Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), yang disahkan pada 24 September 1960 sebagai UU No. 5 Tahun 1960, bukanlah produk hukum yang lahir dalam semalam. Proses pembentukannya melibatkan serangkaian tahap panjang, penuh perjuangan, dan berbagai kepanitiaan yang berusaha merumuskan sistem agraria baru untuk Indonesia pasca-kemerdekaan. Semuanya bermula dari pembentukan Panitia Agraria Yogyakarta (PAY) pada 1948, sebuah langkah awal untuk menggantikan hukum agraria kolonial yang timpang dengan aturan yang berpihak pada rakyat.

Perjalanan menuju UUPA melibatkan berbagai tokoh, mulai dari Sarimin Reksodiharjo hingga Sadjarwo, serta dukungan kuat dari Presiden Soekarno. Artikel ini akan mengupas secara mendalam latar belakang, proses pembentukan, dan tonggak-tonggak penting yang akhirnya melahirkan UUPA sebagai landasan hukum agraria nasional. Bagaimana ceritanya? Simak ulasan berikut!
Latar Belakang dan Awal Mula Pembentukan
Pembentukan Panitia Agraria Yogyakarta (PAY)
Sejarah pembentukan UUPA dimulai pada era awal kemerdekaan, ketika Indonesia masih bergulat dengan warisan hukum kolonial seperti Agrarische Wet 1870. Untuk mengatasi ketimpangan agraria yang ditinggalkan Belanda, Presiden Soekarno membentuk Panitia Agraria Yogyakarta (PAY) pada 12 Mei 1948 melalui Surat Ketetapan Presiden No. 16. Panitia ini dipimpin oleh Sarimin Reksodiharjo dan beranggotakan pejabat kementerian, wakil organisasi petani, Serikat Buruh Perkebunan, anggota KNIP, serta pakar hukum adat.
Tujuan PAY adalah merumuskan kebijakan agraria baru yang mencerminkan semangat nasionalisme dan keadilan sosial. Namun, selama lima tahun beroperasi, PAY hanya mampu menghasilkan laporan awal yang diserahkan kepada Presiden pada 3 Februari 1950. Ketidakmampuan menghasilkan rancangan konkret, ditambah perpindahan ibu kota ke Jakarta, membuat PAY dibubarkan pada 9 Maret 1951 melalui SK Presiden No. 36 Tahun 1951.
Transisi ke Panitia Agraria Jakarta (PAJ)
Pembubaran PAY sebenarnya bukan akhir, melainkan transisi menuju Panitia Agraria Jakarta (PAJ). Dengan kepemimpinan yang tetap dipegang oleh Sarimin Reksodiharjo, PAJ melanjutkan tugas PAY untuk menyusun aturan agraria nasional. Pada 29 Maret 1955, melalui Keputusan Presiden No. 55, dibentuk Kementerian Agraria di bawah Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Kementerian ini bertugas merancang undang-undang agraria yang selaras dengan Pasal 25 ayat 1, Pasal 37 ayat 1, dan Pasal 38 ayat 3 Undang-Undang Dasar Sementara 1950.
Namun, PAJ menghadapi kendala serius. Ketika kepemimpinan beralih ke Singgih Praptodihardjo, panitia ini dianggap gagal menyusun Rancangan Undang-Undang Agraria (RUU) yang memadai, sehingga akhirnya dibubarkan.
Proses Pembentukan: Dari Panitia Soewahjo hingga Sadjarwo
Panitia Negara Urusan Agraria (Panitia Soewahjo)
Kegagalan PAJ mendorong pemerintah membentuk Panitia Negara Urusan Agraria pada 14 Januari 1956 berdasarkan Keputusan Presiden No. 1 Tahun 1956. Panitia ini dipimpin oleh Soewahjo Soemodilogo, Sekretaris Jenderal Kementerian Agraria, dengan anggota dari kementerian, pakar hukum adat, dan perwakilan organisasi petani. Menggunakan materi dari PAY dan PAJ, panitia ini berhasil menyusun RUU Agraria pada 6 Februari 1958, yang kemudian diserahkan kepada Menteri Agraria.
Rancangan dari Panitia Soewahjo, yang sering disebut Panitia Soewahjo, memiliki dua poin utama:
- Menghapus asas domein kolonial dan menggantinya dengan asas hak menguasai negara, sesuai Pasal 38 ayat 3 UUD Sementara.
