Pemikiran-Pemikiran Mengenai Sosiologi Pedesaan

Pada biasanya, sebagian besar beropini bahwa sumber pengetahuan berasal dr dua arah pemikiran yg berbeda, yakni rasionalisme & empirisme. Mereka yg berpegang pada paham pertama (disebut kaum rasionalis) dgn metode deduksinya sebagai sumber pengetahuan. Berbeda dgn paham pertama ini, kaum empiris (perumpamaan bagi mereka yg berpaham empirisme) menganggap bahwa sumber wawasan berasal dr pengalaman empiris dr seseorang yg kemudian ditarik dgn metode induksi selaku sumber wawasan. 
Meski demikian, tak dapat disangkal bahwa perbedaan kedua pemikiran di atas mampu menawarkan ilmu sekaligus wawasan bagi insan untuk mengetahui fenomena kehidupan dgn kelebihan & kelemahannya masing-masing. Dalam bingkai ini, bagaimana menempatkan sosiologi & sosiologi pedesaan selaku ilmu pengetahuan atau sumber pengetahuan? 
Setidaknya makalah ini ditulis, tak lain dimaksudkan untuk memaparkan sosiologi tergolong sosiologi pedesaan sebagai ilmu wawasan. Untuk melihat pendekatan yg dipakai & mengalisis mampu memakai hakekat/filosifis ilmu pengetahuan yg di dalamnya terdapat aspek ontologi & epistimologi.

Baca Juga :
Sosiologi Menurut Herbert Spencer
Konsep Mikro Sosiologi Simmel

Sosiologi & Sosiologi Pedesaan Sebagai Ilmu Pengetahuan 
Sosiologi maupun Sosiologi Pedesaan sebagai ilmu wawasan, tak lain adalah seperangkat fakta sosial yg terkristal dlm bentuk teori/desain/cara pandang yg dipakai selaku tools atau pisau analisis untuk mencari & menelusuri kebenaran-kebenaran yg nampak (realitas) maupun tak nampak (peramalan) dlm kehidupan insan. 
Dengan demikian, dlm Sosiologi & Sosiologi Pedesaan sebagai ilmu pengetahuan, dapat ditelusuri dengan-cara hakekat/filosofis dr faktor epistemologi, ontologi, maupun aksiologi sebagai sebuah pemikiran yg konprehensif dlm menelusuri, mencari, & memperediksi tanda-tanda sosial yg terjadi di penduduk . 
JF. Ferrier merupakan seorang filsuf yg pertama kali melaksanakan pembedaan antara ontologi & epistimologi pada tahun 1854 (Hunnex, 2004). Ontologi menurutnya yaitu bagaimana mempertanyakan apa realitas yg ada, sedangkan epistimologi merupakan teori pengetahuan yg menanyakan dgn apa insan bisa mengetahui. Adapun aksiologi lebih berbicara wacana sumber nilai, yg di dalamnya terkandung epistimologi & ontologi dengan-cara bersama-sama[1]
Dalam bingkai di atas, Kattsoff (2004) dlm bukunya yg berjudul ”Pengantar Filsafat” menguraikan empat paham/teori untuk mengungkapkan cara manusia bisa mengetahui sebuah realitas (epistimologi). Adapun keempat teori yg dimaksud, selaku berikut: 
(1). Teori Koherensi (Coherence Theory), yakni sebuah proposisi cenderung benar kalau proposisi tersebut dlm kondisi saling berhubungan dgn proposisi-proposisi lainnya yg benar, atau kalau makna yg dikandungnya dlm keadaan saling berafiliasi dgn pengalaman kita. Atau dgn kata lain, paham ini menyampaikan bahwa derajat keadaan saling berafiliasi merupakan ukuran bagi derajat kebenaran, sedangkan keadaan saling berafiliasi dgn semua realita menunjukkan kebenaran mutlak. 
(2). Teori Korespondensi (Correspondence Theory), yakni suatu pernyataan itu benar bila makna yg dikandungnya sungguh-sungguh merupakan halnya. Kebenaran atau keadaan benar berupa kesesuaian antara makna yg dimaksudkan oleh sebuah pernyataan dgn apa yg benar-benar merupakan halnya, atau apa yg merupakan fakta-faktanya. 
(3). Teori Empiris (Empirist Theory), yakni memandang proposisi bersifat meramalkan (predictive) atau hipotetis, & menatap kebenaran proposisi selaku terpenuhinya ramalan-ramalan. 
(4). Teori Pragmatis (Pragmatism Theory), yakni proposisi-proposisi yg membantu kita mengadakan pembiasaan-adaptasi yg membuat puas kepada pengalaman-pengalaman kita. 
