Perang Diponegoro

Perang Diponegoro atau Perang Jawa yaitu pemberontakan yg dilancarkan oleh penduduk Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Perang ini merupakan kesemrawutan terbesar yg terjadi pada kekuasaan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Berlangsung selama lima tahun (1825-1830), perang ini menciptakan kas pemerintah menjadi kosong ditambah kehilangan ribuan tentara Eropa. Perang ini menewaskan kurang lebih 200.000 orang baik militer maupun sipil, menjadikannya pemberontakan paling berdarah dlm sejarah Hindia Belanda.

Latar Belakang Perang Diponegoro

Kesultanan Yogyakarta pada tahun 1822 sehabis wafatnya Sri Sultan Hamengkubuwono IV dikuasai oleh Residen Yogyakarta Hendrik Smissaert yg mencampuri urusan kekuasaan keraton. Sementara itu Gubernur Jendral van der Capellen meminta seluruh tanah sewa dikembalikan pada pemilik dgn kompensasi tertentu. Hal ini tak disetujui Pangeran Diponegoro lantaran akan menenteng keraton pada kebangkrutan atas banyaknya tanah yg dikembalikan. Namun Smissaert sukses meyakinkan Ratu Ageng & Patih Danuredjo selaku wali raja untuk memuluskan kebijakan tersebut. Keraton terpaksa meminjam duit dr Kapitan Tionghoa untuk membayar kompensasi tersebut.

Lihat pula materi Sosiologiku.com yang lain:

Kerajaan Kadiri

Kerajaan Kalingga

Penyebab Terjadinya Perang Diponegoro

Perang Diponegoro sendiri dapat dikatakan disebabkan oleh menguatnya pengaruh Belanda di dlm keraton. Banyak diantara punggawa keraton yg memihak Belanda lantaran menerima keuntungan-laba sendiri. Pangeran Diponegoro memutuskan kekerabatan dgn keraton pada Oktober 1824 & pulang ke Tegalrejo. Ia membahas mengenai kemungkinan untuk melaksanakan pemberontakan pada Agustus tahun selanjutnya. Pangeran Diponegoro menghapus pajak bagi petani untuk memperlihatkan ruang pembelian kuliner & senjata.

  Dalam pembentukan PPKI diawali dengan diadakannya pertemuan

Perang kesudahannya pecah tatkala Smissaert, pada Mei 1825 memperbaiki jalan Yogyakarta-Magelang melalui Tegalrejo. Patok-patok jalan ini melalui makam leluhur Diponegoro, sehingga menimbulkan kemarahannya. Ia memerintahkan mengganti patok tersebut dgn tombak selaku pernyataan perang kepada Belanda & Keraton Yogyakarta.

Kronologi Perang

Keraton Yogyakarta berupaya untuk menangkap Diponegoro untuk mencegah terjadinya perang. Pihak keraton merasa bahwa Diponegoro makin fanatic terhadap keagamaannya. Diponegoro dirasa terlalu tenggelam & mengabaikan hubungannya dgn keraton. Di mana ia bertugas selaku wali raja. Kediamannya di Tegalrejo dibakar namun pangeran dapat melarikan diri. Ia berpindah ke Kulonprogo, & kemudian ke Bantul. Mendirikan basisnya di Gua Selarong, & berhasil mengajak berbagai bagian masyarakat untuk bergabung dlm perang suci. 15 orang pangeran bergabung dgn Diponegoro, ia pula merekrut durjana professional untuk bergabung melawan Belanda. Perjuangan ini dibantu oleh Kyai Mojo selaku pemimpin spiritual perang, & kemudian Sentot Alibasah selaku panglima perang.

Pertempuran terjadi dengan-cara terbuka bertempat di puluhan desa. Pangeran Diponegoro menyerbu pusat-sentra kekuatan Belanda tatkala demam isu penghujan datang. Sementara Belanda pada animo yg sama akan mengusahakan untuk melaksanakan gencatan senjata. Masing-masing pihak memakai agen rahasia, kurir, & penjelajah untuk melihat kekurangan & potensi untuk menyerbu musuh. Jalur-jalur logistic & pabrik mesiu dibangun di hutan-hutan Yogyakarta. Sementara Belanda rutin melaksanakan penghasutan & provokasi di golongan masyarakat maupun milisi Diponegoro.

Perang berlangsung dengan-cara stagnan hingga dgn tahun 1828, tatkala Belanda di bawah Jenderal de Kock menerapkan strategi Benteng Stelsel yg berfungsi untuk menjepit pasukan Jawa. Kyai Mojo berhasil ditangkap pada tahun yg sama. Menyusul tahun 1829, Pangeran Mangkubumi & Sentot Alibasah menyerah pada Belanda. Pada Maret 1830, Pangeran Diponegoro yg terjepit di Magelang kemudian mengalah pada Belanda dgn catatan anggota-anggota laskarnya dilepaskan semuanya.

