Sebetulnya, apa konsep kemanusiaan & perdamian bagi Orang Indonesia. Hal ini terperinci menjadi pertanyaan tatkala berkerja dgn perbedaan budaya & agama. Jelas sekali tatkala perbedaan budaya penduduk suku, & agama menjadi tembok bagi setiap yg berlindung pada pendirinya.
Upaya yg sesungguhnya di ketahui bagaimana Orang jawa berteriak dgn Orang Tionghoa tatkala bekerja bareng mereka (bukan orang politik) akan berbeda jauh bagaimana metode pekerjaan & konflik yg mereka ciptakan dlm ruang kerja, rasa tak disukai dgn peta pertentangan pada penduduk Orang Melayu, di Kalimantan Barat.
Perlu dipahami bagaimana, mereka berasimilasi untuk kepetingan ekonomi politik pada penduduk kelas bawah. Yang perlu dipahami dlm hal ini memang berada pada keadaan sosial budaya & masyarakat yg kerabkali menjadi bahan dr problem.
Karakteristik masyarakat jawa dikenal dgn pengeluhan mereka terhadap berbagai apa yg diperoleh, tatkala mereka mendapatkan terusan ekonomi politik di masyarakat, hal ini terperinci bagaimana prilaku mereka terhadap kebudayaan lain.
Ciri & pertentangan yg diciptakan oleh mereka, sudah dipahami dgn berbagai ragam budaya & orang yg mereka terima 2012. Berkomunikasi dgn mereka, sama saja meskipun persoalan sejarah masa lalu menganggap mereka teman ( Tionghoa & Daya ), pastinya tak memiliki dampak pada sistem dinamika budaya di penduduk .
Kebiadaban mereka dlm mengakses sumber ekonomi & politik di penduduk , baik itu melalui kendaraan politik ( Partai Politik ), jelasnya hal ini terjadi di Kalimantan Barat, & bagaimana mereka membuat pertentangan (sebuah pengalaman berkantor pada lembaga observasi).
Mereka menggunakan tata cara pemfokusan, suatu dasar dr manusia mereka baik itu orang Jawa hendaknya sudah mengasimilasi terhadap suku mereka baik itu Orang Jawa & Orang Daya (Birokrasi). Jelas sekali bagaimana pertumbuhan & ekonomi politik mereka kepada akses dinamika budaya yg mereka miliki.
Konflik berjalan, dgn keterlibatan orang Batak & orang Melayu, hal ini jelas dgn dinamika budaya, & bertahan hidup mereka di pedesaan & perkotaan, agama mereka (Islam, Katolik & Kristen) tetapi perbuatan mereka, tak memberikan adanya nilai & budaya yg agamis ditengah masalah ideologi yg diangkat.
Mereka menyerang dengan-cara kolektif, baik itu di media umum, handphone & yang lain hanya bagaimana pihak yg memiliki wewenang untuk mengatasipasi prilaku & karakteristik belum dewasa mereka. Hal ini terperinci, dgn kemajuan teknologi budaya barat yg diciptakan, & Indonesia cuma mampu membelinya dlm arti konsumtif.
Konflik yg dibuat tentunya bercermin pada diri mereka sebagai manusia, bagaimana mereka hidup & tinggal, serta berlindung dibalik tembok agama. Ketika berada di Negara abnormal, mereka ingin mempunyai penghasilan yg lebih baik, di Negaranya sendiri.
Hal ini tak dapat disangkal dgn hasil yg mereka capai, maka dr itu berbagai konsumsi masakan yg hendak dipahami dgn keperluan & kepentingan politik memang berada pada persoalan ekonomi politik yg dipraktekkan di Indonesia, & bagi mereka yg tinggal Indonesia.
Sementara, pada dinamika pertentangan yg diterapkan oleh mereka, & bagaimana drama kehidupan yg mereka persiapkan sedemikian baiknya, guna memanggil simpati elit politik, hal ini jelas sebuah pengalaman, dgn menyaksikan cara hidup orang Indonesia, yg berbudaya itu. Suatu pemikiran dr Orang tua, baik itu pada anak-anak mereka, pada masyarakat Daya & Jawa, Serta Batak sudah dilihat dlm lingkungan terkecil suatu penduduk .