Korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan fenomena sosial yang meresap dalam struktur masyarakat. Ia mencerminkan dinamika kekuasaan, norma, dan nilai yang membentuk perilaku individu dan kelompok.
Dalam perspektif sosiologi, perilaku korupsi dapat dianalisis melalui berbagai teori yang menjelaskan akar masalahnya, mulai dari ketimpangan sosial hingga konstruksi budaya.
Artikel ini mengupas perilaku korupsi secara mendalam dengan mengeksplorasi teori sosiologi seperti fungsionalisme, konflik, interaksionisme simbolik, habitus Bourdieu, dan pendekatan sistemik. Kami juga menyajikan contoh fenomena korupsi di Indonesia dan dunia, menganalisis faktor penyebabnya, serta menawarkan solusi berbasis sosiologi dan budaya lokal.
Dengan pendekatan ini, Anda akan memahami mengapa korupsi terus berulang dan bagaimana masyarakat dapat mengatasinya.
Apa Itu Perilaku Korupsi?
Korupsi sering didefinisikan sebagai penyalahgunaan wewenang untuk keuntungan pribadi, tetapi dalam sosiologi, definisinya lebih luas. Menurut Robert K. Merton, korupsi adalah bentuk penyimpangan sosial (deviasi) dari norma-norma yang diterima masyarakat.
Ia tidak hanya melibatkan individu, tetapi juga struktur sosial yang memungkinkan atau bahkan mendorong perilaku tersebut. Misalnya, korupsi bisa terjadi karena lemahnya pengawasan, tekanan ekonomi, atau budaya permisif terhadap gratifikasi.
Pakar sosiologi Indonesia, George Junus Aditjondro, pernah menyatakan, “Korupsi tak mungkin dilakukan seorang diri.”
Pernyataan ini menegaskan bahwa korupsi adalah fenomena kolektif yang melibatkan jaringan sosial, baik dalam bentuk kolusi antarpejabat maupun dukungan implisit dari masyarakat. Dalam konteks sosiologi, korupsi dapat dibagi menjadi dua jenis:
- Korupsi individu: Tindakan seperti penyuapan kecil oleh pegawai rendahan.
- Korupsi kolektif: Skema besar seperti kolusi dalam proyek infrastruktur.
Perilaku korupsi juga erat kaitannya dengan struktur kekuasaan. Elit yang memiliki akses ke sumber daya cenderung memanfaatkannya untuk mempertahankan dominasi, sementara masyarakat yang lemah pengawasannya sering kali terjebak dalam siklus permisif. Untuk memahami lebih lanjut, mari kita jelajahi teori sosiologi yang relevan.
Teori Sosiologi tentang Korupsi
Sosiologi menawarkan berbagai lensa untuk memahami perilaku korupsi. Berikut adalah lima teori utama yang relevan, lengkap dengan penjelasan dan aplikasinya:
Fungsionalisme Struktural
Menurut Emile Durkheim, masyarakat ibarat organisme hidup yang terdiri dari bagian-bagian yang saling mendukung untuk menjaga stabilitas. Dalam teori fungsionalisme, korupsi dilihat sebagai disfungsi sosial yang mengganggu solidaritas masyarakat. Misalnya, ketika pejabat menyalahgunakan dana publik, kepercayaan masyarakat terhadap institusi merosot, melemahkan kohesi sosial.
Namun, beberapa sosiolog seperti Syed Hussein Alatas berpendapat bahwa korupsi kadang-kadang berfungsi sebagai “pelumas birokrasi” di sistem yang kaku. Contohnya, suap kecil untuk mempercepat izin usaha di negara berkembang sering dianggap “norma” oleh pelaku. Meski demikian, efek jangka panjangnya merusak, karena korupsi menciptakan ketidakadilan dan menghambat pembangunan. Dalam konteks Indonesia, fungsionalisme membantu kita memahami mengapa korupsi terus ada di birokrasi yang kompleks.
Teori Konflik
Berasal dari pemikiran Karl Marx, teori konflik memandang masyarakat sebagai arena pertarungan kelas antara yang berkuasa dan yang tertindas. Korupsi, dalam pandangan ini, adalah alat elit untuk mempertahankan kekuasaan dan akumulasi kekayaan. Ketimpangan sosial menjadi pemicu utama: mereka yang memiliki modal (ekonomi, politik, sosial) cenderung mengeksploitasi sistem untuk keuntungan pribadi.
