close

Pilpres 2019 : Keakraban Jokowi dan Prabowo, Wujudkan Integrasi Nasional

– Indahnya kebersamaan kedua capres & cawapres, Jokowi-Ma’ruf Amin & Prabowo-Sandi saat hadiri deklarasi kampanye damai Pilpres 2019, mudah-mudahan mereka beruda dapat merealisasikan integrasi nasional.
Deklarasi kampanye hening telah terlaksana. Pada hari Minggu, 23 September 2018 kemudian di Kawasan Monas Jakarta.

Banyak hal & dongeng yg menghiasai pelaksanaan kampanya tenang pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 mendatang. Mulai dr perihal Susilo Bambang Yudhoyono (Pak SBY) yg Walk Out (WO) ketika program kampanye damai, perihal pelepesan burung, serta tak kalah menjadi perhatian kita bersama yakni kedua Pasangan Calon (Paslon) calon presiden (capres) & wakil presiden (Wakil Presiden) yg menggenakan busana adat nusantara.

Mereka dgn bakti & niat baik untuk ikut menyemarakan pesta demokrasi lima tahun tersebut. Hadir dgn nuansa busana budpekerti, paslon nomor urut 01 Jokowi mengenakan pakaian khas budbahasa Bali, wapres Ma’ruf Amin mengenakan busana budpekerti khas Betawi.

Sementara, paslon nomor urut 02 Prabowo mengenakan pakaian adab khas Jawa, begitu pula cawapresnya Sandiaga mengenakan busana akhlak khas Jawa. 

Foto-foto mereka berdua pun beradar di media sosial, mulai dr tawa, kegembiraan, kebersamaan, & bentuk cinta tenang pelaksanaan pilpres 2019. Kita pantas menunjukkan apresiasi pada kedua paslon. Jika saya boleh menyampaikan mereka yakni putera terbaik bangsa ini.

Keduanya sukses menjadi komplemen, saat kedekatan & kegemberiaan itu tampakdr gestur keduanya. Tidak ada canggung, yg Nampak hanya wujud penyatuan bangsa Indonesia.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), embel-embel ialah barang yg menjadikan (mengakibatkan, menambah) manis, indah, bagus, & sebagainya. Indahnya keakraban Jokowi dgn Prabowo ialah simbol dr integrasi sosial bangsa Indonesia.

Terlebih saat pilpres ini berjalan, mereka kedua paslon menyadari bahwa pentingnya menjada keutuhan bangsa, integrasi nasional yg sama-sama menjadi tujuan besar negara ini.

Integrasi Nasional
Nation State atau negara bangsa merupakan suatu unit politik yg utama dlm dunia terbaru. Munculnya negara-negara bangsa diawali di Eropa Barat & Amerika Serikat. Ada dua aspek penting yg mengkondisikan pertumbuhan negara-negara bangsa.

Pertama, perkembangan pemerintahan sentralisasi modern yg dilaksanakan monarki absolut dr periode ke 16 hingga kurun ke 18. Kedua, sebab timbulnya nasionalisme, yg mewujudkan wangsit penentuan politik dengan-cara mandiri bagi suatu golongan sosial yg menempati suatu daerah tertentu.

Menurut Hans Kohn, nasionalisme tak dapat dipahami tanpa didahului oleh adanya ide kedaulatan rakyat & revisi seksama atas posisi penguasa & yg dikuasi, posisi kelas, & kasta. Catat penting, Ia mencatat adanya timbul kelas baru yg disebut kelas ketiga.

Nasionalisme disini yaitu pergerakan budaya yg dilaksanakan oleh bangsa atau negara tersebut. Bisa kita lihat lahirnya Revolusi Amerika & Prancis yg membentuk negara bangsa Amerika Serikat & Prancis.

Kasus diatas merupakan pembentuk suatu tipe metode politik gres yg menyatukan ide-ilham perihal kewarganegaraan & kedaulatan rakyat. Namun, tak semua negara baru lahir dr proses yg sama.

