close

Cara Hidup Meganthropus Paleojavanicus – Manusia Purba Tertua

Kehidupan manusia paling bau tanah di Indonesia ditemukan pada lembah sungai Bengawan Solo. Meganthropus Paleojavanicus  merupakan salah satu dr jenis – jenis insan purba di Indonesia yg tertua yg pernah ditemukan. Meganthropus Paleojavanicus yaitu jenis insan purba yg hidup pada dua juta hingga satu juta tahun yg lalu pada masa Paleolithikum atau masa batu besar. Nama Meganthropus Paleojavanicus yg berasal dr kata Mega (Besar), Anthropus (Manusia), Paleo (Tertua), Javanicus (Jawa). Sehingga arti kata Meganthropus Paleojavanicus yaitu ‘manusia berbadan besar yg tertua dr pulau Jawa’.

Penemuan fosil Meganthropus Paleojavanicus sangat sedikit sehingga para peneliti masih mengalami kesusahan untuk memastikan kedudukan atau posisinya di dlm urutan evolusi sejarah insan purba. Fosil Meganthropus Paleojavanicus didapatkan oleh GHR Von Koenigswald di tahun 1936 hingga 1941 di Sangiran berupa rahang bawah & rahang atas. Von Koenigswald yg berkebangsaan Belanda yakni seorang peneliti yg memang sengaja mencari peninggalan – peninggalan zaman purba terutama fosil manusia purba di Indonesia. Sekitar tahun 1934 sampai 1941 ia menyisiri area lembah sungai Bengawan Solo. Akhirnya ia sukses menemukan fosil insan purba yg kemudian diketahui dgn nama Meganthropus Paleojavanicus.

Ciri Meganthropus Paleojavanicus

Dinamakan Meganthropus Paleojavanicus karena mempunyai ciri – ciri yg berlawanan dr Pithecantropus Erectus atau Homo Erectus yg sudah didapatkan di Sangiran sebelumnya. Bentuk tubuhnya lebih besar kalau dibandingkan dgn bentuk tubuh insan purba yg lain. Ciri – ciri Meganthropus Paleojavanicus antara lain:

  1. Tulang rahangnya kuat
  2. Tidak berdagu
  3. Memiliki ciri – ciri manusia dr bentuk rahangnya namun lebih mirip simpanse
  4. Badannya besar & tegap
  5. Tulang pipi menonjol & tebal
  6. Kening pula menonjol & tebal, begitu pula belakang kepalanya
  7. Otot – ototnya besar lengan berkuasa
  8. Merupakan pemakan tanaman sebagai kuliner pokoknya
  9. Volume otaknya lebih kecil dibandingkan dengan manusia modern sehingga dianggap selaku manusia purba yg paling kolot.
  10. Tingginya sekitar 2,5 meter
  11. Cara berjalannya mirip orang utan yakni agak membungkuk dgn tangan menyangga badan.
  12. Ukuran panjang tangannya melampaui panjang kakinya

Cara Hidup Meganthropus Paleojavanicus

Manusia purba berjenis Meganthropus Paleojavanicus hidup dgn cara yg masih pimitif. Kebanyakan dr mereka yakni pemakan tumbuh – tumbuhan sehingga kerap memakan materi masakan yg tersedia di alam, dgn cara mengumpulkan kuliner atau food gathering. Makanan utamanya berasal dr tumbuhan & buah – buahan. Mereka hidup di zaman watu renta selaku insan penunjang zaman palaeolitikum & belum mempunyai kawasan tinggal tetap sehingga bergaya hidup nomaden & berkelompok.

Apabila cadangan makanan di satu tempat sudah habis, maka mereka akan berpindah ke daerah yg gres lagi dimana masih banyak terdapat persediaan masakan karena belum mengenal teknik bercocok tanam. Selain itu cara hidup Meganthropus Paleojavanicus  adalah nomaden lantaran dipengaruhi oleh pergeseran demam isu. Tatkala animo kemarau, mereka pula berpindah tempat untuk mencari sumber air yg lebih baik & mencukupi, pula karena umbi – umbian yg mulai menyusut lantaran sumber air yg kurang. Mereka biasanya berlindung di gua – gua dengan-cara berkelompok, & cuma tahu cara makan serta mencari makanan sebagai insting yg fundamental dr makhluk hidup.

Peralatan yg digunakan dlm cara hidup Meganthropus Paleojavanicus masih sederhana terlihat dr jenis artefak yg ditemukan mirip kapak genggam & kapak perimbas. Alat – alat ini masih sungguh garang karena dibentuk dgn sangat sederhana, yaitu dibentuk dgn cara membenturkan watu yg satu & yg yang lain. Pecahan yg dihasilkan dr proses tersebut yg mirip kapak akan dipakai sebagai alat untuk memotong & mengambil makanan. Ketahui pula mengenai pembagian zaman palaeozoikum & hasil kebudayaan zaman mesolitikum.

