PENERAPAN PRINSIP DENGAN PERSIAPAN YANG BAIK SISWA DAPAT MENGORGANISASIKAN KEGIATAN BELAJARNYA SENDIRI

PENERAPAN PRINSIP DENGAN PERSIAPAN YANG  BAIK SISWA  DAPAT MENGORGANISASIKAN KEGIATAN BELAJARNYA SENDIRI


Konsep Mandiri & Belajar Mandiri

Kata mandiri memiliki arti yg sungguh relatif. Pada dasarnya kata berdikari mengandung arti tak tergantung pada orang lain, bebas, & mampu melaksanakan sendiri. Kata ini seringkali diterapkan untuk pemahaman & tingkat kemandirian yg berlainan-beda. Berikut ini isajikan beberapa teladan:

a.     Seorang ibu bercerita pada teman-temannya bahwa anaknya yg berumur 8 tahun (kelas satu atau dua SD) sudah mampu mampu berdiri diatas kaki sendiri. ia sudah mampu mandi sendiri, berpakaian sendiri & makan sendiri. Pada pagi hari sang ibu cukup menyediakan air hangat untuk mandi, sabun, & handuk, si anak akan dapat mandi sendiri tanpa harus dimandikan. Selesai mandi sang anak pula sudah dapat mengenakan baju yg sudah disiapkan oleh ibunya dgn rapi di kamar. ia tak memerlukan pertolongan lagi waktu mengenakan bajunya. Setelah itu sang anak pula mampu makan pagi sendiri tanpa harus disuapi. Ibu cukup menyediakan makan paginya di piring & dikelola di atas meja makan. Yang dikerjakan oleh anak berumur 8 tahun itu merupakan tingkat kemandirian anak kecil. Dibandingkan dgn anak lain yg masih harus dimandikan, dibantu dlm mengenakan baju, disuapi pada waktu makan, anak ini memang tergolong sudah mampu berdiri diatas kaki sendiri.

b.     Seorang pemuda akil balig cukup akal mengeluh bahwa sifat atau sikap tunangannya terlalu mampu berdiri diatas kaki sendiri. Gadisnya itu nyaris tak pernah mau mendapatkan dukungan dr ia. Pulang kuliah tidak mau dijemput dgn kendaraan beroda empat sungguhpun hari sudah sore. ia lebih suka pulang sendiri naik bis. Sungguhpun kiriman uang dr orang tuanya sungguh kecil & nyaris tak cukup untuk keperluan sehari-hari & sekolahnya, ia tak pernah mau menerima pemberian apapun (baik yg berupa duit maupun materi) dr sang pacar. ia lebih senang hidup sederhana dgn duit pemberian orang tuanya sendiri. Gadisnya itu tak pernah minta padanya untuk diantar ke toko, ke rumah sahabat, bahkan ke setasiun. Biasanya ia harus memberikan sumbangan itu baru si gadis mau menerimanya. Itupun senantiasa didahului dgn pertanyaan apakah ia (si gadis) tak mengusik peran & waktu sang pacar.

c.     Seorang ayah bercerita dgn bangganya bahwa anak sulungnya telah mampu mandiri. Segera sehabis menikah ia langsung memboyong isterinya di rumah kontraknya yg sederhana jauh di pinggiran kota. Sejak itu ia tak pernah minta derma apapun dr orang bau tanah untuk mencukupi keperluan keluarganya. Sungguhpun sederhana rumahnya dilengkapi dgn piranti yg tertata rapi. Pakaiannya sungguhpun sederhana senantiasa rapi & bersih. Untuk makan & pemeliharaan kesehatan ia mampu menyediakan sendiri. Pendek kata ia sudah 100% berdikari.

d.     Pada waktu Indonesia dipimpin Presiden yg pertama, sang Presiden berpendirian bahwa Indonesia harus mampu berdikari. Artinya mesti mampu hidup & berdiri di atas kaki sendiri. Tidak menggantungkan hidupnya pada pertolongan dr negara lain. Indonesia mesti berdikari.