Berbeda dgn epistimologi, makna penting dr ontologi yakni pembedaannya antara pihak yg mengenali & hal yg diketahui (Hunnex, 2004). Tentang hal ini, Kattsoff (2004) memastikan bahwa ontologi merupakan jawaban pertanyaan mengenai hakekat kenyataan. Untuk itu, Kattsoff merumuskan sejumlah pernyataan mengenai kenyataan, yg berisikan: 
(1). Kenyataan bersifat kealaman (naturalisme), yakni kejadian-peristiwa dlm ruang & waktu merupakan satuan-satuan penyusunan realita yg ada, & selalu dapat dialami oleh insan biasa. Dalam hal ini, kaum naturalisme berpendapat bahwa faktor-faktor penyusun segenap kejadian ialah proses, kualitas, & hubungan. 
(2). Kenyataan benda mati (materialisme), yakni insiden-insiden yg nampak dlm kehidupan insan tersusun dr seperangkat materi. Dalam hal ini, kaum materialisme lebih mendalam memaknai segala insiden dibandingkan dgn ananda naturalisme. Meski demikian, seorang materialisme kadang-kadang sependirian dgn seorang naturalisme. 
(3). Kenyataan bersifat kerohanian (idealisme), yakni kejadian-peristiwa yg nampak dlm kehidupan insan pada prinsipnya tak terlepas dr jiwa atau roh selaku dasar dr kehidupan manusia. Dalam hal ini, kaum idealisme terpecah menjadi dua golongan, pertama, kaum spritualisme yg berpendirian bahwa segenap tatanan alam dapat dikembalikan pada atau berasal dr sekumpulan roh yg beraneka ragam & berlainan-beda derajatnya. Kedua, kaum dualisme yg berpandangan bahwa yg terdalam merupakan jiwa semesta yg berprinsip bahwa materi tak berasal dr jiwa, walaupun materi berkelanjutan dgn jiwa. 
(4). Hylomorfisme, yakni insiden-peristiwa selaku bentuk realita yg ada disekeliling manusia terdiri dr bahan & bentuk. Dengan kata lain, terdapat esensi & eksistensi dlm diri setiap manusia dlm membentuk realita yg ada disekelilingnya. 
(5). Positivisme logis, yakni pandangan yg mendasarkan diri pada akal sehat akal & semuanya menggunakan perangkat fakta yg sama sebagai landasan penopang untuk menunjukkan kebenarannya. Dengan demikian, ontologi positivisme logis meniadakan atau menolak segala bentuk yg berbau metafisika. 
Selanjutnya, dr pembedaan epistimologi & ontologi di atas, kemudian dapat digunakan selaku alat (tools) atau kerangka analisis untuk memetakan pemikiran Sosiologi & Sosiologi Pedesaan sebagai seperangkat ilmu wawasan untuk mengalisis tanda-tanda sosial yg hadir di masyarakat. Jika ”anutan” dlm epistimologi & ontologi saling disilangkan (dibuatkan matriks), maka akan terurai 20 sel selaku perwujudan dr peta pemikiran Sosiologi & Sosiologi Pedesaan selaku ilmu pengetahuan menurut faktor ontologi & epistimologinya, yakni: naturalisme – koherensi, naturalisme – korespondensi, naturalisme – empiris, naturalisme – pragmatis, materialisme – koherensi, materialisme – korespondensi, materialisme – empiris, materialisme – pragmatisme, idealisme – koherensi, idealisme – korespondensi, idealisme – empiris, idealisme – pragmatisme, hylomorfisme – koherensi, hylomorfisme – empiris, hylomorfisme – korespondensi, hylomorfisme – pragmatisme, positivisme logis – koherensi, positivisme logis – korespondensi, positivisme logis – empiris, & positivisme logis – pragmatisme. 
Meskipun demikian, perlu kembali ditekankan, bahwa pembuatan matriks di atas sekedar membuat lebih mudah pemetaan pemikiran Sosiologi & Sosiologi Pedesaan sebagai seperangkat ilmu wawasan yg mana tak mustahil banyaknya sel yg ada di dlm matriks menunjukkan jumlah pemetaan pemikiran Sosiologi & Sosiologi Pedesaan yg ada sampai dikala ini & sebaliknya. 
Sosiologi & Sosiologi Pedesaan: Ilmu Pengetahuan yg Berdasar 
Slattery (2003) dlm bukunya yg berjudul ”Key Ideas in Sociology” kembali memastikan bahwa sosiologi sebagai displin ilmu pengetahuan, mampu dicermati dr beragam berita, meliputi: ketertiban sosial & pergantian, kekuasaan & penguasaan sosial, ketidakmerataan & stratifikasi sosial. 
