Dalam sebuah masyarakat Tionghoa non kristiani mulanya, tatkala berkuasa pada ekonomi & budaya, terlihat dgn adanya moralitas & etika sebelumnya terjadi pada tahun 1980an. Hal ini menjelaskan adanya penguasa ekonomi, materil, & setiap perkampungan & agama kristiani dlm sistem pendidikan & kesehatan baik itu dengan-cara birokrasi & non birokrasi.
Kehidupan masyarakat Tionghoa Hulu, dapat dipelajari dgn moralitas & etika tatkala mereka hidup bergantung dgn duit (budak uang), alat medis, transportasi, & yang lain sebagai awal dr peradaban mereka yg hidup di perkampungan tradisional.
Ketika menyadari bagaimana keganasaan penduduk Tionghoa dlm tata cara ekonomi, & politik akan tampak dgn pembentukan manusiannya, di Pontianak – Jakarta. Masa suatu pendalaman spritualitas menjelaskan moralitas mereka tata cara seksualitas, spritualitas, & pendidikan.
Hal ini tampak dgn adanya moralitas yg tiba berurbansiasi khususnya masyarakat Tionghoa Pontianak – Kapuas Hulu, Jakarta dgn metode seksualitas & kesehatan yg di bentuk dgn ekonomi rumah tangga, & pertokoan serta perdagangan ketika ini.
Pada tahun itu juga, dgn moralitas mereka yg berani bertelanjang dihadapan saja, contohnya dgn hidup menurut apa yg di tinggal, umumnya orang Jawa yg bahagia baik dlm pergaulan & lingkungan.
Hal ini sudah menjadi awal untuk menjadi peran spritualitas di Pontianak selaku misi untuk bertahan hidup, dlm pembangunan pada permulaan kehidupan MRPD Pancasila (Allah Adalah Kasih) lebih pada hilir pedesaan.
Awal mula tatkala orang Tionghoa tiba untuk beribadah, melakukan pekerjaan di Ibukota Jakarta & kepentingan ekonomi duit, maka ketidaksenangan mereka terhadap rumah militer, kelas sosial, ekonomi, & perdagangan serta konsumsi pada tahun 2008 Rektor Untan. Tetapi tak memiliki malu memakai buku, transportasi, & lainnya serta teknologi di Indonesia, numpang hidup & sekolah.
Suatu catatan menarik bagaimana orang Indonesia bertahan hidup pada konsumsi di meja maka, dgn penduduk suku batak – Jawa, & Tionghoa, pastinya dgn masuk agama Kristen, & Nasrani serta jika tak ketahui bagaimana karakteristik mereka maka hidup diperkampungan, atau semena – mena, sering terjadi & mampu dikenali.
Biasanya desain spritualitas menjadi awal keberadaan mereka peada metode konsumsi, penderitaan mereka terhadap saksi palsu, menjadi penyakit di penduduk & agama hingga dikala ini. Teknologi banyak dipakai orang khususnya pada rumah tangga, kebetulan kemarin, pada tanggal 4 Agustus 2022, menghadiri pentahbisan diakon di Keuskupan Agung Pontianank Mgr. Agustinus Agus.
Tentunya turut merayakan kemarin, dgn latar belakang pendidikan diakon, serta kehidupan dogma mereka terlampir tak begitu rincian, cuma pada dikala ini Uskup tak memanggil cuma datang sendiri (diakon), pada khotbahnya mengatakan bahwa ada yg mengirim pesan atau inbox pada gambar tak semestinya, atau menyimpang arah seksualitas (pornografi).
Hal ini mirip ini penting menjadi permulaan dr suatu pengalaman perjalanan imamat seorang Uskup Agung di Pontianak, dapat menjelaskan hal tersebut dgn baik. Maka, akan dipahami banyak sekali awal dr kehidupan sosial & budaya di masyarakat Pontianak dlm suatu perkampungan & ekonomi dikala ini 1999 – 2022.
Biasanya curhat kebutuhan, kehidupan sehari – hari & lainnya akan sangat menawan dlm kehidupan kristiani, kebrutalan dlm melakukan pekerjaan , serta birokrasi (Kristen & non kristen) – pemda saat ini, ditengah persaingan kelas sosial, serta info sosial politik, atau yg pengalamanya masih minim.
Konflik agama & etnik, terkadang dibuat pada orang yg ingin berkuasa dengan-cara ekonomi barat – pribumi, politik, organisasi, kesehatan & pendidikan di Indonesia, itu adalah suatu ambisi ingin berkuasa, bagaimana spritualitas melihatnya, & bagaimana mereka melakukan pekerjaan . Kebuasaan mereka akan tampak di Jakarta, & pedesaan pada tata cara ekonomi & kelas pekerja, & keperluan hidup.