori Vygotsky, funsi kognitif insan berasal dr interaksi social masing-masing individu dlm konteks budaya. Vygotsky pula percaya bahwa pembelajaran terjadi ketika siswa melakukan pekerjaan menangani tugas-tugas yg belum dipelajari namun peran-peran tersebut masih dlm jangkauan kemampuannya atau peran-peran itu berada dlm zona of proximal development mereka. Zona of proximal development adalah tempat antar tingkat pertumbuhan bahu-membahu yg didefinisikan selaku kesanggupan memecahkan kasus dengan-cara mandiri & tingkat kemajuan memiliki peluang yg didefinisikan sebagai kesanggupan pemecahan kasus di bawah panduan orang remaja atau sahabat sebaya yg lebih bisa. Pengetahuan berjenjang tersebut mirip pada sekema berikut.

  • Effective habits of mind
  • Cooperative colaborative
  • Effective communication
  • Information processing
  • Complex thinking
  Sepupu In English Kla

Pengetahuan & pengertian dikonstruksi bila seseorang terlibat dengan-cara social dlm dialog & aktif dlm percobaan-percobaan & pengalaman. Pembentukan makna yakni obrolan antar pribadi.dalam hal ini pebelajar tak cuma membutuhkan jalan masuk pengalaman fisik tetapi pula interaksi dgn pengalaman yg dimiliki oleh individu lain. Pembelajaran yg sifatnya kooperatif (cooperative learning) ini muncul tatkala siswa melakukan pekerjaan sama untuk mencapai tujuan belajar yg diinginka oleh siswa. Pengelolaan kelas menurut cooperative learning bertujuan menolong siswa untuk menyebarkan niat & kiat bekerja sama & berinteraksi dengna siswa yg lain. Ada tiga hal penting yg perlu diperhatikan dlm pengelolaan kelas yaitu: pengelompokan, semangar kooperatif & penataan kelas. (Pranata, http://puslit.petra.ac.id/journals/interior/.

Secara singkat teori Peaget & Vygotsky dapat dikemukakan dlm table berikut ini.

Tabel 1 Piagetian and Vygotskyan Constructivism


Piagetian Constructivism
Vygotsky Constructivism
Concept
constructivism focus on perorangan cognitive development through co-constructed learning environments with national, decontextualized thinking as the goal of development
Vygotsky, in order to understand human development, a multilevel analysis using all four levels of history must be employed: sosiocultural constructivism,
Subject of Study
Focus on the development of autonomous cognitive forms within the perorangan, culminating in rational thought that is decentered from the individual.
argued that perorangan development cannot be understood without reference to the interpersonal and institutional surround which situates the child
Develop-ment of cognitive forms
the structure of the mind is the source of our understanding of the world.
the construction of knowledge occurs through interaction in the social world. Thus for Vygotsky the development of cognitive forms occurs by means of the dialectical relationship between the perorangan and the social context

Pembelajaran konstruktivistik & pembelajaran behavioristik yg dikemukakan oleh Degeng dapat dilihat pada table-tabel berikut.

Table 2

Pandangan Konstruktivistik & behavioristik perihal belajar & pembelajaran.

Konstruktivistik
Behavioristik
Pengtahuan ialah non-objective, bersifat temporer, selalu berganti & tak menentu.
Pengetahuan yaitu objektif, pasti, & tetap , tak berubah. Pengetahuan telah terencana dgn rapi.
Belajar yaitu penyusunan pengetahuan dr pengalaman konkrit, acara kolaboratif, & refleksi serta interpretasi. Mengajar yaitu menata lingkungan supaya si mencar ilmu termotivasi dlm menggali makna seta menghargai ketidakmenentuan.
Belajar yakni perolehan wawasan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan ke orang yg mencar ilmu.
Si mencar ilmu akan mempunyai pemahaman yg berbeda terhadap wawasan tergantung pada pengalamannya, & perspektif yg dipakai dlm menginterpretasikannya.
Si berguru akan mempunyai pemahaman yg sama terhadap wawasan yg diajarkan. Artinya, apa yg dipahami oleh pengajar itulah yg harus diketahui oleh si mencar ilmu.
Mind berfungsi selaku alat untuk menginterpretasi peristiwa, objek, atau perspektif yg ada dlm dunia kasatmata sehingga makna yg dihasilkan bersifat unik & individualistic.
Fungsi mind yakni meniru struktur pengetahuan lewat proses berpikir yg mampu dianalisis & dipilah sehingga makna yg dihasilkan dr proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan.