Lingkungan masyarakat yg belum memiliki kekuatan ketiga berarti, kaum berjouis berperan selaku penunjang suatu nasinalisme konservatif. Penciptaan negara gres yg mendasarkan diri pada cara bikinan kapitalis, cenderung diatasi dgn cara yg otoriter, sering diketahui dgn istilah revolusi dr atas.

Indonesia sebagai negara ketiga, lahir dr pertempuran & revolusi menentang imperialism bangsa-bangsa asing. Teori Marxis mengatakan tentang kekerabatan antara kaum borjuis dgn kelahiran negara-negara baru, dibilang bahwa setiap bentuk ekonomi gres akan melahirkan bentuk negara baru.

Sedangkan dlm pandangan liberal, pergaulatan kaum borjuis demi demokrasi yg menghidupakn semangat nasionalisme yg kemudian melahirkan suatu negara baru.

Ernest Gellner, yg mempelajari hubungan antara industralisasi atau modernisasi dgn nasionalisme, disinilah ada faktor ekonomi & budaya yg diperhitungkan. Menurut Gellner, gelombang industralisasi & modernisasi menghancurkan unit-unit politik tradisional, baik yg besar maupun yg kecil.

Kehancuran tatanan politik tradisional usang yg kemudian dibangun komunitas nasional gres. Sistem keanggotaan masyarakat bergeser, dr kalangan feudal pada tata cara kalangan penduduk nasional. Dengan disokong oleh kemajuan pendidikan massal & penerapan sistem pendidikan nasional.

Terlepas dr berbagai macam teori pembentukan negara bangsa gres. Integrasi nasional masih menjadi masalah sekaligus tantangan bagi kita, terutama penduduk Indonesia. Coba kita lihat isu perpecahan itu mulai naik kepermukaan, silang pertimbangan , caci maki antar elit & penduduk , & duduk perkara bangsa yg membuat disintegrasi.

Bayangan akan kehancuran itupun tak lepas dr bangsa Indonesia, yg hari ini dilema kepada pluralisme etnis, budaya, & agama. Kita lihat kehancuran Uni Sovyet & perpecahan Yugoslavia.

Apakah Indonesia akan mengikuti jejak negara diatas ? Semoga saja tidak. Terlebih melihat suasana politik yg kurang kondusif saat ini.

Memasuki tahun politik mirip sekarang ini, bisa jadi perpecahan itu akan ada & bisa saja dimulai dr tahun politik seperti kini ini. Isu agama, isu etnis, & isu perbedaan yg lain, dimana itu dapat memunculkan pertentangan yg panjang dimasa mendatang.

Isu yg berlatar belakang suku, agama, ras, & antar golongan (Sara) berbahaya bagi integrasi nasional bangsa Indonesia.

Dikutip pada halaman website (www.politik.rmol.co), Ray Rangkuti selaku Koordinator Lingkar Madani Indonesia (Lima), mengungkapkan salah satu misalnya yaitu isu sara yg dipakai dlm Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu.
“Karena isu sara kita lihat Pilkada DKI ini ribut-ributnya hingga Papua,” kata Ray dlm jumpa pers di Hotel Century Park, Jakarta (Selasa, 19/2/2018).
Ray, melanjutkan, bahwa isu sara dlm pilkada yg berjalan pula memecah rakyat selaku suatu bangsa. “Sakitnya pula lama. Sampai kini, Pilkada Jakarta tak sembuh-sembuh.”
Sumber gosip : https://politik.rmol.co/read/2018/02/20/327445/Di-Pesta-Demokrasi,-Isu-Sara-Lebih-Bahaya-Ketimbang-Politik-Uang-
Oleh karena itu, kita selaku penduduk pula harus ambil pecahan dlm menjaga kampanye hening dgn tak menciptakan konflik atau perpecahan antar masyarakat.
Sudah terperinci, bahwa Indonesia merdeka atas dasar kesatuan sosial, kesatuan berbagai kelompok penduduk , etnis, suku, agama, & antar golongan. Hal tersebutlah yg mendasari kita sebagai penduduk supaya mampu mewujudkan integrasi sosial atau nasional.

Secara lazim, integrasi sosial diterangkan selaku koordinasi dr seluruh anggota masyarakat, mulai dr individu, kelompok, keluarga, & masyarakat dengan-cara keseluruhan.