- Menetapkan bahwa tanah pertanian harus diolah sendiri oleh pemiliknya (meskipun poin ini tidak diajukan ke DPR).
Setelah tugasnya selesai, panitia ini dibubarkan, menandai langkah penting menuju UUPA.
Rancangan Soenarjo: Langkah Menuju DPR
Rancangan Panitia Soewahjo kemudian disempurnakan oleh Menteri Agraria Soenarjo. Setelah revisi sistematika dan isi, rancangan ini dinamakan Rancangan Soenarjo dan diajukan ke Dewan Menteri pada 15 Maret 1958. Pada sidang ke-94 pada 1 April 1958, Dewan Menteri menyetujuinya, dan melalui Amanat Presiden No. 1307/HK pada 24 April 1958, rancangan ini dibawa ke DPR.
Pembahasan di DPR berlangsung dalam beberapa tahap. Pada 16 Desember 1958, Soenarjo menjawab pandangan umum DPR dalam sidang pleno. Namun, DPR meminta materi tambahan, sehingga dibentuk Panitia Ad Hoc dengan ketua AM Tambunan. Panitia ini mendapat masukan dari Ketua Mahkamah Agung Wirjono Prodjodikoro dan Seksi Agraria Universitas Gadjah Mada di bawah Prof. Notonagoro. Sayangnya, proses ini terhenti ketika Dekrit Presiden 1 Juli 1959 mengembalikan UUD 1945, dan Rancangan Soenarjo ditarik pada 23 Mei 1960 melalui Surat Pejabat Presiden No. 1532/HK/1960 karena dianggap tidak sesuai dengan UUD 1945.
Rancangan Sadjarwo: Finalisasi dan Pengesahan
Meski Rancangan Soenarjo ditarik, semangat reforma agraria tidak padam. Menteri Agraria Sadjarwo Djarnegara mengadaptasi rancangan tersebut ke UUD 1945 dan Manifesto Politik Indonesia, khususnya pidato Soekarno pada 17 Agustus 1959. Rancangan baru ini, dikenal sebagai Rancangan Sadjarwo, disetujui oleh Kabinet Inti pada 22 Juli 1960 dan Kabinet Pleno pada 1 Agustus 1960. Melalui Amanat Presiden No. 2584/HK/60 pada tanggal yang sama, rancangan ini diajukan ke DPR Gotong Royong (DPR-GR).
Pembahasan di DPR-GR meliputi pemeriksaan pendahuluan, sidang komisi tertutup, pandangan umum, dan sidang pleno. Pada 14 September 1960, DPR-GR secara bulat menerima rancangan ini, didukung oleh semua golongan—Islam, Nasionalis, Komunis, dan Karya. Akhirnya, pada 24 September 1960, Presiden Soekarno mengesahkan Rancangan Sadjarwo menjadi UUPA (UU No. 5 Tahun 1960), bertepatan dengan Hari Tani Nasional.
Isi dan Signifikansi UUPA
UUPA menghapus sistem agraria kolonial dan menggantinya dengan hukum nasional yang berlandaskan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945—“Bumi dan air dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat.” Dengan 70 pasal dalam 4 bagian dan 5 lampiran, UUPA mengatur hak atas tanah, reforma agraria, dan pengakuan hukum adat seperti hak ulayat. Meskipun terbilang singkat, UUPA tetap menjadi dasar hukum tertinggi agraria di Indonesia hingga kini.
Berikut adalah tabel sederhana yang merangkum kronologi sejarah pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) berdasarkan informasi historis yang relevan. Tabel ini dirancang untuk memberikan gambaran singkat, jelas, dan mudah dipahami tentang peristiwa-peristiwa penting yang membentuk UUPA.