Table 3

Pandangan Konstruktivistik & Behavioristik perihal

Penataan Lingkungan Belajar

Konstruktivistik
Behavioristik
Ketidakteraturan, ketidakpastian, kekacauan,
Keteraturan, kepastian, ketertiban
Si belajar harus bebas. Kebebasan menjadi unsure yg esensial dlm lingkungna mencar ilmu.
Si berguru harus dihadapkan pada aturan-aturan yg jelas & ditetapkan lebih dulu dengan-cara ketat. Pembiasaan & disiplin menjadi sangat esensial. Pembelajaran lebih banyak dikaitkan dgn penegakan disiplin.
Kegagalan atau keberhasilan, kemampuan atau ketidakmampuan dilihat sebagai interpretasi yg berbeda yg perlu dihargai.
Kegagalan atau ketidakmampuan dlm penambahan pengetahuan dikategorikan selaku kesalahan yg perlu dihukum, & kesuksesan atau kesanggupan dikategorikan selaku bentuk sikap yg patut diberi kado.
Kebebasan dipandang selaku penentu keberhasilan mencar ilmu. Si mencar ilmu adalah subjek yg harus memapu menggunakan kebebasan untuk melaksanakan pengaturan diri dlm berguru.
Ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu kesuksesan belajar. Si belajar yakni objek yg harus bertingkah sesuai dgn aturan.
Control belajar dipegang oleh si mencar ilmu.
Control mencar ilmu dipegang oleh system yg berada di luar diri si berguru.

Table 4 Pandangan Konstruktivistik & behavioristik ihwal Tujuan Pembelajaran

Konstruktivistik
Behavioristik
Tujuan pembelajaran ditekankan pada berguru bagaimana mencar ilmu (learn how to learn)
Tujuan mencar ilmu ditekankan pada penambahan pengetahuan.

Tabe 5 persepsi Konstruktivistik & behavioristik wacana strategi pembelajaran

Konstruktivistik
Behavioristik
Penyejian isi menekankan pada penggunaan pengetahuan dengan-cara bermakna mengikuti urutan dr keseluruhan-ke-cuilan.
Pembelajaran lebih banyak diarahkan untuk meladeni pertanyaan atau pandangan si mencar ilmu.
Aktivitas mencar ilmu lebih banyak didasarkan pada data primer & bahan manipulatif dgn penekanan pada kemampuan berpikir kritis.
Pembelajaran menekankan pada proses.
Penyajian isi menekankan pada keterampilan yg terisolasi & akumulasi fakta mengikuti urutan dr pecahan-ke-keseluruhan.
Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum dengan-cara ketat.
Aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks dgn penekanan pada keahlian mengungkapkan kembali isi buku teks.
Pembelajaran menekankan pada hasil

Tabe 6 Pandangan Konstruktivistik & Behavioristik perihal evaluasi

Konstruktivistik
Behavioristik
Evaluasi menekankan pada penyusunan makna dengan-cara aktif yg melibatkan keterampilan terintegrasi, dgn menggunakan kasus dlm konsteks faktual.
Evaluasi yg menggali hadirnya berpikir divergent, pemecahan ganda, bukan hanya satu jawaban benar
Evaluasi merupakan kepingan utuh dr berguru dgn cara menunjukkan peran-peran yg menuntut kegiatan belajar yg bermkana serta menerapkan apa yg dipelajari dlm konteks faktual. penilaian menekankan pad aketerampilan proses dlm kelompok.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, keterampilan dengan-cara terpisah, & biasanya menggunakan ‘paper and pencil test’
Evaluasi yg menuntu satu jawaban benar. Jawaban benar menunjukkan bahwa si-mencar ilmu sudah menuntaskan peran belajar.
Evaluasi berguru dipandang sebagai cuilan terpisah dr kegiatan pembelajaran, & biasnaya dilaksanakan sesudah kegiatan belajar dgn penekanan pada penilaian individual.

4.        Rancangan Pembelajaran Konstruktivistik

Berdasarkan teori J. Peaget & Vygotsky yg telah dikemukakan di atas maka pembelajaran dapat dirancang/didesain model pembelajaran konstruktivis di kelas selaku berikut:

Pertama, kenali prior knowledge & miskonsepsi. Identifikasi permulaan kepada gagasan intuitif yg mereka miliki terhadap lingkungannya dijaring untuk mengenali kemungkinan-kemungkinan akan hadirnya miskonsepsi yg menghinggapi struktur kognitif siswa. Identifikasi ini dijalankan dgn tes permulaan, interview

Kedua, penyusunan acara pembelajaran. Program pembelajaran dijabarkan dlm bentuk satuan pelajaran.

