Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) selaku majelis wakil rakyat yg namanya sudah tak asing dlm ketatanegaraan Indonesia sudah ada semenjak merdekanya negara ini. Pada awal disahkannya Undang-Undang Dasar 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 MPR mempunyai posisi selaku lembaga negara tertinggi. Sebagai lembaga negara tertinggi saat itu MPR ditetapkan dlm Undang-Undang Dasar 1945 sebagai pemegang kedaulatan rakyat.
Artikel Terkait:
- Sejarah Kerajaan Samudera Pasai
- Sejarah Konferensi Meja Bundar
- Sejarah Kerajaan Tarumanegara
- Sejarah Bhinneka Tunggal Ika
Sejak dibacakannya proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia mengawali perjalanan sejarahnya selaku bangsa yg masih muda dlm penyusunan pemerintahan. Indonesia masih muda dlm menyusun pemerintahan, politik, & administrasi negara. Dengan Pancasila selaku dasar negara & sebuah Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pra Amandemen yg ditetapkan sehari sesudah proklamasi, tepatnya tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Undang-Undang Dasar 1945 yg telah disahkan tersebut di dalamnya sudah diatur lembaga-forum negara. Mulai dr Lembaga Tertinggi Negara hingga Lembaga Tinggi Negara. Konsep penyelenggaraan negara yg bercorak demokrasi oleh forum-lembaga negara tersebut bahwasanya merupakan wujud dr sila keempat Pancasila, yaitu kerakyatan yg dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dlm permusyawaratan/perwakilan. Kehendak untuk mewadahi aspirasi rakyat dlm tata cara perwakilan pertama kali dikemukakan oleh Ir. Soekarno dlm pidatonya tanggal 1 Juni 1945.
Moh. Yamin pula menyampaikan bahwa diperlukan prinsip kerakyatan dlm konsep penyelenggaraan negara. Begitu pula dgn Mr. Soepomo yg mengutarakan gagasannya tentang Indonesia merdeka dgn prinsip musyawarah. Istilah prinsip musyawarah itu dinamakan Badan Permusyawaratan. Prinsip kekeluargaan menjadi dasar pandangan baru tersebut. Sebagaimana yg sudah dikenali bahwa setiap anggota keluarga mampu menunjukkan pendapatnya, demikian pula dgn Badan Permusyawaratan.
Dalam rapat yg diadakan Panitia Perancang Undang-Undang Dasar, Mr. Soepomo menyampaikan gagasannya tentang Badan Permusyawaratan diubah namanya menjadi “Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Diharapkan bahwa majelis ini akan menjadi perwakilan yg merupakan jelmaan seluruh rakyat Indonesia. Anggotanya sendiri terdiri atas wakil rakyat, wakil kawasan, & wakil kelompok dengan-cara keseluruhan. Konsep Majelis Permusyawaratan Rakyat ini kemudian ditetapkan dlm Sidang PPKI pada ketika akreditasi Undang-Undang Dasar 1945 (pra Amandemen).
Masa Orde Lama (1945-1965)
MPR belum dapat dibentuk dengan-cara utuh pada masa Orde Lama alasannya adalah suasana saat itu tak mendukung. Hal tersebut telah diantispasi para pejuang kemerdekaan dgn dibikin Pasal IV Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar RI 1945 (pra Amandemen) yg berbunyi: “Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat & Dewan Pertimbangan Agung dibuat menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dgn dukungan sebuah Komite Nasional”.
Sejak diterbitkannya Maklumat Wapres Nomor X, terjadi pergeseran-pergeseran fundamental atas tugas KNIP. Sejak dikala itu, lembaran gres dlm sejarah ketatanegaraan Indonesia dimulai, yakni KNIP diserahi kekuasaan legislatif & ikut memutuskan Garis-garis Besar Haluan Negara. Dengan demikian, pada awal berlakunya UUD RI 1945 (pra Amandemen) dimulailah lembaran pertama sejarah MPR, yakni terbentuknya KNIP sebagai cikal bakal MPR.
Pada masa berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat (1949-1950) & Undang-Undang Dasar Sementara (1950-1959), MPR tak dikenal sebagai lembaga dlm ketatanegaraan Republik Indonesia. Pada tanggal 15 Desember 1955 diselenggarakan pemilihan biasa untuk menentukan anggota Konstituante yg diserahi peran membuat Undang-Undang Dasar.
Namun, Konstituante yg semula diharapkan dapat menetapkan UUD menemui jalan buntu. Di tengah perdebatan yg tak mencapai jalan tengah, pada tanggal 22 April 1959 Pemerintah merekomendasikan untuk kembali ke UUD 1945, tetapi usulan ini pula tak mencapai janji di antara anggota Konstituante.
Dalam suasana yg tak menguntungkan itu, tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yg berisikan:
- Pembubaran Konstituante.
- Pemberlakuan kembali UUD 1945 & tak diberlakukan lagi Undang-Undang Dasar Sementara 1950.