Penemuan Fosil Meganthropus Paleojavanicus

Hingga tahun 2005, taksonomi & filogeni dr spesimen meganthropus masih belum dapat dipastikan, walaupun sebagian besar jago paleoantropologis mempertimbangkan kedekatannya dgn homo erectus dlm beberapa hal. Nama Homo Palaeojavanicus & bahkan Australopithecus Palaeojavanicus pula acap kali dipakai yg mengindikasikan ketidak pastian klasifikasinya.

Beberapa inovasi fosil meganthropus disertai macam-macam artefak yg mirip mirip yg digunakan oleh Homo Erectus. Itulah sebabnya meganthropus seringkali dihubungkan dgn spesies tersebut sebagai Homo Erectus Paleojavanicus. Berikut ini yaitu beberapa penemuan fosil yg dicurigai mempunyai kaitan dgn Meganthropus Paleojavanicus  namun belum mampu diklasifikasikan lantaran kurangnya bukti:

  • Sangiran 6A / Meganthropus A

Potongan rahang besar selaku inovasi fosil di Indonesia ini ditemukan pertama kali pada tahun 1941 oleh Von Koenigswald. Tatkala ia ditangkap oleh Jepang pada perang dunia II, ia mampu mengirimkan potongan rahang tersebut pada Franz Weidenreich. Weidenreich kemudian meneliti & memberi nama spesimen tersebut pada 1945, yg merupakan rahang paling besar yg pernah ia lihat. Secara garang, rahang tersebut sama besarnya dgn gorila namun bentuknya berbeda. Setelah dikerjakan aneka macam rekonstruksi & penelitian, didapatkan bahwa kemungkinan meganthropus berskala lebih besar dibandingkan dengan gorila manapun.

  • Sangiran 8 / Meganthropus B

Ini adalah potongan tulang rahang lain yg dideskripsikan oleh Marks pada 1953. Ukuran & bentuknya nyaris sama dgn rahang bawah yg asli tetapi mengalami kerusakan parah. Tim dr Indonesia & Jepang baru – baru ini memperbaiki fosilnya, & dimengerti bahwa itu adalah tulang rahang cukup umur, & berskala lebih kecil daripada homo erectus. Tetapi spesimen tersebut mempunyai beberapa ciri unik yg sama dgn inovasi awal, & tak terdapat pada homo erectus.

  • Sangiran 33/ Meganthropus C

Potongan tulang rahang ini ditemukan pada 1979 & memiliki beberapa kesamaan biasa dgn temuan rahang bawah sebelumnya. Hubungannya dgn Meganthropus Paleojavanicus  tampaknya menjadi yg paling lemah dr penemuan – inovasi tulang rahang yg telah dijalankan sebelumnya.

  • Meganthropus D

Tulang rahang & ramus ditemukan oleh Sartono pada tahun 1993 & telah diputuskan usianya antara 1,4 hingga 0,9 juta tahun lalu. Bagian ramus mengalami kerusakan buruk, namun cuilan rahang bawahnya terlihat relatif tak mengalami kerusakan meskipun detail gigi telah hilang. Ukurannya agak lebih kecil ketimbang Meganthropus A tetapi bentuknya sangat mirip. Sartono, Tyler & Krantz menyepakati bahwa Meganthropus A & D sepertinya yaitu acuan dr spesies yg sama.

  • Sangiran 27 / Meganthropus I

Tyler menggambarkan spesimen yg didapatkan ini sebagai nyaris lengkap tetapi serpihan tengkoraknya yg hancur berada di batas ukuran meganthropus & potongan luarnya diasumsikan pada batas ukuran homo erectus. Spesimen ini dengan-cara tak biasa mempunyai dua serpihan temporal ridge atau sagittal crest, yg nyaris bertemu di bagian atas tengkorak & nuchal ridge yg menebal.

  • Sangiran 31 / Meganthropus II

Potongan tengkorak ini pertama kali dideskripsikan oleh Sartono pada tahun 1982. Analisis Tyler menciptakan kesimpulan bahwa ukurannya berada di luar batas wajar Homo Erectus. Tengkoraknya lebih dalam, berkubah lebih rendah & lebih lebar dr spesimen manapun yg sebelumnya didapatkan. Memiliki potongan sagittal crest yg pula dobel dgn kapasitas tengkorak sekitar 800 – 1000 cc. Sejak presentasinya pada AAPA meeting di tahun 1993, rekonstruksi Sangiran 31 telah diterima oleh banyak kalangan otoritas. Tidak ada homo erectus lain yg menunjukkan ciri – ciri ini.

  • Meganthropus III

Ini yaitu fosil lain yg memiliki sedikit kaitan lemah dgn meganthropus. Penemuan ini sepertinya yaitu serpihan posterior dr tengkorak hominid, berukuran 7 hingga 10 cm. Digambarkan oleh Tyler pada 1996 yg memperoleh sudut oksipital dr keseluruhan tengkorak yg diperkirakan sejauh 120 derajat, menurutnya itu adalah rentang yg dimiliki homo erectus. Tetapi interpretasinya dipertanyakan oleh para pihak berwenang yg masih meragukannya.

  Sejarah Koperasi Indonesia – Pengertian – Prinsip – Perkembangan