Tabel Kronologi Sejarah Pembentukan UUPA
Tahun | Peristiwa | Keterangan |
---|---|---|
1870 | Agrarische Wet diberlakukan oleh Belanda | Hukum agraria kolonial memperkenalkan prinsip domein verklaring, tanah dikuasai perusahaan Eropa. |
1945 | Proklamasi Kemerdekaan Indonesia | Hukum agraria Belanda masih berlaku, ketimpangan tanah tetap ada pasca-kemerdekaan. |
1945 | Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dirumuskan | Dasar konstitusional: tanah dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat. |
1950-an | Ketimpangan agraria semakin terlihat | Petani kecil menuntut reforma agraria akibat monopoli tanah oleh elite dan perusahaan asing. |
1958 | Awal penyusunan draf UUPA oleh Sadjarwo | Menteri Agraria Sadjarwo membentuk tim untuk merancang hukum agraria nasional. |
1959 | Musjawarah Besar Tani (Mubes Tani) digelar | Ribuan petani menuntut pembagian tanah yang adil, meningkatkan tekanan pada pemerintah. |
1 Sept 1960 | Pidato Sadjarwo di DPR | Sadjarwo menjelaskan urgensi UUPA untuk mengakhiri hukum kolonial dan ketimpangan agraria. |
24 Sept 1960 | Pengesahan UUPA sebagai UU No. 5 Tahun 1960 | UUPA resmi disahkan, bertepatan dengan Hari Tani Nasional. |
1961-1965 | Pelaksanaan Landreform | Pembagian tanah kepada petani kecil dimulai, meskipun terhambat konflik dan birokrasi. |
1965 | Landreform terhenti | Peristiwa G30S/PKI dan transisi ke Orde Baru menghentikan reforma agraria. |
1996 | Peraturan turunan diterbitkan (PP No. 40/1996 & PP No. 41/1996) | Mengatur HGU, HGB, dan kepemilikan tanah asing untuk mendukung UUPA. |
Penjelasan Singkat
- Era Kolonial (1870): Titik awal ketimpangan agraria yang menjadi latar belakang UUPA.
- Pasca-Kemerdekaan (1945-1950-an): Transisi menuju hukum nasional dengan tekanan dari petani.
- Proses Pembentukan (1958-1960): Langkah konkret pemerintah Soekarno dan Sadjarwo hingga pengesahan.
- Pelaksanaan (1961-1996): Upaya implementasi dan tantangan yang dihadapi UUPA.
Tabel ini dapat disisipkan dalam artikel untuk memberikan ringkasan visual yang mendukung narasi utama. Jika Anda ingin menambahkan detail atau kolom lain (misalnya, tokoh kunci atau dampak), silakan beri tahu saya!
Lanjutan Pembahasan Sejarah Pembentukan UUPA: Dari Hukum Kolonial hingga Landasan Agraria Nasional
Bagaimana sebuah undang-undang mampu mengubah nasib petani kecil yang selama berabad-abad terjepit dalam cengkeraman sistem kolonial? Jawabannya terletak pada Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), yang disahkan pada tanggal 24 September 1960 sebagai UU No. 5 Tahun 1960. UUPA bukan sekadar regulasi hukum; ia adalah simbol perjuangan bangsa Indonesia untuk merebut kembali kedaulatan atas tanahnya dari hukum agraria kolonial yang eksploitatif. Momentum pengesahan ini bahkan diabadikan sebagai Hari Tani Nasional, menandakan betapa eratnya hubungan antara UUPA dan semangat keadilan sosial bagi rakyat kecil.
UUPA lahir dari konteks historis yang penuh gejolak: pasca-kemerdekaan, ketika Indonesia berusaha membangun identitas nasional di tengah warisan ketimpangan agraria. Dengan landasan konstitusional dari Pasal 33 ayat 3 UUD 1945—“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”—UUPA menjadi tonggak penting dalam sejarah hukum tanah nasional. Artikel ini akan membawa Anda menelusuri latar belakang, proses pembentukan, isi, dampak, hingga relevansi UUPA di era modern. Mari kita mulai perjalanan ini.
Latar Belakang Sejarah Pembentukan UUPA
Hukum Agraria Kolonial: Warisan Ketimpangan
Sebelum UUPA hadir, hukum agraria di Indonesia berada di bawah bayang-bayang sistem kolonial Belanda yang sangat tidak berpihak pada rakyat pribumi. Salah satu pilar utama hukum agraria kolonial adalah Agrarische Wet 1870, sebuah regulasi yang memberikan hak istimewa kepada perusahaan swasta Eropa untuk menguasai tanah dalam skala besar. Melalui prinsip domein verklaring, pemerintah kolonial menyatakan bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya oleh pribumi adalah milik negara—atau lebih tepatnya, milik Belanda. Akibatnya, petani pribumi kehilangan hak atas tanah leluhur mereka, dipaksa menjadi buruh di perkebunan besar seperti tebu, kopi, dan karet.
