close

Teori Jean Baudrillard : Era Simulacra dan Hiperrealitas terhadap Pemberitaan Covid-19 di Indonesia

Itulah periode simulacra atau simulasi, yg dibuat oleh banyak sekali kekerabatan tanda & arahan dengan-cara acak tanpa adanya pola yg terang atau referensi.

“Saat ini simulasi adalah realitas dengan-cara menyeluruh, baik politik, sosial, sejarah, & ekonomi, yg mulai kini memadukan dimensi simulasi-hiperrealisme,” 

Jean Baudrillard
Kita sekarang hidup dlm satu kurun yg disebut masa simulasi, atau zaman dimana keaslian & dunia kultural yg cepat lenyap, kata Baudrillard.
Simulasi yg terjadi merupakan penghilang antara yg real dgn yg imajiner, positif dgn artifisial. Itulah istilah Simulacra (Simulacrum), & Simulasi (Simulation), memiliki perbedaan yg tipis.
Dalam pemberitaan yg dilaksanakan perihal Covid-19 di Indonesia, salah satu contoh bagaimana  berita yg dibuat tersebut, telah bersimulasi, bermain simbol kepada apa yg dituliskan.
Mulai dr judul goresan pena, foto/gambar, & isi informasi yg kadang kala tak berkaitan, inilah yg dimakan atau dibaca masyarakat, sehingga terus terjadi simulasi yg besar lengan berkuasa disana.
Dengan bacaan yg diangkut tersebut, masyarakat tak mampu lagi membedakan, mana yg memang real fakta, & mana yg imajiner, masyarakat akan sulit untuk membedakannya, terlebih Pandemi Covid-19 ini masih berkeliaran luas.
Memang, sebagian penduduk mungkin bisa membedakan mana yg real fakta & mana yg cuma imajiner, tetapi hal ini jikalau terus diulangi, maka akan mempunyai efek dengan-cara psikologis masyarakat.

Psikolog : Pemberitaan Covid-19 Picu Gejala Psikosomatis.
Dilansir dr Republika.com, Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) Cabang Jambi membuka layanan konseling online bagi warga Jambi dlm menghadapi pengaruh psikologis dr penyebaran COVID-19 di Tanah Air. 
Dari hasil konseling terlihat bahwa demam isu penduduk untuk mengakses konseling online yg dikerjakan atau direspon oleh psikolog dr sejumlah kawasan di Provinsi Jambi itu cukup tinggi. Melalui acara itu mampu ditarik kesimpulan bahwa kecemasan masyarakat cukup terlihat.
“Bila melihat dlm beberapa hari terakhir, tanda-tanda kecemasan hingga psikosomatis sudah dicicipi penduduk ,” kata Psikolog Dr Novrans Eka Saputra, Senin (30/3).
Novrans, melanjutkan, bahwa setiap pemberitaan mengenai Covid-19 menstimulasi mereka ketakutan & cenderung berefek lebih buruk. 
Menurut Novrans, tugas media dlm memberikan informasi itu sungguh dibutuhkan, serta adanya penampingan satu sama lain di lingkungan masing-masing.
Dampak dr kecemasan setelah mendapat informasi atau kabar terbaru terkait Covid-19, kadang mempengaruhi kondisi badan.
“Salah satu bentuk reaksi kecemasan yg biasa ialah datang-tiba merasa ingin batuk, meriang, kegalauan berlebih, bahwa dirinya terpapar Covid-19,” tuturnya.
Kamu mampu baca lebih lanjut disini :

Beberapa pemberitaan Covid-19 yg sudah saya sebutkan sedari awal, bahwa mereka telah berhasil bermain simulasi, dgn arahan yg dibangun.

Kode yg dibangun telah sukses mematikan realitas yg konkret & munculnya realitas gres, dimana itu yg tak konkret.

Baudrillard mengemukakan konsep kode yg dilihatnya begitu penting dlm suasana terbaru selesai. Konsep instruksi itu muncul karena era komputer & digitalisasi dengan-cara global saat sekarang ini.

Ia menunjukkan kesempatan berlangsungnya reproduksi tepat dr sebuah objek situasi, alasannya adalah itu isyarat bisa membaypass sesuatu yg real & membuka kesempatan gres munculnya realitas yg disebut dgn Hyperreality.

Hiperrealitas dapat menghapuskan perbedaan yg konkret (real) dgn yg imajiner. Misalnya, pada konten pemberitaan covid-19 yg begitu marak, sehingga masyarakat yg membacanya tak lagi bisa memfilter konten berita tersebut.

Simulasi itu terus berulang, bahkan ada yg membuat beritanya bertolak belakang pada saat permulaan ia membut isu, seperti kasus yg sudah saya contohnya dr awal goresan pena ini.

Pemberitaan itu yg diadopsi masyarakat, hingga melebur menjadi satu. Inilah salah satu contoh, masa simulasi yg membuat hiperrealitas itu terjadi dgn bermain isyarat, yg nyata (real) tak mampu lagi dibedakan, tatkala yg imajiner diterima oleh penduduk .

Simulasi yg dimaikan, sungguh terstruktur, & mempunyai sasaran yg terperinci dlm penyebaranya. Inilah yg dibilang oleh Jean Baudrillard bahwa Hiperrealitas selalu siap untuk direproduksi.

Pemberitaan Covid-19 yg tak disaring dgn baik, asal banyak baca, ini menawarkan efek, & berhasilnya simulasi itu bermain instruksi.

Rojek & Turner, hiperrealitas yg dikerjakan ahli Nasa dlm menyempurnakan gambar yg diberikan atau yg diperoleh lewat satelit agar gambar lebih indah & kelihatan spektatuler.

  Seorang dokter tidak diharapkan menolak pasien itu miskin.

Begitulah yg terjadi kini, pemberitaan pandemi Covid-19 yg terus bersimulasi memberikan instruksi, sehingga terjadinya hiperrealitas dilingkungan penduduk kita di Indonesia.

Baru-baru ini terjadi, seseorang yg dinyatakan ODP di Blitar, bahkan nekat memperabukan dirinya sendiri, padahal keadaan ODP yg belum tentu pula ia positif.

Begitu tertekannya psikologis seseorang tersebut, ya mungkin saja alasannya terlalu menerima keterangan terkait penangan, atau informasi penyembuhan covid-19 yg ia baca tak berhubungan .

Misalnya, tak adanya obat ketika sudah dinyatakan poisitf, atau passien covid-19 yg tak bisa sembuh total, serta aneka macam pemberitaan dikala ini yg masih simpang siur.

Nah, itulah periode simulacra, yg membentuk hiperrealitas dlm masalah pemberitaan Covid-19, sehingga memperlihatkan efek yg signifikan kepada psikologis penduduk yg membaca & mengonsumsi info tersebut.

Sumber referensi yg bisa ananda baca :

https://republika.com/informasi/q8170x463/psikolog-pemberitaan-covid-19-picu-gejala-psikosomatis

Sumber foto :
https://www.gesuri.id/pemerintahan/pasca-pandemi-covid-dunia-menuju-ke-transhumanisme-ekologis-b1YIUZsum