Platform merupakan sumber kebaikan yg demokratis,” kata Katie Harbath, kepala politik & penjangkauan global Facebook, dlm suatu pernyataan yg menyertai peluncuran upaya ini. Ini merupakan respon yg harus dimengerti oleh pengguna media sosial yg ada di dunia ketika ini, begitu pula dgn Indonesia.
Media Sosial, mirip Facebook, bersama Google & Twitter, menghadapi sorotan alasannya adalah memfasilitasi penyebaran info palsu. Beberapa di antaranya dilaksanakan oleh Rusia – menjelang pemilihan AS, penyeleksian suara Brexit & pemilihan yang lain. Jaringan sosial sudah menyimpulkan bahwa pemain drama Rusia membuat 80 ribu akun yg meraih sekitar 126 juta orang di Amerika Serikat selama periode dua tahun.
“Sangat mencemaskan tatkala sebuah negara menggunakan platform kami untuk melaksanakan perang siber yg bermaksud memecah belah penduduk ,” kata Chakrabarti. “Ini yakni ancaman gres yg tak mampu kami prediksi dgn gampang, namun sebaiknya kami melakukannya dgn lebih baik. Sekarang kami memburu ketinggalannya,” katanya. Perang siber jikalau dikerjakan terus menerus akan menjadi salah satu budaya yg tak santun dlm menggunakan jejaring sosial.
Chakrabarti merujuk akad Facebook tahun kemudian untuk mengidentifikasi pendukung iklan politik – sambil pula menekankan perlunya kehati-hatian. Ia memberi teladan pencetus hak asasi manusia yg dapat terancam jika mereka dikenali dengan-cara publik di media sosial. ia pula menjelaskan keputusan untuk membiarkan pengguna Facebook memberi peringkat “iktikad” dr sumber isu, dgn menyampaikan, “Kami tak mau menjadi penguasa kebenaran, pula tak kami bayangkan ini yakni tugas yg dunia harapkan bagi kami.”
Chakrabarti beropini bahwa pencegah terbaik pada balasannya adalah menjadi publik yg pintar. Rencana Facebook untuk memberi peringkat pada organisasi berita menurut survei “iktikad” pengguna sudah menarik tanggapan beragam.
Sementara, Renee DiResta dr kelompok nirlaba Data for Democracy optimistis. “Ini yakni isu bagus & sudah usang ditunggu. Google sudah melaksanakan pemeringkatan untuk mutu semenjak lama. Agak membingungkan kenapa butuh waktu lama bagi jaringan sosial untuk melaksanakan ini,” tulisnya di Twitter. Namun kolumnis teknologi Shelly Palmer memperingatkan bahwa Facebook tampaknya menyamakan iktikad & kebenaran dgn apa yg masyarakat yakini – yg oleh beberapa orang disebut “wikiality”.
” Wikiality ialah jawaban Facebook atas berita palsu, fakta alternatif, & kebenaran,” tulis Palmer. “Facebook, raksasa media umum, akan membiarkan Anda memberi peringkat pada informasi yg menurut Anda paling benar. Apa yg mungkin salah?” Bagi penulis media Matthew Ingram, perubahan ini tak cuma tak akan memperbaiki problem ‘gosip artifisial,’ tetapi bergotong-royong mampu memperburuknya.
“Mengapa? Karena informasi yg keliru nyaris senantiasa lebih mempesona daripada kebenaran,” tulisnya dlm Columbia Journalism Review. Pendiri & ketua administrator News Corp Rupert Murdoch pula menyatakan skeptisisme. Ia justru menyarankan biar Facebook membayar kantor berita terpercaya, mengikuti teladan operator TV kabel. “Saya tak ragu bahwa Mark Zuckerberg yakni orang yg ikhlas.
Namun masih ada kekurangan transparansi yg harus diamati & kegalauan bias politik di platform Facebook ini,” kata Murdoch dlm suatu pernyataan yg dikeluarkan oleh kelompoknya. Bijak dlm memakai media sosial merupakan salah satu perilaku toleran untuk kita mengerti fungsi sebagai pengguna. Hal ini, semoga suatu budaya yg diciptakan dgn teknologi dikala ini tak digunakan dgn jelek. Apalagi, hal ini diharapkan setiap pengguna utamanya dlm menjelang tahun politik.