Belajar Mandiri

Menurut Wedemeyer mirip yg dihidangkan oleh Keegan (1983), siswa/akseptor didik yg mencar ilmu dengan-cara berdikari mempunyai keleluasaan untuk berguru tanpa mesti menghadiri pelajaran yg diberikan guru/instruktur di kelas. Siswa/peserta didik dapat mempelajari pokok bahasan atau topik pelajaran tertentu dgn membaca buku atau melihat & menyimak acara media pandang-dengar (audio visual) tanpa tunjangan atau dgn pemberian terbatas dr orang lain. Di samping itu siswa/penerima didik mempunyai otonomi dlm mencar ilmu. Otonomi tersebut terwujud dlm beberapa keleluasaan sebagai berikut:

a.     Siswa/penerima didik memiliki peluang untuk ikut memastikan tujuan pembelajaran yg ingin dicapai sesuai dgn keadaan & keperluan belajarnya.

b.     Siswa/penerima didik boleh ikut memutuskan bahan mencar ilmu yg ingin dipelajarinya & cara mempelajarinya.

c.     Siswa/penerima didik mempunyai keleluasaan untuk mencar ilmu sesuai dgn kecepatannya sendiri.

d.     Siswa/peserta didik mampu ikut memastikan cara penilaian yg akan digunakan untuk menilai pertumbuhan belajarnya.


Kemandirian dlm berguru ini berdasarkan Wedemeyer (1983) perlu diberikan pada siswa/peserta didik semoga mereka mempunyai tanggung jawab dlm mengontrol & mendisiplinkan dirinya & dlm membuatkan kemampuan berguru atas kemauan sendiri. Sikap-sikap tersebut perlu dimiliki siswa/penerima didik karena hal tersebut merupakan ciri kedewasaan orang terpelajar.


Sejalan dgn Wedemeyer, Moore (dalam Keegan, 1983) berpendapat bahwa ciri utama suatu proses pembelajaran mandiri merupakan adanya peluang yg diberikan pada siswa/penerima didik untuk ikut memastikan tujuan, sumber, & evaluasi belajarnya. Karena itu, acara pembelajaran berdikari dapat diklasifikasikan menurut besar kecilnya keleluasaan (otonomi) yg diberikan pada siswa/penerima didik untuk ikut memutuskan acara pembelajarannya. Tingkat kemandirian pembelajaran mampu diklasifikasi berdasarkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan berikut:

a.     Otonomi dlm memutuskan tujuan pembelajaran yg akan diraih. Tujuan pembelajaran itu diputuskan oleh siswa/penerima didik, oleh guru/pelatih atau oleh guru/pelatih & siswa/peserta didik? Semakin besar peluang yg diberikan pada siswa/peserta didik untuk ikut memastikan tujuan pembelajarannya, mempunyai arti makin besar potensi siswa/akseptor didik untuk mencar ilmu sesuai dgn kebutuhan belajarnya. Dengan demikian kian besar pula kesempatan siswa/penerima didik untuk bersikap mampu berdiri diatas kaki sendiri.

b.     Otonomi dlm belajar. Siapakah yg menentukan buku atau media yg akan dipakai dlm berguru? Apakah semuanya diputuskan oleh guru/pelatih, oleh siswa/peserta didik, atau oleh guru/pelatih & siswa/akseptor didik? Kalau siswa/peserta didik mampu ikut memutuskan bahan berguru, media mencar ilmu, & cara mencar ilmu yg akan dipakai untuk meraih tujuan itu, mempunyai arti siswa/peserta didik sudah diberi peluang untuk bersikap mandiri.

c.     Otonomi dlm evaluasi hasil mencar ilmu. Siapakah yg memastikan cara & tolok ukur penilaian hasil berguru? Dapatkah siswa/peserta didik ikut memastikan cara evaluasi & kriteria penilaian yg akan digunakan?

Tingkat kemandirian (otonomi) yg diberikan pada siswa/peserta didik dlm banyak sekali acara pembelajaran tak sama. Ada acara pembelajaran yg lebih banyak memberikan kemandirian (otonomi), ada pula program pembelajaran yg kurang memberikan kemandirian pada siswa/peserta didik. Contoh, di Universitas London ada acara pembelajaran yg memberi keleluasaan pada mahasiswa untuk belajar sendiri di luar kampus. Mahasiswa yg lulus dlm ujian akan mendapat gelar yg nilainya sama dgn gelar yg diperoleh siswa/penerima didik yg mengikuti kuliah di kampus. Mahasiswa luar kampus ini diberi potensi untuk ikut memutuskan tujuan pembelajaran yg ingin diraih & materi berguru serta cara berguru yg akan dipakai. Namun demikian mahasiswa tak diberi peluang untuk memastikan cara evaluasi & persyaratan penilaiannya.

