Mengenal Trend Fastfood dalam Perspektif Teori Sosiologi

Ada 10 Pengertian Globalisasi Menurut Para Ahli & Kesimpulannya

Masakan khas Indonesia atau disebut dgn masakan nusantara populer dgn aneka macam macam rempahnya yg bisa membuat cita rasa yg khas. 

Bahkan tidak heran lagi jika masyarakat Indonesia tatkala mengolah masakan dlm satu macam masakan saja bisa memakai 10 jenis rempah. 

Sejalan dgn kemajuan zaman, masakan-masakan dr luar negara pun mulai merasuk ke masyarakat Indonesia.

Ironisnya, kita sebagai penduduk pun sungguh mudah mendapatkan. Orang-orang menyebutnya “fastfood” atau kuliner cepat saji. Bagaimana sosiologi melihat hal ini ?

Memahami Trend Fastfood dlm Berbagai Teori Sosiologi

Melihat fenomena sosial yg kini sudah menjadi ekspresi dominan & kebiasaan dikalangan sebagian masyarakat. Fastfood sudah menjadi budaya gres yg diserap oleh masyarakat. 

Perilaku sebagian orang pun mengalami perubahan & penyesuaian dgn ekspresi dominan fastfood yg ada di Indonesia. 

Ada beberapa teori yg bisa kita gunakan untuk melihat fenomena sosial itu dr perspektif Sosiologi, yakni sebagai berikut :

Teori Globalisasi Kehampaan Ritzer

Dalam kehidupan sehari-hari, disadari atau tidak, kita lebih sering bahkan senantiasa mengonsumsi kehampaan. Menurut George Ritzer dlm karyanya The Globalization of Nothings, konsumsi kehampaan memiliki arti mengonsumsi produk-produk industri.

Global yg dibuat dengan-cara massal dgn corak, bentuk, & cita rasa yg sama, menegasikan keperluan khusus individu & kelompok sosial dlm penduduk .

Contoh konkret dlm kehidupan sehari-hari yakni mie instan yg kita konsumsi pada merek X dgn rasa Y.

Dan yg kita konsumsi di rumah tak ada bedanya dgn cita rasa mie instan merek X rasa Y di tempat-tempat lain. 

Instruksi cara memasaknya pun sama & mempunyai jangka waktu tertentu produk itu dapat dimakan. 

  Contoh Pertukaran Sosial di Kehidupan Masyarakat Sehari Hari, Apa Saja ?

Produk yg sama baik proses & cita rasanya memproduksi kehampaan, hampa akan proses & cita rasa yg khusus, & dengan-cara tak eksklusif kita mengonsumsi kehampaan. 

Bandingkan apabila berbelanja atau mengonsumsi mie goreng khas kakak-abang di tepian jalan atau buatan emak di rumah.

Dengan racikan sendiri yg susah ditiru oleh orang lain, memiliki cita rasa yg khas, & pastinya lebih humanis dr segi kesehatan.

Berbagai tempat-tempat yg mendukung konsumsi kehampaan ada di sekeliling kita seperti Alfamart, Indomaret, Mal-Mal Plaza, & kedai makanan cepat saji. 

Tak terkecuali fenomena BTS Meal yg menjadikan antrean driver gojek yg hingga mengular, tak lain karena buatan kehampaan melalui kemasan yg didesain dgn warna & corak tertentu.

Memang tak mampu dibantah, kita tak akan pernah lepas dr mengonsumsi kehampaan dlm kehidupan sehari-hari. 

Namun setidaknya menerapkan seperti apa yg disampaikan oleh Max Weber, mesti menerapkan langkah-langkah yg rasionalitas berorientasi nilai.

Dalam arti memakai atau mempergunakan objek atau benda-benda menurut nilai-nilai kebutuhan & kelangsungan hidup dlm penduduk .

Tentu dgn batas-batas & aturan yg mesti sungguh-sungguh di pegang teguh.

Teori Hiperrealitas oleh Baudrillard

Hiperrealitas ialah sebuah keadaan dimana kepalsuan berbaur dgn kebenaran, fakta bersimpangsiur dgn rekayasa.

Tanda melebur dgn realitas, dusta bersenyawa dgn kebenaran. Akhirnya menjadi  mustahil membedakan nyata daripada yg sekedar tontonan. 

Dalam kehidupan nyata masyarakat pemirsa reality show, peristiwa kasatmata makin mengambil ciri hiper-rill (hyperreal). 

Tak ada lagi realitas, yg ada hiperrealitas. Pembodohan atas realitas ini yg kemudian membentuk pola pikir manusia yg serba instan. 

Dan pada umumnya mereka menyantap bukan karena keperluan namun karena efek versi-model simulasi yg mengakibatkan pola hidup penduduk berbeda. 

  Teori Hegemoni Antonio Gramsci dan Contoh Kasusnya

Sebagai contoh fastfood. Saat ini penduduk Indonesia lebih menyukainya dr pada mengolah makanan sendiri dgn alasan.

Bahwa fastfood lebih highclass, bergizi tinggi, & praktis. Padahal sesungguhnya mengolah masakan sendiri dgn meracik bumbu asli indonesia.

Jauh lebih highclass & gizinya pun sudah niscaya bagus. Disituasi inilah mereka tak sadar bahwa dirinya telah sukses dibodohkan oleh realitas yg ada.

Nah itulah sekilas memahami fenomena sosial fastfood dlm perspektif atau sudut pandang sosiologi beserta teorinya.

Referensi :

https://scholar.unand.ac.id