Sistem ini menciptakan ketimpangan yang ekstrem. Data historis menunjukkan bahwa pada awal abad ke-20, lebih dari 70% tanah produktif di Jawa dikuasai oleh perusahaan Belanda, sementara petani lokal hanya menjadi penyewa atau buruh dengan upah minim. Ketidakadilan ini memicu berbagai perlawanan, seperti pemberontakan petani di Banten pada 1888, namun semuanya dipadamkan dengan kekerasan oleh kolonial.
Ketimpangan Pasca-Kemerdekaan: Panggilan untuk Perubahan
Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, warisan kolonial tidak serta merta hilang. Hukum agraria Belanda masih berlaku sebagai hukum positif, meskipun bertentangan dengan semangat kemerdekaan. Ketimpangan kepemilikan tanah tetap ada: sebagian besar tanah subur dikuasai oleh elite feodal atau perusahaan asing yang tersisa, sementara petani kecil hidup dalam kemiskinan. Menurut catatan sejarah, pada akhir 1940-an, lebih dari 60% petani di Jawa tidak memiliki tanah sendiri dan bergantung pada sistem sewa yang memberatkan.
Di tengah situasi ini, semangat nasionalisme mulai membara. Pemerintah Indonesia di bawah Presiden Soekarno menyadari bahwa reformasi agraria adalah kunci untuk mencapai kemakmuran rakyat, sesuai dengan janji kemerdekaan. Gerakan petani, seperti yang dipelopori oleh organisasi Barisan Tani Indonesia (BTI), juga semakin vokal menuntut pembagian tanah yang adil. Ini menjadi titik awal bagi lahirnya UUPA.
Dasar Konstitusional: Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945
UUPA tidak lahir dari ruang hampa. Ia berpijak pada dua landasan ideologis utama: Pancasila dan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Dalam sila kelima Pancasila—“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”—terkandung semangat untuk menghapus ketimpangan sosial-ekonomi, termasuk di bidang agraria. Sementara itu, Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menegaskan bahwa tanah adalah aset negara yang harus dikelola untuk kepentingan rakyat, bukan untuk segelintir elite atau asing.
Kedua landasan ini menjadi pijakan filosofis bagi UUPA. Dalam pidato-pidato awalnya, Soekarno sering menekankan bahwa tanah adalah “ibu pertiwi” yang harus melahirkan kesejahteraan bagi anak-anak bangsa, bukan menjadi alat penindasan seperti di era kolonial.
Proses Pembentukan UUPA
Awal Rancangan: Visi Soekarno dan Sadjarwo
Proses pembentukan UUPA dimulai dari visi besar Presiden Soekarno untuk menciptakan sistem agraria yang berkeadilan. Pada akhir 1950-an, Soekarno menunjuk Sadjarwo Djarnegara, Menteri Agraria pertama Indonesia, untuk memimpin penyusunan undang-undang ini. Sadjarwo, seorang nasionalis yang memahami penderitaan petani, menjadi tokoh kunci dalam merancang UUPA. Ia membentuk tim khusus yang terdiri dari ahli hukum, ekonom, dan perwakilan kelompok tani untuk menyusun draf awal.
Pada 1958, pemerintah mulai menggodok konsep dasar UUPA. Salah satu poin penting dalam diskusi awal adalah penghapusan hukum agraria kolonial dan penggantiannya dengan sistem yang berbasis pada hukum adat serta keadilan sosial. Proses ini tidak mudah, karena ada tekanan dari berbagai pihak, termasuk elite feodal yang khawatir kehilangan hak istimewa mereka.
Kronologi Legislasi: Dari Rapat hingga Pengesahan
Proses legislasi UUPA mencapai puncaknya pada 1960. Pada 1 September 1960, Sadjarwo menyampaikan pidato bersejarah di depan DPR, menjelaskan urgensi UUPA untuk mengakhiri warisan kolonial dan menciptakan kedaulatan tanah nasional. Dalam pidato itu, ia mengutip data bahwa lebih dari 50% petani di Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan akibat sistem agraria yang timpang.