Di universitas lain, ada pula acara perkuliahan yg menyampaikan keleluasaan pada mahasiswa untuk menentukan sendiri buku & media berguru yg akan dipakainya. Mahasiswa pula diberi kesempatan untuk menentukan cara mencar ilmu yg disukainya, (a) siswa/akseptor didik boleh mengikuti kuliah, & boleh belajar sendiri, (b) siswa/peserta didik boleh berguru dr buku, & boleh mencar ilmu dgn menyaksikan acara media, & (c) siswa/peserta didik boleh belajar sendirian, boleh pula mencar ilmu bareng dgn teman dlm bentuk diskusi. Namun demikian, dlm acara pembelajaran ini, siswa/akseptor didik tak diberi peluang untuk memastikan tujuan pembelajarannya & cara evaluasinya. Makara keleluasaan yg diberikan cuma keleluasaan dlm menentukan bahan & cara belajarnya.

Belajar Mandiri & Belajar Sendiri

Belajar berdikari tak mempunyai arti berguru sendiri (Panen, 1997). Belajar berdikari bukan merupakan usaha untuk mengasingkan siswa/peserta didik dr sahabat belajarnya & dr guru/instrukturnya. Hal yg terpenting dlm proses berguru mandiri ialah kenaikan kesanggupan & keterampilan siswa/akseptor didik dlm proses berguru tanpa sumbangan orang lain, sehingga pada alhasil siswa/penerima didik tak tergantung pada guru/pelatih, pembimbing, sobat atau orang lain dlm mencar ilmu. Dalam mencar ilmu mampu berdiri diatas kaki sendiri siswa/penerima didik akan berupaya sendiri dahulu untuk mengetahui isi pelajaran yg dibaca atau dilihatnya lewat media pandang dengar. Kalau mendapat kesusahan, barulah siswa/penerima didik akan bertanya atau mendiskusikannya dgn teman, guru/pelatih, atau orang lain. Siswa/peserta didik yg berdikari akan mampu mencari sumber berguru yg dibutuhkannya.

Teman dlm proses berguru berdikari itu sungguh penting. Kalau menghadapi kesusahan, siswa/akseptor didik kadang-kadang lebih mudah atau lebih berani mengajukan pertanyaan pada sobat dr pada mengajukan pertanyaan pada guru/instruktur. Teman sangat penting alasannya dapat menjadi kawan dlm belajar bareng & berdiskusi. Di samping, itu sahabat dapat dijadikan alat untuk mengukur kemampuannya. Dengan berdiskusi bareng sahabat, siswa/peserta didik akan mengenali tingkat kemampuannya dibandingkan dgn kesanggupan temannya. Bila siswa/peserta didik merasa kemampuannya masih kurang dibandingkan dgn kemampuan temannya, ia akan terdorong untuk berguru lebih ulet. Bila kemampuannya dicicipi sudah melampaui kesanggupan temannya, ia akan terdorong untuk mempelajari topik atau bahasan lain dgn lebih bergairah. Bila menghadapi kesulitan dlm memahami isi pelajaran tertentu, siswa/penerima didik seringkali merasa bahwa dirinya ndeso & karenanya menjadi putus asa. Tetapi kalau mengetahui bahwa sahabat-temannya pula mengalami kesulitan yg sama, perasaan di atas dapat dihilangkan & karenanya tak menjadi gampang frustasi.

Sungguhpun mencar ilmu mandiri tak memiliki arti berguru sendiri, & dlm belajar mandiri siswa/akseptor didik boleh bertanya, berdiskusi, atau minta klarifikasi dr orang lain, berdasarkan Knowless, 1975 (dalam Panen, 1997) siswa/penerima didik yg belajar mampu berdiri diatas kaki sendiri tak boleh menggantungkan diri dr pemberian, pengawasan, & aba-aba orang lain tergolong guru/instrukturnya, dengan-cara terus menerus. Siswa/akseptor didik mesti mempunyai kreativitas & inisiatif sendiri, serta mampu bekerja sendiri dgn merujuk pada panduan yg diperolehnya.

Kozma, Belle, Williams, 1978 dlm Panen & Sekarwinahyu (1997) mendefinisikan mencar ilmu mandiri selaku usaha individu siswa/penerima didik yg bersifat otonomis untuk meraih kompetensi akademis tertentu. Keterampilan meraih kesanggupan akademis dengan-cara otonom ini bila sudah menjadi milik siswa/penerima didik dapat dipraktekkan dlm banyak sekali situasi, bukan cuma terbatas pada duduk perkara berguru saja, namun mampu pula dipraktekkan dlm menghadapi kehidupan sehari-hari. Dalam menghadapi duduk perkara, siswa/penerima didik tak akan tergantung pada pinjaman orang lain. Tampaknya, Knowless (1975), Kozma, Belle, Williams (1978), Panen & Sekarwinahyu (1997) cuma menekankan kemandirian belajar dlm penyeleksian sumber & cara belajarnya. Definisi kemandirian siswa tak meliputi penentuan tujuan pembelajaran & evaluasi hasil belajarnya.

