Oleh: Djan Noveria
Sudah bertahun-tahun lamanya karet menjadi matapencaharian penduduk asli yg tinggal di pedalaman Kalimantan Barat. Sudah sekian lamanya pula karet menjadi sumber ekonomi dlm memenuhi keperluan sekuder & primer masyarakat. Sejak pengenalan karet di tahun 1906-1907 juga, karet diharapkan dapat mengantikan peran utama tanaman niaga lainnya seperti kelapa. Hal ini diduga dapat menjadi perubahan komoditi yg berdasarkan lonjakan atau permintaan pasar yg mampu mempengaruhi perekonomian di Kalimantan Barat.
Jika diperhatikan untuk ketergantungan penduduk asli akan hasil hutan mampu dikatakan menjadi ekonomi utama mereka untuk bertahan hidup. Apa yg dibilang (Dove;1993 & Hudson 1967:305) bahwa karet merupakan sumber utama masyarakat “Kantu” (Suku Iban) yg berkaitan dgn tunai atau komoditas yg diperdagangkan, & dipakai untuk mendapatkan kebutuhan dasar seperti garam, tembakau, pakaian, & minyak tanah.
Perlahan waktu pun menempatkan karet menjadi komoditas yg utama. Dimana tahun 1910an Kalimantan Barat menjadi salah satu tingkat produksi yg baik. Sehingga pada tahun 1920an orang-orang Tionghoa yg tinggal diwilayah pedalaman menjadi salah satu penggalan selaku petani kecil, penyadap, pemilik lahan karet, hingga industry karet. Diperkiraan waktu yg sama karet menjadi tanaman niaga utama bagi orang Tionghoa, Melayu, & Dayak.
Kemudian pada tahun 1920an tumbuhan niaga ini menyebar diberbagai perbukitan pedalaman di daerah Kapuas Hulu, Melawi Hulu, & Pinoh Hulu. Meskipun penyebaran tumbuhan komoditi ini meluas hingga di wilayah hulu, namun bagi orang Tionghoa tanaman pangan tetap menjadi prioritas. Hal ini untuk mengantisipasi jatuhnya harga karet yg tak mampu diprediksi.
Oleh karena itu bagi masyarakat asli, karet mampu dibilang selaku komplemen petani dlm menyanggupi kebutuhan sehari-hari. Apa yg dikatakan (Dove:1993) bahwa karet mampu dikatakan sebagai budidaya dimana karet akan makin penting untuk menutupi kelemahan panen (padi), & dgn mengandalkan karet dapat meminimalkan kebutuhan dlm bergantung pada orang lain, pasar atau penanam modal & lainnya. Disaat boomingnya harga karet yg tinggi, banyak petani berlomba-lomba menanam flora niaga ini. Dari ulasan permulaan dimana tahun 1920an dengan-cara perlahan karet menyebar keseluruh pedalaman Kalimantan Barat.
Maka dgn adanya penyebaran bibit karet tersebut, hal ini dibutuhkan dapat memberikan akomodasi bagi penduduk terhadap harga karet yg relative stabil. Tetapi, apa yg dibilang oleh (Somers :2008), ditahun 1926 harga karet tak bertahan usang. Tanaman komoditi yg menurut harga pasar Internasional tersebut, sudah mengganti teladan petani dikala itu. Untuk menghentikan hal itu, maka, pada tahun 1934 pemerintah menghalangi pembukaan lahan karet. Kemudian, petani Tionghoa yg mempunyai lahan kira-kira 2 bidang tanah tersebut, membagi lahan tersebut untuk mananam tanaman pangan, & karet. Melihat hal tersebut, maka penguasa colonial dikala itu mulai cemas akan kondisi petani Dayak yg begitu berambisi menanam karet, yg nantinya akan mengancam sumber daya pangan mereka. Untuk mengatasi kekhwatiran tersebut, setidaknya petani harus beralih ke pertanian pangan untuk memadai keperluan hidup, atau menghasilkan karet & menanam tanaman pangan dlm waktu yg serentak.