Peristiwa Tanjung Priok 1984 Secara Singkat

Salah satu bentuk kebijakan politik orde baru tampaktatkala pemerintah gencar mengkampanyekan Pancasila selaku asas tunggal negara sejak awal tahun 1980-an lewat RUU Asas Tunggal Pancasila. Penetapan asas tunggal tersebut memiliki arti bahwa semua organisasi yg ada di Republik Indonesia wajib memakai asas Pancasila & tak mampu memakai asas yg lain. Dengan adanya kebijakan ini berarti siapapun yg tak memakai Pancasila sebagai asas tunggalnya dianggap tak sejalan dgn kebijakan politik pemerintah di masa itu. Mereka yg tak berasas Pancasila akan dianggap anti Pancasila.

Penetapan Pancasila selaku asas tunggal banyak ditolak oleh masyarakat khususnya di Jakarta sehingga situasi di Jakarta tergolong wilayah Jakarta Utara tegang akan berita politik & keagamaan selama beberapa minggu sebelum kejadian Tanjung Priok terjadi. Hampir setiap ahad di dlm dakwahnya para ulama di masjid – masjid menyisipkan kritik keras pada pemerintah Orde Baru. Kewajiban menggunakan Pancasila sebagai satu – satunya asas di Indonesia dinilai selaku pemaksaan. Pada ketika itu di musala As – Saadah Tanjung Priok, seorang ulama berjulukan Abdul Qodir Jaelani pula kerap memberikan khotbah yg menentang asas tunggal Pancasila.

Dari aneka macam macam kebijakan orde gres inilah muncul gelombang ketidak puasan yg pada akhirnya memuncak menjadi kejadian Tanjung Priok. Demonstrasi yg terjadi sebagai penolakan terhadap Pancasila selaku satu – satunya asas berawal dr penahanan terhadap empat orang warga yaitu Achmad Sahi, Syafwan Sulaeman, Syarifuddin Rambe & Muhammad Nur. Keempatnya ditahan sehabis terjadinya aksi pembakaran sepeda motor seorang Babinsa, yg kemudian menjadi latar belakang peristiwa Tanjung Priok yg menyeramkan tersebut.

Pemicu Peristiwa Tanjung Priok

Aksi pembakaran itu sendiri dipicu tatkala masyarakat mendengar aksi provokasi yg dilakukan oleh oknum Babinsa di musala / masjid As – Saadah, penahanan empat orang warga & mereka menolak penahanan tersebut. Kejadian Tanjung Priok kini tercatat sebagai salah satu peristiwa pada masa orde baru yg bermula dr tanggal 8 September 1984 sebagaimana kesaksian Adul Qodir Jaelani di pengadilan. Seorang Bintara Pembina Desa (Babinsa) Sersan Satu Hermanu & seorang tekannya dr Koramil tiba di Masjid / Musala As-Saadah, gang IV Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Mereka bermaksud untuk membersihkan spanduk, pamflet & selebaran di dlm masjid tersebut yg isinya diangggap berbentukdakwah menentang pemerintah.

  Sejarah Museum Jendral Sudirman Magelang Terlengkap

Para jamaah menolak melepasnya sehingga petugas melakukannya sendiri. Kemudian isu tersebar bahwa para Babinsa masuk area masjid tanpa melepas bantalan kaki. Tindakan itu yaitu dianggap sebagai pelanggaran serius kepada budpekerti biasa di masjid alasannya adalah pada setiap masjid ada area dimana seseorang tak diizinkan memakai ganjal kaki. Bahkan ada selentingan bahwa mereka membersihkan pamflet dgn air comberan sebab tak ada perlengkapan yg mencukupi. Setelahnya terjadi pertengkaran antara beberapa jamaah di masjid tersebut dgn para Babinsa.

Pertengkaran sempat terhenti tatkala kedua petugas dibawa masuk ke kantor pengelola Masjid Baitul Makmur yg letaknya tak jauh dr situ. Usaha untuk meredamnya gagal karena kabar sudah tersebar & banyak masyarakat yg sudah berkumpul ke masjid. Masyarakat datang untuk menuntut kedua petugas meminta maaf atas tindakannya. Syarifuddin Rambe & Sofwan Sulaeman sebagai pengelola masjid Baitul Makmur menjajal menengahi dgn musyawarah, namun massa yg sudah emosi kemudian aben motor milik Hermanu. Sebagai karenanya pegawanegeri kemudian menangkap keempat orang tersebut. Ketahui pula mengenai sejarah kejadian 13 Mei 1969 di Malaysia yg merupakan kerusuhan besar serta apa saja yg menjadi aspek penyebab runtuhnya orde gres.