Dari semua itu, Slattery (2003), kemudian merangkumnya menurut persepsi dr tokoh sosiologi, yakni: (1) Aguste Comte, sebagai “bapak” sosiologi peletak positivisme beropini bahwa sosiologi sebagai sebuah ilmu wawasan yg didasarkan pada logika akal budi; (2) F. Tonnies dgn konsep “gemmeinschaft – gesselschaff” untuk mengkaji “The Lass of Communty in Industrial Society”, yakni studi tentang komunitas & sosiologi masyarakat kota; (3) Robert Michels mengkaji tentang sosiologi kekuasaan, terutama elit penguasa sebagai konsentrasi utama sosiologi terbaru; (4) George Herbert Mead, peletak dasar teori interaksi simbiolisme; & (5) E. W. Teller menyebarkan konsep kunci tentang perdebatan sosiologi industri. 
Berbeda dgn Slattery, Collins (1994) yg mencoba mendefinisikan teori-teori sosiologi ke dlm empat tradisi besar, yakni: (1) tradisi pertentangan, yg didasarkan argumen bahwa konflik yg terjadi dimasyarakat bukanlah hal yg sederhana , namun sangat luas & berkembang dlm kehidupan penduduk ; (2) tradisi rasional atau utilitarian, yg berpandangan liberal (tapi lunak) & rasional dr masing-masing induvidu; (3) tradisi durkheim, yg berpandangan makro & mikro.
Pandangan makro lebih menekankan pada suatu fakta yg dibayangkan selaku kekuatan & struktur yg bersifat eksternal & memaksa individu. Sementara itu, pandangan mikronya lebih menekankan pada mekanisme ritual-ritual sosial golongan yg menciptakan solidaritas; & (4) tradisi mikro interaksi, yg berpandangan bahwa insan memiliki kapasitas untuk berfikir & membedakan interaksionisme simbolik & akar behaviorisme. 
Merujuk dr dua pertimbangan di atas (baik Slattery maupun Collins), kalau dianalisis dgn memakai kerangka ontologi & epistimologi, maka sosiologi sebagai ilmu pengetahuan tak disangsikan lagi dlm mennguraikan & menjelaskan gejala sosial yg terjadi di masyarakat. Meski demikian, tak mampu dipungkiri bahwa tak semua tradisi atau teori sosiologi yg ada mengisi ruang sel-sel yg ada. 
Berdasarkan bacaan penulis dr goresan pena Slaterry (2003) & Collins (1994), pemetaan pemikiran sosiologi selaku ilmu pengetahuan dapat dibagi ke dlm delapan klasifikasi, yakni: (1) Naturalisme – Koherensi, mencakup: teori Gemmeinschaftdan Gesselschaff oleh F. Tonnie; (2) Naturalisme – Korespondensi, meliputi: tradisi Durkheim perihal persepsi makronya, yakni kondisi eksternal (alam) mensugesti individu; (3) Naturalisme – Empiris, meliputi: teori-teori ekologi; (4) Materialisme – Koherensi, mencakup: tradisi pertentangan atau teori kelas sosial, teori ketergantungan, & teori sistem dunia; (5) Materialisme – Empiris, mencakup: teori-teori sosial hijau (Green Social Theory); (6) Idealisme – Korespondensi, mencakup: tradisi mikro interaksi & teori interaksi simbiolik; (7) Positivisme logis – Koherensi, mencakup: Weber, fenomenologi, strukturalisme, & neo-fungsionalisme; & (8) Positivisme logis – Korespondensi, meliputi: Auguste Comte, tradisi Durkheim perihal persepsi mikronya, tradisi rasional (teori pertukaran, teori pengambilan keputusan rasional), behaviorisme, modernisasi. 
Jika uraian di atas, telah memberikan citra pada kita perihal sosiologi sebagai ilmu wawasan yg berdasar, lalu bagaimanakah dgn sosiologi pedesaan itu sendiri mampu dikatakan ilmu wawasan? 
