Perjanjian Jepara ialah perjanjian persetujuan yg dijalankan oleh Sultan Amangkurat II dr Kerajaan Mataram dgn pihak VOC dgn tujuan untuk membasmi pemberontakan yg dikerjakan oleh Raden Trunojoyo. Raden Trunojoyo yg bergelar Panembahan Maduretno lahir di Madura, tahun 1649 & wafat di Payak, Bantul pada 2 Januari 1680 yakni seorang aristokrat Madura yg memberontak terhadap kekuasaan Amangkurat I & Amangkurat II dr Mataram. Pemberontakan tersebut dikerjakan alasannya adalah pemerintahan yg dipimpin oleh mereka dianggap terlalu keras & berpihak pada VOC. Sultan Amangkurat I & II terutama tak disukai rakyat sebab sifatnya yg kejam, sewenang – wenang & sangat dekat dgn VOC. Sebagai akhir dr ketidakpuasan terhadap pemerintahan tersebut, banyak ulama & santri yg ditangkap serta dihukum mati di Mataram. Hal – hal itulah yg menciptakan Trunojoyo memberontak pada kepemimpinan Sultan Amangkurat I & II.
Latar Belakang Penaklukan Madura
Pulau Madura pada tahun 1924 ditaklukkan oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613 – 1645), raja terbesar Mataram Islam yg merupakan keturunan dr silsilah Kerajaan Mataram Kuno. Selain Madura & Surabaya, dlm sejarah kerajaan Mataram kuno yg pusatnya di Yogyakarta kemudian menaklukkan pesisir timur Pulau Jawa termasuk Tuban & Gresik. Sultan Agung mempesona Raden Prasena, salah seorang ningrat Madura. Karena kelakuan & ketampanannya, Raden Prasena disukai oleh Sultan Agung sehingga dijadikan menantu & penguasa wilayah Madura Barat dibawah Kerajaan Mataram. Beliau diberi gelar Panembahan Cakraningrat atau Cakraningrat I.
Akan tetapi ia lebih banyak berada di Mataram ketimbang di Madura, sehingga anaknya yg berasal dr selir bernama Raden Demang Melayakusuma yg menjalankan pemerintahan di Madura Barat. Keduanya yakni panglima perang bagi Mataram. Setelah Sultan Agung wafat, Amangkurat I memegang pemerintahan di Mataram. Susuhunan Prabu Amangkurat Agung atau Raden Mas Sayidin memiliki gaya yg berlainan dgn ayahnya yg selalu melawan Belanda. Ia justru mendekati Belanda untuk melindungi kepentingannya.
Sifatnya yg sewenang – wenang membuat banyak pihak yg merasa tak puas & bermaksud memberontak, termasuk Pangeran Alit, adiknya yg memberontak pada 1648. Cakraningrat & Demang Melayakusuma ditugaskan untuk memberantas pemberontakan Pangeran Alit tetapi tewas dlm tugas. Pangeran Alit mengalami kekalahan & ribuan ulama pendukungnya dibantai oleh Amangkurat I. Pemerintahan Madura kemudian beralih pada Raden Undagan, adik dr Melayakusuma dgn gelar Panembahan Cakraningrat II, yg pula lebih sering berada di Mataram.
Beberapa tahun kemudian, Pangeran Adipati Anom, putra mahkota Amangkurat I pula tak puas & ingin memberontak sebab mendengar bahwa statusnya sebagai putra mahkota Mataram akan dicabut & digantikan ke anak lelaki Amangkurat I yg lain. Akan tetapi Adipati Anom tak berani melakukannya dengan-cara terang – terangan. Ia membisu – membisu meminta derma dr Raden Kajoran atau Panembahan Rama, seorang ulama & kerabat Mataram yg memperkenalkan Trunojoyo menantunya untuk menjadi alat pemberontakan bagi Adipati Anom. Trunojoyo masih termasuk keturunan Sultan Agung, cucu dr Raden Prasena atau Cakraningrat I. Dengan kata lain, ia adalah anak Demang Melayakusuma dr istri selirnya. Silsilah tersebut membuatnya saudara seayah lain ibu dr Cakraningrat II.
Dengan cepat Trunojoyo berhasil menghimpun pasukan dr rakyat Madura yg tak menggemari penjajahan oleh Mataram. Kesediaannya melakukan pemberontakan berasal dr ketidak sukaannya akan penguasaan Madura oleh Mataram yg dianggapnya suatu bentuk penjajahan. Pemberontakan berawal dgn menculik Cakraningrat II & mengasingkannya ke Lodaya, Kediri. Pada tahun 1674 Trunojoyo berhasil merebut kekuasaan Madura & menyatakan diri sebagai Raja Merdeka di Madura Barat, sejajar dgn para penguasa Mataram.