Contoh nyata adalah kasus-kasus korupsi di sektor sumber daya alam, di mana elit politik dan pengusaha berkolusi untuk menguasai keuntungan. Teori ini juga menjelaskan mengapa korupsi sulit diberantas: sistem kapitalis yang mengutamakan profit sering kali melindungi pelaku korupsi kelas atas. Di Indonesia, ketimpangan antara elit politik dan masyarakat miskin memperkuat pola ini.
Interaksionisme Simbolik
Interaksionisme simbolik, yang dikembangkan oleh George Herbert Mead, berfokus pada bagaimana individu memberi makna pada dunia melalui interaksi sosial. Dalam konteks korupsi, perilaku ini dikonstruksi melalui simbol dan labeling. Misalnya, ketika suap dianggap sebagai “tanda terima kasih” dalam budaya tertentu, pelaku tidak merasa bersalah karena norma sosial mendukungnya.
Labeling juga berperan penting. Ketika seseorang dicap sebagai “koruptor,” stigma ini dapat mengubah perilaku mereka atau justru memperkuat identitas negatif. Sebaliknya, kurangnya labeling pada pelaku korupsi kelas atas sering kali membuat mereka lolos dari sanksi sosial. Teori ini relevan untuk memahami bagaimana korupsi dinormalisasi dalam interaksi sehari-hari, seperti pemberian “uang rokok” kepada petugas.
Teori Habitus Pierre Bourdieu
Pierre Bourdieu memperkenalkan konsep habitus, yaitu pola pikir dan perilaku yang terbentuk dari pengalaman sosial, serta modal (sosial, budaya, ekonomi) yang dimiliki individu. Dalam kasus korupsi, habitus koruptif terbentuk ketika seseorang terbiasa dengan praktik kolusi atau gratifikasi dalam lingkungannya. Modal sosial, seperti jaringan dengan pejabat tinggi, mempermudah praktik ini.
Contohnya, seorang pejabat yang terbiasa menerima suap karena “semua orang melakukannya” mengembangkan habitus koruptif. Bourdieu juga menekankan ranah (lapangan sosial) sebagai tempat praktik korupsi terjadi, seperti birokrasi atau politik. Teori ini membantu menjelaskan mengapa korupsi sistemik sulit diubah tanpa mengubah budaya dan struktur sosial.
Teori Sistemik
Teori sistemik memandang korupsi sebagai bagian dari sistem sosial yang rusak. Berbeda dengan teori lain yang fokus pada individu atau kelas, pendekatan ini menyoroti kegagalan institusi seperti lemahnya pengawasan, rendahnya transparansi, dan buruknya akuntabilitas. Menurut Robert Klitgaard, korupsi terjadi ketika ada monopoli kekuasaan + diskresi – akuntabilitas.
Di Indonesia, sistem birokrasi yang sentralistis dan korporasi yang monopolistik sering kali menciptakan peluang korupsi. Teori ini menekankan perlunya reformasi sistemik untuk mengatasi akar masalah, bukan hanya menghukum pelaku individu.
Contoh Fenomena Korupsi di Masyarakat
Untuk memahami penerapan teori di atas, berikut adalah contoh kasus korupsi lokal dan global, lengkap dengan analisis sosiologisnya:
Kasus Lokal
Kasus e-KTP (2017)
Kasus pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) adalah salah satu skandal korupsi terbesar di Indonesia, dengan kerugian negara mencapai Rp2,3 triliun. Melibatkan pejabat tinggi, anggota DPR, dan pengusaha, kasus ini menunjukkan kolusi sistemik. Dari perspektif teori konflik, e-KTP mencerminkan bagaimana elit politik memanfaatkan kekuasaan untuk mengakumulasi kekayaan, memperlebar ketimpangan sosial. Habitus Bourdieu juga relevan: pelaku terbiasa dengan praktik korupsi karena lingkungan politik yang permisif.
Kasus Bansos COVID-19 (2020)
Selama pandemi COVID-19, Kementerian Sosial terseret skandal korupsi bantuan sosial (Bansos) senilai Rp20 miliar. Mantan Menteri Sosial Juliari Batubara terbukti menerima suap dari pengadaan paket Bansos. Dalam lensa fungsionalisme, kasus ini adalah disfungsi sosial yang merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah di tengah krisis. Interaksionisme simbolik menyoroti bagaimana suap dikonstruksi sebagai “tanda terima kasih” dalam interaksi antara pejabat dan kontraktor.