Harapan kita bersama, dgn tercapainya integrasi sosial menghasilkan persatuan-persatuan berupa consensus nilai-nilai yg dijunjung tinggi bareng . Integrasi sosial hanya akan terwujud jika individu-individu yg ada dlm suatu masyarakat menjauhkan diri dr prasangka & diskriminasi. Tujuannya biar pertentangan-konflik yg mengancam keberadaan masyarakat yg bersangkutan mampu disingkirkan.
Coba kita menyaksikan sejarah kemerdekaan yg kita dapat pada hari ini yakni perjuangan para pemuda, penduduk , & tokoh-tokoh penting Indonesia, sebut saja Soekarno & Hatta. Kesadaran kepada persatuan & kesatuan bangsa Indonesia pada saat itu menjadi penting untuk kita laksanakan kini, yakni pada 28 Oktober 1928 Pemuda mengambil adil dlm memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Mereka para perjaka bersumpah untuk membela satu nusa, satu bangsa, & satu bahasa, yakni nusa (tanah air) Indonesia, bangsa Indonesia, bahasa Indonesia.

Sumpah cowok sebagai salah satu dorongan semangat yg sangat besar lengan berkuasa bagi terwujudnya integrasi sosial yg merupakan syarat bagi integrasi nasional.

Semangat nasionalisme lah yg membangkitakan perlawan terhadap para penjajah, yaitu Belanda & Jepang. Puncak pergerakan nasionalis ditandai dgn proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, dgn landasan dasar negara yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia & berasaskan Pancasila.

Begitulah, Pancasila dipandang sebagai perekat bangsa, perekat persatuan & kesatuan bangsa yg multikultur, mulai dr budaya, budpekerti, etnis, suku, ras, golongan, & kepercayaan.
Hari ini & seterusnya yaitu pekerjaan rumah bagi kita sebuah bagaimana kita bisa menjaga keberadaan NKRI yg bermartabat, adil, makmur & sejahtera. Sesuai dgn suara lima butir pancasila, serta amanah undang-undang dasar 1945.
Namun, itu semua seakan rapuh pada hari ini, kenapa mampu ? Coba kita lihat, perkara korupsi, masalah pelecehan, kasus penipuan, perkara isu hoax (penyebar isu bohong) atau orang-orang yg tertangkap terlibat dlm membuatkan ujaran kebencian, hanya untuk memanipulasi data.

Praktek-praktek elit yg berusaha menjaga & merebut kekuasaan pada hari ini seakan-akan lupa terhadap komitmen sumpah perjaka, serta isi dlm undang-undang dasar 1945 & butir-butir pancasila.

Pada perhelatan pesta demokrasi Pilpres 2019 mendatang, mungkin akan menghipnotis integrasi nasional dlm masyarakat Indonesia.

Perpecahan pun dikadang-kadang akan dimulai pada tahun politik 2019 mendatang. Terlebih pada pilkada serentak lalu di Jakarta kita melihat bagaimana isu Sara bermain dlm menjatuhkan musuh politik.

Dengan bukti, deklarasi kampanye hening pada Minggu, 23 September 2018 bertempat di Monas Jakarta, mudah-mudahan menjadi janji & saksi bagaimana kedua capres & cawapres, serta para elit politik berkomitmen untuk berkampanye dgn arif & bijaksana, tanpa ada isu sara, informasi hoax & kampaye hening yg aman.

Semoga saja, apa yg kita lihat dlm upaya merealisasikan integrasi nasional, kedua capres & cawapres dapat menjalankannya dgn baik, apalagi kita melihat beredarnya foto-foto keakraban Jokowi & Prabowo dlm beberapa bulan baik menjelang kampanye & pas ketika deklarasi kampanye hening.

Publik mampu menganggap, keakraban mereka berdua (Jokowi & Prabowo) dapat merealisasikan integrasi nasional dgn berkampanye dengan-cara damai & bijak, serta mengerti pentingnya persatuan & kesatuan bangsa Indonesia.
(Sumber bacaan : Buku  Pengantar Sosiologi Politik oleh Rafael Raga Maran).