Ketiga orientasi & elicitasi, situasi pembelajaran yg aman & menggembirakan sangatlah perlu diciptakan pada awal-permulaan pembelajaran untuk menghidupkan minat mereka kepada topic yg akan dibahas. Siswa dituntun biar mereka mau mengemukakan ide intuitifnya sebanyak mungkin perihal gejala-gejala fisika yg mereka amati dlm lingkungan hidupnya sehari-hari. Oengungkapan ide tersebut dapat memalui diskusi, menulis, gambaran gambar & sebagainya. Gagasan-ide tersebut kemudian dipertimbangkan bersama. Suasana pembelajaran dibentuk kalem & tak angker supaya siswa tak cemas dicemooh & ditertawakan bila pemikiran -gagasannya salah. Guru mesti menahan diri untuk tak menghakiminya. Kebenaran akan pemikiran siswa akan terjawab & terungkap dgn sendirinya melalui penalarannya dlm tahap konflik kognitif.

Keempat, refleksi. Dalam tahap ini, aneka macam macam gagasan-pemikiran yg bersifat miskonsepsi yg muncul pada tahap orientasi & elicitasi direflesikan dgn miskonsepsi yg telah dijaring pada tahap awal. Miskonsepsi ini diklasifikasi menurut tingkat kesalahan & kekonsistenannya untuk membuat lebih mudah merestrukturisasikannya.

Kelima, resrtukturisasi ide, (a) tantangan, siswa diberikan pertanyaan-pertanyaan wacana tanda-tanda-gejala yg kemudian dapat diperagakan atau diselidiki dlm praktikum. Mereka diminta untuk meramalkan hasil percobaan & memberikan ganjal an untuk mendukung ramalannya itu. (b) konflik kognitif & diskusi kelas. Siswa akan daapt melihat sendiri apakah ramalan mereka benar atau salah. Mereka didorong untuk menguji kepercayaan dgn melakukan percobaan. Bila ramalan mereka meleset, mereka akan mengalami konflik kognitif & mulai tak puas dgn pemikiran mereka. Kemudian mereka didorong untuk mempertimbangkan klarifikasi paling sederhana yg mampu mengambarkan sebanyak mungkin tanda-tanda yg telah mereka lihat. Usaha untuk mencari penjelasan ini dilakukan dgn proses konfrontasi melalui diskusi dgn sahabat atau guru yg pada kapasistasnya selaku fasilitator & mediator. (c) membangun ulang kerangka konseptual. Siswa dituntun untuk menemukan sendiri bahwa konsep-konsep yg baru itu memiliki konsistensi internal. Menunjukkan bahwa konsep ilmiah yg baru itu mempunyai keunggulan dr ide yg lama.

Keenam, aplikasi. Menyakinkan siswa akan faedah untuk beralih konsepsi dr miskonsepsi menuju konsepsi ilmiah. Menganjurkan mereka untuk menerapkan konsep ilmiahnya tersebut dlm banyak sekali macam suasana untuk memecahkan masalah yg instruktif & kemudia menguji penyelesaian dengan-cara empiris. Mereka akan bisa membandingkan dengan-cara eksplisit miskonsepsi mereka dgn penjelasa dengan-cara keilmuan.

Ketujuh, review dilaksanakan untuk meninjau kesuksesan taktik pembelajaran yg telah berlangsung dlm upaya mereduksi miskonsepsi yg muncul pada permulaan pembelajaran. Revisi kepada seni manajemen pembelajaran dilaksanakan bila miskonsepsi yg muncul kembali bersifat sangar resisten. Hal ini penting dikerjakan supaya miskonsepsi yg resisten tersebut tak selamanya menghinggapi struktur kognitif, yg pada risikonya akan bermuara pada kesulitan mencar ilmu & rendahnya prestasi siswa bersangkutan.

5. Penutup

Berdasarkan uraian di atas maka untuk menangani beraneka ragam masalah dlm pembelajaran yg kian rumit, maka pembelajaran behavioristik yg selama ini telah digunakan selama bertahun-tahun, tampaknya tak bisa lagi menjawab semua masalah pembelajaran, maka perlu mencari alternatif pembelajaran yg lebih bisa menanggulangi semua problem pembelajaran yg ada, salah satunya ialah pendekatan konstruktivistik yg telah diuraikan. Pendekatan ini menghargai perbedaan, menghargai keunikan invidu, menghargai keberagaman dlm menerima & memaknai wawasan.

  18 Dampak Konflik Yang Berkaitan dengan Kehidupan


= Baca Juga =