Seperti halnya dgn analisis sebelumnya, sosiologi pedesaan dikatakan sebagai ilmu wawasan apabila dengan-cara faktor ontologi & epistimologi mampu menguraikan kenyataan sebagai kebenaran untuk mengetahui tanda-tanda sosial di penduduk . Untuk menelusuri ini, penulis merujuk buku ”Sosiologi Pedesaan: Kumpulan Bacaan (Jilid 1)” dimana Prof. Dr. Sajogyo & Prof. Pujiwati Sajogyo (alm.) selaku penyunting. Adapun dasar rujukan ini diambil, sebagaimana ungkapan Prof. Dr. Sajogyo dlm bukunya yg berjudul ”Ekososiologi: Deideologisasi Teori, Restrukturisasi Aksi (Petani & Perdesaan Sebagai Kasus Uji)”: 
”…studi sarjana Sarjana 4 tahun di IPB (1971-1974) yg disertai ukuran bobot SKS & dua “semester” dlm setahun, terjadilah kemajuan gres dimana saya menentukan menyusun sebuah “kumpulan bacaan” berisi topik-topik sosiologi yg pernah ditulis sejumlah peneliti sosiologi/antropologi/penyuluh pertanian & pernah diterbitkan di buku atau majalah…” 
Dalam buku kumpulan bacaan tersebut, berisi tujuh bab yg membicarakan perihal contoh-pola kebudayaan, proses-proses sosial, lembaga kemasyarakatan, grup sosial, organisasi sosial, tata cara status & pelapisan penduduk , & teladan hubungan antarsuku bangsa. Meski tak membaca & menganalisis dengan-cara keseluruhan kumpulan bacaan sosiologi pedesaan yg disunting oleh Prof. Dr. Sajogyo & Prof. Pujiwati Sajogyo, akan tetapi tulisan-goresan pena yg dihidangkan pada buku tersebut, memperlihatkan citra pada kita perihal sosiologi pedesaan selaku ilmu wawasan yg syarat dgn ontologi & epistimologinya. 
Berangkat dr analisis kepada beberapa bacaan yg penulis lakukan berdasarkan aspek ontologi & epistimologi, maka pemetaan pemikiran dlm sosiologi pedesaan mampu dibedakan ke dlm 7 klasifikasi, yakni: pertama, naturalisme – empiris, sebagaimana diuraikan dlm goresan pena berjudul ”Timbulnya “Desa Jawa” dr masyarakat transmigrasi spontan”; kedua, materialisme – koherensi, mampu dilihat pada goresan pena yg berjudul ”Ciri-ciri penghidupan penduduk pedesaan di Indonesia (potongan konflik & kompetisi)”, ”Mengembalikan keberadaan gerakan masyarakat”, & ”Kerjasama & struktur masyarakat di Desa Cibodas”; ketiga, materialisme – korespondensi, tergambar dlm tulisan yg berjudul ”Mahasiswa & Keluarganya”. 
Keempat, idealisme – koherensi, dapat dilihat pada tulisan yg berjudul ”Rintangan-rintangan mental dlm pembangunan ekonomi di Indonesia”; kelima, idealisme – korespondensi, tergambar dlm goresan pena yg berjudul ”Sistem budaya Bugis – Makassar” & “Ciri-ciri penghidupan penduduk pedesaan di Indonesia”; keenam, positivisme logis – koherensi, tergambar dlm tulisan yg berjudul ” Pola perdagangan & keuangan dlm penduduk tani di Jawa”; & ketujuh, positivisme logis – korespondensi, dapat dilihat pada goresan pena berjudul ” Proses pembaharuan antar acuan kebudayaan” (lihat Tabel 3). 

Membandingkan Tradisi Sosiologi Barat & Tradisi Sosiologi Asia 
Mengenai Pemikiran sosiologi & sosiologi pedesaan sebagai ilmu pengetahuan (merujuk tiga referensi) masih sangat minim. Oleh alasannya itu, diharapkan analisis lebih lanjut untuk membandingkan dua tradisi sosiologi (Barat versus Asia) yg berkembangan saat ini. 
Upaya ini dirasa sangat penting sebab belum terdapat satu kajian yg mendalam perihal tradisi sosiologi yg meningkat di Asia, utamanya di Indonesia. Dengan kata lain, kajian yg mendalam tersebut dimaksudkan untuk membangun tradisi baru perihal ”Sosiologi Indonesia” yg tentunya berangkat dr fenomena masyarakat Indonesia itu sendiri. Hal ini disadari sebab tradisi sosiologi yg berkembang di Indonesia masih memakai sosiologi barat dgn beragam perspektifnya. 
Referensi : 
Ritzer, G. & Goodman, DJ., Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Kencana, 2003. 
Sajogyo & Pujiwati Sajogyo [penyunting], Sosiologi Pedesaan: Kumpulan Bacaan (Jilid 1), Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1999. 
Sajogyo, Ekososiologi: Deideologisasi Teori, Restrukturisasi Aksi (Petani & Perdesaan Sebagai Kasus Uji), Yogyakarta-Bogor: SAINS, CINDERALAS, Sekretariat Bina Desa Sadajiwa, 2006. 
Slattery, M., Key ideas in sociology, Cheltenham: Nelson Thornes Ltd., 2003. 
Collins, R., Four sociological traditions, New York and Oxford: Oxford University Press,1994. 
Hunnex, MD., Peta Filsafat: Pendekatan Kronologis & Tematis, Bandung: Teraju, 2004. 
Kattsoff, LO., Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003.