Pasukan Trunojoyo pula bekeja sama dgn Karaeng Galesong yg memimpin pelarian rakyat Makassar penunjang Sultan Hasanudin yg telah kalah dr VOC. Trunojoyo bahkan menikahkan putrinya dgn Karaeng Galesong untuk mempererat hubungan kerjasama tersebut. Ia pula didukung Panembahan Giri dr Surabaya yg tak menyepakati cara pemerintahan Amangkurat I perihal langkah-langkah menghukum para ulama yg menentangnya. Pasukan gabungan tersebut berhasil mendesak pasukan Amangkurat I, namun kemenangan – kemenangan yg didapatkan menciptakan Trunojoyo bertikai dgn Adipati Anom alasannya tak bersedia menyerahkan kepemimpinannya.
Bahkan pasukan Trunojoyo berhasil mengalahkan pasukan Adipati Anom yg berganti mendukung ayahnya di bulan Oktober 1676. Penyerbuan Plered yg pada dikala itu menjadi ibu kota Mataram kemudian dijalankan oleh Trunojoyo sehingga Amangkurat I melarikan diri & meninggal di Tegal. Beliau dimakamkan di Tegal Arum & kemudian pula dikenal dgn julukan Sunan Tegal Arum. Setelah itu Adipati Anom dinobatkan sebagai Amangkurat II. Ketahui pula tentang sejarah VOC Belanda , sejarah berdirinya VOC & sejarah perang Banten melawan VOC.
Perjanjian Amangkurat II & Belanda
Setelah menjadi Amangkurat II, Adipati Anom menandatangani perjanjian dgn VOC yg dikenal dgn nama Perjanjian Jepara pada September 1977. Perjanjian Jepara ini membuat Amangkurat II harus membayarnya dgn harga yg mahal, yaitu dgn merelakan sebagian wilayahnya pada VOC. Perjanjian Jepara berisi kesepakatan antara Amangkurat II & VOC untuk menyerahkan wilayah di Pantai Utara Jawa pada VOC apabila pemberontakan Trunojoyo dihentikan oleh VOC.
Itu artinya bahwa wilayah Pantai Utara Jawa yg meliputi Karawang sampai ujung timur Pulau Jawa digunakan selaku jaminan untuk mengeluarkan uang dlm Perjanjian Jepara pada Belanda yg menolong memberantas pemberontakan Trunojoyo. Sebelum perjanjian Jepara ditandatangani, VOC pernah memperlihatkan perdamaian dengan-cara pribadi pada Trunojoyo di Benteng VOC Danareja tetapi usulan tersebut ditolak.
Sementara itu Trunojoyo yg sudah mendirikan pemerintahan sendiri dgn gelar Panembahan Maduretno telah menguasai hampir seluruh wilayah pesisir Jawa, sedangkan di wilayah pedalaman masih banyak rakyat yg setia pada Mataram. VOC kemudian memusatkan kekuatan untuk mengalahkan Trunojoyo di bawah pimpinan Jendral Cornelis Speelman. Pasukan Bugis yg dipimpin Aru Palaka dr Bone dikerahkan oleh VOC untuk melawan Karaeng Galesong, & pasukan Maluku dipimpin Kapitan Jonker diarahkan untuk menyerang di darat dengan-cara besar – besaran bersama pasukan Amangkurat II.
Spellman bersama pasukan VOC menyerang Surabaya pada April 1677 & berhasil menguasainya. Dengan pasukan gabungan sejumlah 1500 orang, ia berhasil mendesak Trunojoyo sehingga bertahap benteng Trunojoyo berhasil dikuasai VOC. Pada akhirnya Trunojoyo berhasil dikepung & mengalah di lereng Gunung Kelud pada 27 Desember 1679 pada Kapitan Jonker. Ia kemudian diserahkan pada Amangkurat II di Payak,Bantul. Amangkurat II menghukum mati Trunojoyo pada 2 Januari 1680, Trunojoyo dihukum mati oleh Amangkurat II.
Setelah akhir hayat Trunojoyo, Keraton Plered yg sudah hancur dipindahkan ke Kartasura. Cakraningrat II pula kembali diangkat selaku penguasa di Madura oleh VOC. Perjanjian Jepara memang menciptakan Amangkurat II berhasil memadamkan pemberontakan Trunojoyo, tetapi harga yg harus dibayarnya sangat besar. Sebagai jadinya, Mataram berutang biaya pertempuran yg sangat besar pada VOC & mesti menyerahkan wilayah pesisir utara Pulau Jawa sebagai gantinya sesuai dgn persetujuan dlm Perjanjian Jepara. Sejak ketika itu Mataram & Madura berada di bawah pengaruh VOC dlm penentuan suksesi tahta & kekuasaan. Hal yg sama pula terjadi dlm sejarah kerajaan Pajajaran & sejarah kerajaan Banten.