Kasus Korupsi Timah (2024)
Baru-baru ini, kasus korupsi di sektor pertambangan timah melibatkan pengusaha terkenal dan pejabat tinggi, dengan kerugian negara diperkirakan mencapai Rp271 triliun. Kasus ini menunjukkan kolusi antara elit bisnis dan politik, yang dapat dianalisis melalui teori sistemik: lemahnya pengawasan di sektor sumber daya alam memungkinkan korupsi skala besar. Teori konflik juga relevan, karena keuntungan mengalir ke segelintir elit, sementara masyarakat lokal menderita kerusakan lingkungan.
Kasus Global
Panama Papers (2016)
Skandal Panama Papers mengungkap bagaimana elit global, termasuk politisi dan pengusaha, menyembunyikan kekayaan melalui perusahaan lepas pantai. Dari perspektif teori konflik, kasus ini menunjukkan bagaimana sistem kapitalis global melindungi elit kaya, memperkuat ketimpangan. Habitus Bourdieu juga berlaku: praktik penggelapan pajak menjadi “normal” di kalangan elit karena modal sosial dan budaya mereka mendukungnya.
Skandal Petrobras Brasil (2014)
Skandal korupsi di perusahaan minyak Petrobras melibatkan suap besar-besaran antara pejabat dan kontraktor, dengan kerugian mencapai miliaran dolar. Teori sistemik menjelaskan kasus ini: monopoli Petrobras dan rendahnya akuntabilitas menciptakan peluang korupsi. Fungsionalisme melihatnya sebagai disfungsi yang merusak kepercayaan publik terhadap sektor publik di Brasil.
Faktor Sosial Penyebab Korupsi
Korupsi tidak muncul begitu saja; ia berakar pada berbagai faktor sosial yang saling terkait. Berikut adalah analisisnya:
- Struktur Sosial: Ketimpangan kekuasaan adalah pemicu utama. Menurut Dwi Agus Prasetyo, sistem birokrasi yang hierarkis di Indonesia memungkinkan pejabat tinggi menyalahgunakan wewenang tanpa pengawasan memadai. Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2023 menunjukkan bahwa 60% kasus korupsi melibatkan pejabat eksekutif atau legislatif.
- Budaya: Tradisi feodal seperti “upeti” atau gratifikasi masih melekat di masyarakat. Misalnya, memberikan “uang rokok” kepada petugas dianggap wajar di beberapa daerah. Budaya permisif ini memperkuat habitus koruptif.
- Ekonomi: Tekanan kebutuhan hidup atau keserakahan mendorong korupsi. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Transparency International 2023 menempatkan Indonesia di skor 34/100 (peringkat 115/180), mencerminkan tantangan ekonomi sebagai pemicu.
- Kurangnya Pengawasan: Lemahnya institusi pengawas, seperti audit yang tidak independen, mempermudah korupsi. Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) BPS 2023 (skor 3,90/5) menunjukkan bahwa masyarakat masih toleran terhadap praktik korupsi kecil.
Korupsi dan Budaya Lokal Indonesia

Budaya lokal memainkan peran ganda dalam korupsi: sebagai pemicu sekaligus solusi potensial. Di Indonesia, beberapa nilai budaya luhur seperti religiusitas, humanisme, dan keadilan telah terkikis, digantikan oleh budaya permisif. Misalnya, tradisi “hadiah” kepada pejabat sering disamarkan sebagai tanda hormat, padahal merupakan bentuk gratifikasi. Peneliti Aloysius Yanis Dhaniarto menyoroti bahwa budaya feodal di Jawa, yang menempatkan pejabari sebagai “priyayi,” memperkuat sikap patuh masyarakat terhadap korupsi elit.
Sebagai perbandingan, budaya Jepang menunjukkan nilai kejujuran yang kuat. Di Jepang, praktik seperti omotenashi (pelayanan tanpa pamrih) dan rasa malu (haji) mencegah perilaku koruptif. Indonesia dapat belajar dari pendekatan ini dengan menggali kearifan lokal, seperti yang akan dibahas pada bagian solusi.
Solusi Mengatasi Korupsi: Pendekatan Sosiologi dan Budaya
Mengatasi korupsi memerlukan pendekatan holistik yang menggabungkan teori sosiologi, budaya lokal, dan reformasi sistemik. Berikut adalah solusi yang diusulkan:
Pendekatan Sosiologi
- Pengendalian Sosial (Fungsionalisme): Memperkuat norma dan sanksi sosial untuk mencegah deviasi. Misalnya, kampanye publik yang menstigmatisasi korupsi dapat meningkatkan solidaritas masyarakat, seperti yang diajarkan Durkheim.