- Pembentukan dua lembaga, yakni MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) & DPAS (Dewan Pertimbangan Agung Sementara).
Untuk melaksanakan pembentukan MPRS sesuai Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959 yg isinya menertibkan:
- MPRS terdiri atas Anggota DPR Gotong Royong ditambah dgn utusan-delegasi dr tempat-daerah & kalangan-kalangan.
- Jumlah Anggota MPR ditetapkan oleh Presiden.
- Yang dimaksud dgn kawasan & kalangan-kelompok merupakan Daerah Swatantra Tingkat I & Golongan Karya.
- Anggota tambahan MPRS diangkat oleh Presiden & mengangkat sumpah menurut agamanya di hadapan Presiden atau Ketua MPRS yg dikuasakan oleh Presiden.
- MPRS mempunyai seorang Ketua & beberapa Wakil Ketua yg diangkat oleh Presiden.
Jumlah anggota MPRS pada waktu dibuat berjumlah 616 orang, terdiri dr 257 Anggota DPR-GR, 241 Utusan Golongan Karya, & 118 Utusan Daerah.
Pada tanggal 30 September 1965 terjadi kejadian pemberontakan G-30-S/PKI. Sebagai pembersihan dr G-30-S/PKI, diharapkan adanya perombakan total atas seluruh kebijaksanaan kenegaraan. Setelah terjadi pemberontakan sehabis G-30-S/PKI, Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959 dianggap tak mencukupi lagi. Untuk memenuhi keperluan tersebut maka dikerjakan pemurnian keanggotaan MPRS dr unsur PKI. Penegasan atas hal tersebut dituang dlm UU No. 4 Tahun 1966 yg isinya: “sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat yg dipilih oleh rakyat, maka MPRS menjalankan tugas & wewenangnya sesuai dgn Undang-Undang Dasar 1945 hingga MPR hasil Pemilihan Umum terbentuk”.
Rakyat yg merasa dikhianati oleh insiden G-30-S/PKI kemudian menginginkan adanya pertangungjawaban Presiden Soekarno. Tetapi, pidato pertanggungjawaban Presiden Soerkarno yg diberi judul ”Nawaksara” tak membuahkan hasil yg dikehendaki MPRS sebagai pemberi mandat. Ketidakpuasan MPRS tertuang dlm Keputusan MPRS Nomor 5 Tahun 1966 yg isinya meminta Presiden agar menyempurnakan pidato pertanggungjawaban tersebut.
Walaupun kemudian Presiden Soekarno menyanggupi usul MPRS dlm suratnya tertangal 10 januari 1967 yg diberi nama “Pelengkap Nawaksara”, namun ternyata tak pula menyanggupi harapan rakyat. MPRS kemudian mengambil kesimpulan bahwa Presiden Soekarno telah alpa dlm keharusan Konstitusional. Sementara itu dewan perwakilan rakyat-GR dlm Resolusi & Memorandumnya tertanggal 9 Februari 1967 dlm menganggap “Nawaksara” beserta pelengkapnya berpendapat bahwa “Kepemimpinan Presiden Soekarno dengan-cara konstitusional, politis/ideologis membahayakan keamanan bangsa, negara, & Pancasila”.
MPRS kemudian melangsungkan Sidang Istimewa. Sidang tersebut bertujuan untuk memberhentikan Presiden Soekarno dr jabatan Presiden/Mandataris MPRS. Pengganti Presiden Soekarno yg terpilih yaitu Letnan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden/Mandataris sesuai Pasal 3 Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966. MPRS pula memerintahkan Badan Kehakiman yg berwenang untuk melakukan pengamatan, investigasi, & penuntutan dengan-cara aturan.
Masa Reformasi (1999-sekarang)
Setelah reformasi, MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara. MPR menjadi forum negara yg kedudukannya sejajar dgn lembaga-forum negara lainnya. Perubahan Undang-Undang Dasar telah menata ulang posisi forum-lembaga negara. Kedudukan, fungsi & wewenang MPR yg dianggap tak sejalan dgn pelaksanaan prinsip demokrasi & kedaulatan rakyat balasannya diubah. Tujuannya supaya sistem ketatanegaraan dapat berlangsung maksimal.
Artikel Terkait:
Pasal 1 ayat (2) yg semula berbunyi: “Kedaulatan ialah di tangan rakyat, & dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”, sesudah perubahan UUD bunyinya menjadi: “Kedaulatan berada di tangan rakyat & dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Dengan demikian pelaksanaan kedaulatan rakyat sepenuhnya lewat cara-cara & oleh berbagai forum negara yg ditentukan oleh UUD 1945.
Tugas & wewenang MPR dengan-cara konstitusional dikontrol dlm Pasal 3 Undang-Undang Dasar 1945. Salah satu tugasnya yakni mengubah & menetapkan Undang-Undang Dasar sebagai hukum dasar negara yg mengatur hal-hal penting & mendasar. Dengan demikian, dlm perjalanan sejarahnya MPR & UUD berkaitan dekat dgn pertumbuhan ketatanegaraan Indonesia.