Setelah melalui berbagai rapat komisi dan revisi, draf UUPA akhirnya disetujui oleh DPR. Pada 24 September 1960, UUPA resmi disahkan sebagai UU No. 5 Tahun 1960, bertepatan dengan peringatan Hari Tani Nasional. Pengesahan ini disambut dengan sukacita oleh kelompok petani, yang melihatnya sebagai kemenangan atas penindasan yang telah berlangsung berabad-abad.
Peran Kunci: Soekarno, Sadjarwo, dan Kelompok Tani
Selain Soekarno dan Sadjarwo, kelompok tani juga memainkan peran besar dalam pembentukan UUPA. Organisasi seperti Musjawarah Besar Tani (Mubes Tani) menjadi suara rakyat yang mendorong pemerintah untuk bertindak cepat. Dalam Mubes Tani 1959, ribuan petani berkumpul di Jakarta untuk menuntut reforma agraria, dan tekanan ini mempercepat proses legislasi. Soekarno, dengan gaya orasinya yang khas, sering kali memotivasi rakyat dengan kalimat seperti, “Tanah ini milik kita bersama, bukan milik segelintir tuan tanah!”
Isi dan Tujuan UUPA
Pasal-Pasal Utama: Fondasi Hukum Agraria
UUPA terdiri dari 62 pasal yang mengatur berbagai aspek kepemilikan dan penggunaan tanah. Beberapa pasal utama yang menjadi inti UUPA adalah:
- Pasal 1 ayat 3: “Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa adalah hubungan yang kekal.” Pasal ini menegaskan bahwa tanah adalah aset nasional yang tidak boleh dikuasai oleh pihak asing.
- Pasal 2: Negara memiliki hak menguasai tanah untuk kepentingan rakyat, termasuk melalui reforma agraria.
- Pasal 10: Pemilik tanah wajib mengelola tanahnya secara aktif, mencegah monopoli atau penelantaran tanah.
Pasal-pasal ini mencerminkan semangat untuk mengakhiri sistem feodal dan kapitalis yang merugikan petani kecil.
Tujuan Utama: Keadilan dan Kemakmuran
Dalam memori penjelasan UUPA, disebutkan bahwa tujuan utama undang-undang ini adalah:
- Keadilan Sosial: Membagi tanah secara merata kepada petani kecil.
- Kemakmuran Rakyat: Meningkatkan produktivitas tanah untuk mendukung ekonomi nasional.
- Fungsi Sosial Tanah: Menjamin bahwa tanah tidak hanya menjadi alat spekulasi, tetapi juga memiliki manfaat sosial.
Sadjarwo pernah berkata, “UUPA adalah alat untuk mengembalikan tanah kepada rakyat, bukan kepada tuan tanah atau kapitalis.”
Hubungan dengan Hukum Adat: Pengakuan Hak Ulayat
Salah satu keunikan UUPA adalah pengakuan terhadap hak ulayat, yaitu hak masyarakat adat atas tanah warisan leluhur mereka. Pasal 3 UUPA menyatakan bahwa hak ulayat tetap dihormati selama tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Ini adalah langkah progresif yang mencoba menyeimbangkan hukum modern dengan tradisi lokal, meskipun pelaksanaannya sering kali menuai tantangan.
Dampak dan Pelaksanaan UUPA
Landreform: Membagi Tanah untuk Petani
Salah satu dampak langsung UUPA adalah pelaksanaan landreform pada 1960-an. Pemerintah membagi tanah-tanah bekas perkebunan kolonial dan milik tuan tanah kepada petani kecil. Menurut data resmi, hingga 1965, sekitar 1,5 juta hektare tanah telah didistribusikan kepada lebih dari 500.000 keluarga petani. Ini adalah langkah besar menuju keadilan agraria, meskipun tidak sepenuhnya berhasil karena keterbatasan birokrasi.
Tantangan Implementasi: Konflik dan Hambatan
Namun, pelaksanaan UUPA tidak berjalan mulus. Beberapa tantangan utama meliputi:
- Konflik Tanah: Banyak tuan tanah menolak menyerahkan tanah mereka, memicu sengketa dengan petani.
- Birokrasi Lemah: Kurangnya koordinasi antarinstansi menyulitkan pendataan tanah.
