Fast food sudah sukses mengubah gaya hidup penduduk Indonesia. Dahulu penduduk Indonesia sangat telaten membuat kuliner khas Indonesia dgn racikan bumbunya yg tak sedikit.
Bahkan satu jenis kuliner saja mampu melibatkan 10 rempah khas Indonesia. Tapi dikala ini masyarakat beralih pada fast food sebagai makanan keseharian alasannya adalah di anggap praktis & lebih lezat.
Selain praktis, mereka pula merasa dgn mengonsumsi fast food tak ketinggalan zaman, keren, gaul, tak kudate & sebagainya.
Lalu, bagaimana sosiologi melihat hal ini ?
Berikut akan penulis paparkan beberapa imbas fast food kepada keberadaan masakan nusantara dgn memakai beberapa teori sosiologi
Sekilas Memahami Teori Modernisasi
Berbicara mengenai teori modernisasi, maka erat kaitannya dgn pembangunan & pergeseran sosial yg terjadi dlm kehidupan masyarakat.
Meskipun begitu modernisasi pada hakikatnya tak terbatas pada industri & demokrasi saja, akan namun menyangkut pula barbagai bidang kehidupan yang lain.
Yang saling berafiliasi sehingga pertumbuhan sebuah bidang kehidupan akan diikuti oleh bidang-bidang kehidupan yg lain.
Perkembangan kebudayaan modernisme melahirkan heterogenitas bkebudayaan teknologi modern & dikenal dgn kebudayaan modern.
Tiruan yg terwujud dr lingkungan ditengah eksistensi teknologi, bekerjsama hanya mencakup simbol-simbol lahiriah saja.
Kemudian dr kebudayaan modernisme ini yakni jiwa konsumerisme tinggi dimana orang ketagihan untuk berbelanja.
Bukan alasannya mereka memerlukan atau menikmati apa yg dibeli tetapi demi memenuhi impian sendiri atau cuma demi status sosial yg semu.
Contohnya Orang memakai HP bukan karena kebutuhan status sosial. Orang makan di McDon*ld bukan alasannya lebih enak rasanya, melainkan sebab fast food merupakan gaya kehidupan terbaru yg sedang trendy.
McDon*ld sebagai salah satu kedai makanan cepat saji di dunia saat ini sudah memiliki 9juta cabang yg tersebar diseluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia.
Bisa dibayangkan bagaimana lajunya market penetration label Amerika di hampir seluruh penjuru dunia. Market penetration ini dengan-cara perlahan.
Menggiring penduduk terlebih generasi muda yg dgn tak sadar membangun rancangan diri dgn rasa minder (inferior).
Karena mereka mengidentifikasikan dirinya sebagai penduduk lokal, sementara di waktu yg serempak mereka harus menghadapi tekanan dr luar & dlm budaya sendiri.
Mereka akan merasa tak keren bahkan minder apabila tak nongkrong di McDon*ld, berbalut merek Blue Je*ns & Lee Coo*er.
Serta rasa minder jika tak memanjakan dirinya dgn label-label Barat. Bila ini menjangkiti generasi muda maka disinilah awal masuknya pintu Amerikanisasi.
Mempersepsikan segala sesuatu dgn patokan hedonisme dgn memudarkan bahkan secara perlahan-lahan menghilangkan nilai-nilai & kearifan lokal yg mengangungkan kesederhanaan.
Kita & generasi selanjutnya mungkin tak lagi menemukan & mencicipi nikmatnya nasi goreng mamang pinggiran jalan.
Ketoprak yg khas di jajakan dgn gerobak dorongnya, & masakan-masakan khas Indonesia yang lain. Selamat menikmati global village, yah.
Sumber Referensi :
www.semanticscholar.org