Otonomi Daerah

Pada masa orde gres otonomi tempat telah tercatat dlm UU No.5 tahun 1974. Kemudian pada abad reformasi UU No.22/tahun 1999, keputusan pelaksana otonomi daerah lebih banyak diputuskan oleh usulanpolitis ketimbang pertimbangan teknik. Arti kata, masih belum siap. Oleh alasannya itu dlm otonomi kawasan lahir suatu perbedaan, cara pandang beserta dampak & negative sebuah otonomi kawasan.

Dampak aktual dr otonomi daerah menjadi hal yg paling baik diharapkan. Hal ini dikarenakan control pemerintah pusat dipertanggungjawabkan pada pemerintah daerah. 

Sehingga, dlm menghadapi masalah penduduk , pemerintah tempat memiliki wewenang dlm setiap pengambilan keputusan, begitu juga dgn pembangunan, maupun dana yg ada lebih besar untuk kebutuhan penduduk & satuan perangkat kerja daerah.   

Sedangkan efek negative dr otonomi tempat menjadi hal yg harus diamati juga. Hal ini dikarenakan adanya oknum-oknum yg tak bertanggungjawab  dgn memakai wewenang atau kebijakan berdasarkan kepentingan politiknya. Karena kendali dr pemerintah pusat bagi otonomi tempat yg begitu lemah akan menawarkan gambaran-gambaran yg terjadi bagi sistem birokrasi di Indonesia.

Dari aneka macam pedebatan distasiun televisi, ada yg mengatakan bahwa metode di Indonesia sudah begitu baik. Maka, apa yg terjadi apakah mampu dibilang yaitu sistim birokrasi nya yg tak baik, sehingga memberikan peluang bagi oknum itu sendiri. 

Pada dasarnya, yg menjadi prasangka bahwa yg begitu memahami tata cara & ditambah lagi mereka yg mengontrol kebijakan, maka ada peluang-peluang untuk mereka gunakan untuk menimbulkan otonomi kawasan negative ini.

Mengapa otonomi daerah menjadi peluang? Pada masa kurun reformasi yg diterapkan menunjukkan impian bagi pemerintah kawasan diseluruh Indonesia mempunyai kewenangan utamanya untuk mengembangkan ekonomi & potensi daerah, mirip sumber daya alam. Dan dampaknya diperlukan menawarkan peningkatan kesejahteraan masyarakat. 

Tetapi disisi lain otonomi tempat menjadi pundi-pundi duit bagi koruptor. Kekuasaan yg ada pada para pada tempat merangsang para pengusaha, birokrasi & politisi berlomba-kontes meraih posisi ini untuk memperkaya diri. Sehingga, tidak aneh jika pada tempat yg dipenuhi orang-orang tersebut tak memiliki tanggung jawab pada public.

Dari desentralisasi ini, mungkin akan memiliki efek pada sistim birokrasi di Indonesia? Apakah ini sudah baik atau tidak. Sistem reformasi birokrasi di Indonesia, kalau seperti ulasan diatas, pastinya akan menawarkan imbas yg negative bagi negara, & hilangnya keyakinan rakyat terhadap negara ini. Seperti masalah yg dihebohkan saat ini yakni beberapa kepala daerah & Ketua MK[1].

Persoalan yg melanda kehebohan di Negara ini menunjukkan kesan yg tak baik bagi penegakan  hukum di Negara ini. Dimana-mana, pundi-pundi serta oknum mirip itu begitu beredar luas dlm birokrasi di Indonesia. Sangat disayangkan, sejarah panjang selama ini telah mencoreng akan keagungan lembaga yg dihormati tersebut.

Pusat mempunyai wewenang akan kontrol yg besar lengan berkuasa terhadap wilayah-wilayah yg ada di Indonesia. Tetapi, tak cukup cuma itu saja. Lemahnya kendali bagi penguasa, penegakan aturan, akan dengan-cara tak pribadi merusak sistem reformasi & birokrasi di Indonesia. Jika dikenali Negara ada itu alasannya adanya rakyat. Bagaimana bisa keyakinan rakyat dibantah begitu saja.

Pada UU No 22 tahun 1999[2] ihwal otonomi kawasan pada tatarannya masih lemah. Mungkin oknum-oknum yg berperan penting pada otonomi daerah terhanyut dlm pundi-pundi wilayahnya sendiri. 

Tidak diherankan juga, jika pertentangan sumber daya alam di setiap  daerah  menjadi satu masalah yg serius. Kemerosotan suatu otonomi kawasan tak lepas dr oknum yg tak bertanggungjawab. Melupakan kewajibannya begitu saja, tanpa memperhatikan kesejahteraan rakyat menjadi salah satu catatan bagi pemerintahan yg baik & higienis.

Pemerintah yg baik atau good governance memiliki  beberapa nilai penting, yaitu[3] :

1.      Visi Strategis yg mengarah pada visi & misi sebuah kabupaten / kota.

2.      Transparansi yg menyediakan informasi publik dengan-cara terbuka

3.      Responsivitas yg mampu tanggap kepada permasalahan , keperluan & aspirasi penduduk .

4.      Keadilan yg menunjukkan semua orang peluang dlm meningkatkan atau memperbaiki kesejahteraannya.

5.      Konsensus yg berperan menjembatani aspirasi masyarakat guna mencapi persetujuan bareng demi kepentingan masyarakat.

6.      Efektifitas & Efisiensi yg memenuhi kebutuhan penduduk & memanfaantkan sumber daya dnegan cara yg baik.

7.      Akuntabilitas bertanggung jawab pada public dr setiap faktor yg berkaitan dgn kinerja suatu forum.

8.      Kebebasan berkumpul & berpartisipasi, memperlihatkan kebebasan terhadap rakyay untuk berkumpul & berorganisasi.

9.      Penegakan Hukum, memberikan keamanan bagi masyarakat

10.  Demokrasi

11.  Kerja sama dgn organisasi penduduk , saling berkerja sama dlm meecahkan duduk perkara dimasyarakat.

12.  Komitmen pada pasar, mendorong kebijakan yg berorientasi pada pasar.

13.  Komitmen pada lingkungan, meperhatikan problem yg berkaitan dgn kelestarian lingkungan.
14.  Desentralisasi, mengembagkan & membudayakan unit kelembangan lokal supaya mampu mengambil kebijakan public sesuai dnegan kebutuhan & situasi lokal.

Good governace seperti diatas merupakan salah satu nilai-nilai yg mesti dijaga di setiap jajaran otonomi tempat. Meskipun tanpa disadari contoh pikir mampu menjadi dampak besar untuk melanggar nilai-nilai tersebut. Keterkaitannya otonomi tempat pada pemerinahan yg baik, menjadi salah satu penilaian bagi reformasi birokrasi di Indonesia juga.

Menciptakan pemerintah yg baik & bersih tentunya bukan berguru untuk korupsi, melainkan bagaimana dgn sosialisasi dapat mengupayakan acara pemerintah dlm memberantas korupsi dgn tahap pencegahan. Hal ini dikarenakan korupsi masih menjadi masalah yg serius di Indonesia sebab korupsi sudah melanda disegala bidang & sektor kehidupan penduduk dengan-cara meluas, sistematis & terstruktur.


[2] Buku UT, Kewarganegaraan. Pada modul 8.22

[3] Buku UT, Kewarganegaraan. Pada modul 8.30