- Mengurangi Ketimpangan (Teori Konflik): Kebijakan redistribusi kekayaan, seperti pajak progresif, dapat mengurangi insentif korupsi di kalangan elit. Marx menekankan bahwa ketimpangan adalah akar konflik sosial.
- Mengubah Persepsi (Interaksionisme Simbolik): Mengedukasi masyarakat untuk tidak menoleransi suap, misalnya melalui media yang menggambarkan suap sebagai tindakan memalukan.
Rejuvenasi Budaya Lokal
Indonesia kaya akan kearifan lokal yang dapat menjadi benteng antikorupsi:
- Siri’ Na Pacce (Sulawesi Selatan): Nilai harga diri dan solidaritas ini mengajarkan individu untuk tidak merugikan komunitas. Pendidikan berbasis Siri’ Na Pacce dapat membentuk karakter antikorupsi.
- Ritual Katoba (Muna, Sulawesi Tenggara): Ritual ini menanamkan nilai kejujuran sejak dini. Sekolah dapat mengadopsi pendekatan serupa untuk membangun integritas.
Keteladanan Pemimpin
Pemimpin memiliki peran besar dalam membentuk habitus masyarakat. Menurut Bourdieu, perubahan budaya dimulai dari mereka yang memiliki modal sosial tinggi. Contohnya, pejabat yang menolak gratifikasi dapat menjadi role model. KPK mencatat bahwa 70% kasus korupsi melibatkan pejabat tinggi, menunjukkan urgensi keteladanan.
Penguatan Sistem
Reformasi sistemik adalah kunci, seperti yang disoroti teori sistemik:
- Transparansi: Publikasi anggaran secara daring untuk meminimalkan penyelewengan.
- Akuntabilitas: Penguatan independensi KPK dan auditor negara.
- Partisipasi Publik: Melibatkan masyarakat dalam pengawasan, misalnya melalui aplikasi lapor.go.id.
Kesimpulan
Perilaku korupsi adalah fenomena sosial yang kompleks, namun dapat dipahami melalui perspektif sosiologi. Teori fungsionalisme menyoroti korupsi sebagai disfungsi sosial, teori konflik mengaitkannya dengan ketimpangan, interaksionisme simbolik menganalisis konstruksi makna, habitus Bourdieu menjelaskan pola perilaku, dan teori sistemik menekankan kegagalan institusi. Contoh kasus seperti e-KTP, Bansos, dan korupsi timah di Indonesia, serta Panama Papers dan Petrobras di dunia, mencerminkan dinamika ini. Faktor penyebabnya meliputi struktur sosial, budaya permisif, dan lemahnya pengawasan, yang diperparah oleh erosi nilai budaya luhur.
Solusi membutuhkan pendekatan ganda: sosiologi untuk memperkuat norma dan mengurangi ketimpangan, serta budaya lokal untuk membangun integritas. Kearifan seperti Siri’ Na Pacce dan Katoba, didukung keteladanan pemimpin dan reformasi sistemik, dapat menjadi jalan keluar. Mari bersama-sama meningkatkan kesadaran antikorupsi dengan membagikan artikel ini atau mendiskusikan ide-ide Anda di kolom komentar!
FAQ
Apa itu perilaku korupsi dalam sosiologi?
Korupsi adalah penyimpangan sosial yang melibatkan penyalahgunaan wewenang, dipengaruhi oleh struktur sosial, budaya, dan interaksi individu.
Teori sosiologi apa yang menjelaskan korupsi?
Fungsionalisme, konflik, interaksionisme simbolik, habitus Bourdieu, dan teori sistemik adalah teori utama yang relevan.
Apa saja contoh korupsi di Indonesia?
Kasus e-KTP, Bansos COVID-19, dan korupsi timah adalah contoh nyata yang mencerminkan kolusi elit.
Bagaimana budaya lokal membantu mencegah korupsi?
Nilai seperti Siri’ Na Pacce dan Katoba menanamkan kejujuran dan solidaritas, yang dapat diintegrasikan ke pendidikan dan kebijakan.
Referensi
- Alatas, S.H. (1986). Sosiologi Korupsi. Jakarta: LP3ES.
- Transparency International. (2023). Corruption Perceptions Index.
- Badan Pusat Statistik. (2023). Indeks Perilaku Anti Korupsi.
- Komisi Pemberantasan Korupsi. (2023). Laporan Tahunan KPK.
- Bourdieu, P. (1977). Outline of a Theory of Practice. Cambridge University Press.