Tingkat Kemandirian Siswa/Peserta Didik Dalam Berbagai Program Pembelajaran


Di penggalan terdahulu telah dibicarakan bahwa menurut Wedemeyer & Moore (dalam Keegan, 1983), kemandirian berguru itu mampu ditinjau dr ada tidaknya kesempatan yg diberikan pada siswa/penerima didik (1) dlm memutuskan tujuan pembelajaran, (2) dlm memilih cara & media mencar ilmu yg digunakan untuk meraih tujuan, & (3) dlm menentukan cara, alat, & standar evaluasi hasil belajarnya. Kemandirian belajar diberikan pada siswa/akseptor didik dgn maksud supaya siswa/penerima didik memiliki tanggung jawab untuk menertibkan & mendisiplinkan dirinya & menyebarkan kesanggupan berguru atas kemauan sendiri. Sikap-perilaku tersebut perlu dimiliki siswa/akseptor didik karena hal tersebut merupakan ciri kedewasaan orang yg terpelajar.

Sampai tingkat tertentu, setiap acara, sistem  pendidikan dapat  memberikan kesempatan pada siswa/penerima didik untuk belajar dengan-cara mandiri. Ada acara  atau sistem pendidikan yg tingkat kemandirian siswa/peserta didiknya sangat besar, sebaliknya ada pula yg tingkat kemandirian siswa/akseptor didiknya sungguh kecil.

Contoh program  atau tata cara pendidikan yg tingkat kemandirian siswa/peserta didiknya sungguh besar sungguh besar yaitu program SMP Terbuka yg menyampaikan pembelajaran dgn system modul, Paket A, B, C & Universitas Terbuka.

Sedangkan contoh program  atau sistem pendidikan yg tingkat kemandirian siswa/peserta didiknya relative kecil yakni tugas mampu berdiri diatas kaki sendiri, pembelajaran model portofolio yg member potensi pada siswa untuk memilih materinya sendiri, menentukan cara penetuan sumber mencar ilmu sendiri.


DAFTAR PUSTAKA

Aunurrahman, 2009, Belajar & Pembelajaran, Bandung: Alfabeta


Bambang Warsita, 2008,Teknologi Pembelajaran: Landasan & Aplikasinya, PT. Rineka Cipta.


Dimyati & Mujiono, 2006, Belajar & Pembelajaran, Jakarta: PT. Rineka Cipta.


Flaming, M & Levie. 1991, Instructional Message Design Principle from the Behavioral Science, New Jersey Englewood Cliffs : Educational Teknologi Publications.


John W, Santrock,2008, Psikologi Pendidikan, Jakarta: kencana Predana Media Group.


http://kukuhsilautama.wordpress.com/prinsip partisipasi aktif siswa, prinsip umpan balik & prinsip perulangan/html.

Holmberg, B. (1989). Theory and practice of distance education. London: Rouledge.

Kay, A. & Rumble, G. (1981). Distance teaching for higher and adult education. London: Croom Helm.

Keegan, D. (1993). Theoretical priciples of distance education. London & New York: Routledge.

Keegan, D. (1986, 1991). The Foundation of distance education. London: Croom Helm.

Keegan, D. (1983). Six distance education theorists. Cambridge: International Extension College.

Lockwood, F. (Editor). (1995). Open and distance learning today. London: Rouledge.

Panen, P. & Sekarwinahyu. (1997). Belajar mampu berdiri diatas kaki sendiri dlm mengajar di perguruan tinggi. Program Applied Approach. Bagian 2. Jakarta: PAU-PPAI, Universitas Terbuka.

Parer, M. S. (Editor). (1989). Development, design and distance education. Victoria: Centre for Distance Learning Gippsland Institute.

Perry, W. & Greville. (1987). Rumble: A short guide to distance education. Cambride: International Extension Course

sumber http://pk.ut.ac.id/ptjj/22anung.htm


= Baca Juga =

  Memahami Budaya Sosial Masyarakat Pedesaan