Tokoh-Tokoh

1. Pangeran Diponegoro

Pangeran Diponegoro memang tak kehilangan jabatan di keraton. Malahan ia yakni wali raja bagi Hamengkubuwono V yg masih berusia dua tahun bersama Ratu Ageng & Patih Danuredjo. Namun kebijakan Belanda yg mencekik para petani serta menenteng keraton dlm kebangkrutan, lebih dr mencampuri permasalahan dlm keraton. Hal ini menciptakan kemarahan Pangeran Diponegoro memuncak baik kepada Belanda ataupun golongan Keraton Yogyakarta yg berdiam diri. Ia menentukan memutus relasi dgn kerajaan & menyiapkan perang suci melawan penindas & kaum kafir. Ia memobilisasi pangeran, petani, cecunguk, & penduduk lazimuntuk membantunya mengobarkan perang yg berjalan selama lima tahun.

tokoh perang pangeran diponegoro

Pangeran Diponegoro
Sumber gambar: flickr

2. Kyai Mojo

Kyai Mojo adalah sepupu Pangeran Diponegoro yg merupakan seorang ulama. Ia membantu usaha Diponegoro selaku pemimpin spiritual & panglima perang. Hubungannya memang sangatlah dekat dgn Diponegoro, namun kemudian berganti pada tahun 1828. Tatkala Pangeran Diponegoro menggunakan sentimen Jawa wacana Ratu Adil yg dianggap penyelamat masyarakat dr penindasan. Hal ini dianggapnya selaku penyimpangan dr kebenaran. Kyai Mojo sukses disergap oleh pasukan Belanda di Sleman & dibawa ke Salatiga.

3. Sentot Alibasah Prawirodirjo

Sentot yakni keponakan dr Hamengkubuwono IV, yg memiliki dendam terhadap Belanda. Ayahnya, Ronggo Prawirodirjo tewas tatkala masa pemerintahan Daendels sehingga ia mendukung tatkala Diponegoro mengobarkan pemberontakan. Sentot berhasil diyakinkan untuk mengalah pada Belanda pada tahun 1829. Ia kemudian dikirim untuk mengalahkan Tuanku Imam Bonjol dlm Perang Padri. Sentot berkhianat & memasok senjata bagi pemberontak,sehingga ia ditangkap kembali & diasingkan ke Bengkulu.

  Kala Kolonial Eropa Di Indonesia Semenjak Kedatangan Dan Kejatuhannya

4. Jenderal de Kock

Jenderal de Kock ialah Gubernur Jenderal Hindia Belanda yg berkuasa pada tahun 1825-1826, bertugas untuk memadamkan api pemberontakan Diponegoro di Jawa. Ia menerapkan kebijakan Benteng Stelsel untuk mengepung pasukan-pasukan Diponegoro & menangkap pemimpin perang penduduk Jawa. Ia berganti jabatan menjadi Komandan KNIL sampai dgn tahun 1830, & berperan besar atas penumpasan pemberontakan Diponegoro. Namanya digunakan atas salah satu benteng di Bukittinggi yg menjadi titik penumpasan pemberontakan Imam Bonjol di Minangkabau.

5. Hendrik Smissaert

Hendrik Smissaert yaitu Residen Yogyakarta yg ditunjuk oleh gubernur jenderal untuk menanggulangi kawasan tersebut. Ia menjabat hampir bersamaan dgn wafatnya Hamengkubuwono IV yg seharusya digantikan oleh Hamengkubuwono V yg masih berusia dua tahun. Smissaert menduduki tahta selama 31 bulan sebagai pemimpin keraton, hal ini dianggap sebagai penghinaan oleh penduduk Jawa. Pemasangan patok-patok jalan yg lewat makam leluhur Diponegoro yakni kebijakan dr Smissaert. Kedudukannya sebagai penyebab meletusnya perang Jawa sangatlah besar.

Akhir Perang Diponegoro

Pangeran Diponegoro yg menyerah pada Maret 1830, ditangkap & kemudian diasingkan ke Manado kemudian dipindahkan ke Makassar. Pasukan-pasukannya yg tak lagi mempunyai pemimpin kehilangan semangat untuk berjuang. Berakhirnya Perang Jawa ini menenteng pemimpin-pemimpin di tanah Jawa kehilangan impian untuk melawan Belanda. Sejak tahun 1832, seluruh raja & bupati di Jawa menyatakan ketundukannya pada Belanda kecuali Bupati Ponorogo. Sehingga kian kukuh kedudukan Belanda di Jawa. Meski begitu perang ini bisa menewaskan 7.000 tentara Eropa, yg membuat Belanda semakin kesulitan untuk mengungguli Perang Padri kedua di Minangkabau. Setelah perang berakhir, populasi Yogyakarta berkurang separuhnya. Sementara keturunan Pangeran Diponegoro diusir dr keraton.

Artikel: Perang Diponegoro

Kontributor: Noval Aditya, S.Hum.

Alumni Sejarah FIB UI