- Monopoli Swasta: Pada era Orde Baru, kebijakan ekonomi liberal memungkinkan perusahaan besar menguasai tanah kembali, mengabaikan semangat UUPA.
Puncak tantangan ini terlihat pada 1965, ketika konflik agraria memicu kekerasan politik yang berujung pada peristiwa G30S/PKI. Setelah itu, landreform praktis terhenti.
Peraturan Turunan: Menyempurnakan UUPA
Untuk mendukung UUPA, pemerintah menerbitkan beberapa peraturan turunan, seperti:
- PP No. 40/1996: Mengatur Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB).
- PP No. 41/1996: Membatasi kepemilikan tanah oleh pihak asing.
Meski demikian, peraturan ini sering kali dianggap tidak cukup kuat untuk melindungi petani kecil dari ekspansi korporasi.
Relevansi UUPA di Era Modern
Isu Kontemporer: Konflik Agraria dan Urbanisasi
Hingga Maret 2025, UUPA tetap menjadi landasan hukum agraria di Indonesia, tetapi tantangannya semakin kompleks. Konflik agraria masih marak terjadi, terutama antara masyarakat adat dan perusahaan sawit atau pertambangan. Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), pada 2023 saja, ada lebih dari 200 kasus sengketa tanah yang melibatkan ribuan hektare lahan. Urbanisasi juga menjadi ancaman, karena tanah pertanian terus menyusut akibat pembangunan kota.
Kritik dan Pembaruan: Perlukah Revisi?
Banyak pihak mengkritik bahwa UUPA sudah tidak relevan dengan dinamika modern. Misalnya, UUPA tidak mengatur secara spesifik tentang hak atas tanah di kawasan perkotaan atau perlindungan terhadap masyarakat adat di era globalisasi. Beberapa akademisi menyarankan revisi UUPA untuk memperkuat reforma agraria dan menyesuaikan dengan tantangan zaman, seperti perubahan iklim dan kebutuhan pangan.
Studi Kasus: Sengketa Tanah Terkini
Sebagai contoh, kasus sengketa tanah di Kalimantan Barat antara masyarakat Dayak dan perusahaan sawit pada 2022 menunjukkan kelemahan UUPA dalam melindungi hak ulayat. Meskipun UUPA mengakui hak adat, implementasinya sering kali kalah oleh kepentingan bisnis yang didukung regulasi sektoral.
FAQ tentang UUPA
- Kapan UUPA disahkan?
UUPA disahkan pada 24 September 1960 sebagai UU No. 5 Tahun 1960. - Apa tujuan utama UUPA?
Tujuannya adalah menciptakan keadilan sosial, kemakmuran rakyat, dan fungsi sosial tanah. - Mengapa UUPA masih relevan?
Karena ia menjadi dasar hukum agraria nasional, meskipun perlu pembaruan untuk menghadapi isu modern.
Kesimpulan
UUPA adalah bukti nyata perjuangan bangsa Indonesia untuk mengakhiri ketimpangan agraria warisan kolonial. Dari latar belakang hukum Belanda yang eksploitatif, proses pembentukan yang penuh semangat nasionalisme, hingga dampaknya yang mengubah kehidupan petani, UUPA telah menjadi fondasi penting dalam sistem hukum tanah nasional. Namun, tantangan pelaksanaan dan relevansi di era modern menunjukkan bahwa perjalanan menuju keadilan agraria belum selesai.
Hingga hari ini, UUPA tetap menjadi cermin visi Soekarno dan Sadjarwo: tanah untuk rakyat, bukan untuk segelintir elite. Ingin tahu lebih banyak tentang bagaimana reforma agraria terus diperjuangkan? Baca artikel kami berikutnya untuk menyelami isu agraria kontemporer di Indonesia.
Sejarah pembentukan UUPA adalah perjalanan panjang dari PAY pada 1948 hingga pengesahan pada 1960. Melalui berbagai kepanitiaan—dari Sarimin, Soewahjo, Soenarjo, hingga Sadjarwo—UUPA lahir sebagai wujud perjuangan melawan ketimpangan agraria kolonial. Dengan dukungan Soekarno dan semangat rakyat, UUPA menjadi tonggak hukum yang relevan hingga hari ini.