Terjadinya Peristiwa

Warga kemudian meminta perlindungan pada Amir Biki, tokoh masyarakat yg memiliki imbas luas. Amir Biki dianggap bisa menjembatani massa dgn serdadu di Kodim & Koramil alasannya mempunyai relasi luas dgn para pejabat militer di Jakarta. Amir Biki kemudian mendatangi kantor Kodim Jakarta Utara, kawasan ditahannya keempat orang tersebut. Amir Biki pula berjumpa dgn As Intel Kodam V Jaya, Kolonel Sampurno. Tetapi tak ada respon yg baik. Tidak pula tatkala Amir Biki berupaya berjumpa dgn Pangdam Jaya Mayjen Tri Sutrisno & tak sukses. Pada tanggal 12 September, kantor Kodim 0502 dihubungi Amir Biki.

  Sejarah Museum House Of Sampoerna Dan Koleksinya

Ia memberikan ultimatum pada petugas piket untuk meminta pembebasan keempat orang yg ditahan hingga pukul 23.00 WIB. Sambil menunggu Amir Biki & beberapa tokoh agama lain kemudian memanggil umat Islam di Jakarta & sekitarnya dlm suatu program tabligh akbar. Tanggal 12 September 1984 pada insiden Tanjung Priok, sekitar 1500 hingga 3000 orang massa berkumpul untuk menuntut pembebasan. Mereka datang dr arah pelabuhan Tanjung Priok menuju ke arah Kodim. Sebagian massa pula menuju Polres Tanjung Priok.

Pasukan militer bersenjata lengkap sudah menghadang massa, bahkan memakai alat berat seperti panser. Tentara pribadi menembak dgn senapan otomatis sebab massa terus maju. Tembakan tak segera berhenti walaupun sudah jatuh korban & ribuan orang lari dgn ketakutan, aparat terus menembak dgn beringas & tak berhenti. Rombongan Amir Biki yg menuju Kodim pula mengalami nasib sama. Mereka ditembak tatkala sudah mendekat sehingga Amir Biki eksklusif tewas. Setelah kejadian terjadi, para korban penembakan baik itu yg tewas maupun luka – luka pribadi dimuat menggunakan truk ke RSPAD Gatot Subroto.

Solidaritas Nasional Untuk Peristiwa Tanjung Priok (Sontak) melakukan pengusutan yg menyimpulkan jumlah korban tewas diperkirakan mencapai 400 orang, tak termasuk korban yg cacat & luka – luka. Akan tetapi pemerintah menyatakan jumlah korban sama sekali tak sebanyak itu. Data Komnas HAM pula cuma mencatat sejumlah 24 orang korban tewas & 55 orang luka – luka. Hingga kini kejadian Tanjung Priok yg sarat dgn ciri pokok orde gres masih simpang siur utamanya dlm detil urutan peristiwanya. Tidak ada satupun cerita yg benar – benar sama perihal latar belakang insiden ini.

  KontrakPangkor 1874 – Sejarah Dan Isi Perjanjian

Jenderal LB. Moerdani sebagai Pangkopkamtib menyatakan bahwa ada yg menjinjing senjata tajam & bensin diantara massa pada waktu itu sehingga memberi alasan bagi para pegawapemerintah untuk bertindak. Aparat mulai bertindak bernafsu tatkala massa tak mau membubarkan diri. Setelah insiden, abdnegara TNI kemudian menggeledah & menangkap orang – orang di sekeliling lokasi penembakan yg dicurigai mempunyai hubungan dgn insiden Tanjung Priok. Sekitar 160 orang kemudian ditangkap tanpa adanya mekanisme yg terperinci & pula tanpa surat perintah penangkapan, bahkan tak diinformasikan ke keluarganya. Orang – orang yg ditangkap pada kejadian Tanjung Priok kemudian ditahan di Laksusda Jaya, Kramat V, Mapomdam Guntur & RTM Cimanggis.

Peristiwa Tanjung Priok yg selsai pada kerusuhan & pembunuhan brutal kemudian dilanjutkan pada sidang subversi, dimana pada sidang itu sejumlah orang diadili atas tuduhan telah melawan pemerintahan yg sah. Ulama Abdul Qadir Djaelani ditangkap & diadili, Salim Qadar mendapat sanksi selama 20 tahun penjara, Tonny Ardie dihukum 17 tahun penjara, & terdakwa lain bernama Ratono menghadapi dakwaan merongrong & menyelewengkan ideologi serta haluan negara.

AM Fatwa sebagai anggota Petisi 50 yg kerap memprotes kebijakan pemerintah orde baru pula ditahan tatkala kelompoknya menerbitkan penjelasan berbeda dr model pemerintah perihal apa tepatnya yg menjadi pemicu peristiwa Tanjung Priok. Hingga ketika ini keluarga korban masih banyak yg menuntut keadilan & penyelidikan menyeluruh atas pelanggaran HAM besar – besaran. Mereka masih mengharapkan penutup yg memiliki keadilan atas apa yg terjadi, namun hingga saat ini siapa persisnya pelaku kerusuhan & segala hal yg berkaitan dgn penyebab insiden Tanjung Priok itu tak ada kejelasan yg memiliki arti.