Persoalan yg terjadi pada beberapa bulan kemudian, mampu diketahui oleh “Menteri Koordinator Politik, Hukum & Keamanan (Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan) Mahfud MD menyampaikan, bahwa peristiwa pemukulan oleh pegawanegeri kepolisian dlm kerusuhan 22 Mei 2019 bukan termasuk pelanggaran hak asasi manusia.
“Kalau polisi menghantam pedemo itu bukan pelanggaran. Orang itu pula menganiaya polisi banyak, enggak? Demo 22 Mei itu 200 polisi luka-luka, ada yg patah, ada yg ini-nya (menunjuk bahu) lepas. ‘Kan sama saja,” kata Mahfud saat ditemui di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa (10/12).
Mahfud meminta masyarakat melihat persoalan yg terjadi ketika itu dengan-cara objektif, apalagi insiden sewaktu demo berlangsung yg dilaksanakan polisi terjadi bukan terstruktur & sistematis (berkala). Hal itu berlawanan tatkala yg terjadi dahulu pada masa Orde Baru.
Saat itu, menurut beliau, serdadu memiliki kawasan operasi militer (DOM) yg resmi & ada perintahnya, sedangkan yg terjadi pada tanggal 22 Mei itu justru perintahnya melarang tindakan represif.
“Kalau dahulu zaman Orde Baru ‘kan banyak itu, kini masih tersisa 12 yg belum final. Zaman Reformasi sejak 1998 ‘kan enggak ada, coba ada enggak?” kata Mahfud.
Dalam peringatan HAM pada hari Selasa, Mahfud mengajak semua pihak untuk objektif, & menyaksikan hak asasi insan dlm perspektif hak asasi ekonomi, sosial, & budaya (ekosob). Maksud ekosob, berdasarkan Mahfud, adalah perjuangan hak asasi bagi pendidikan, kesehatan, kenaikan kemakmuran penduduk , & lain sebagainya.
“Jangan melihat hak asasi itu langkah-langkah sepihak, jangan. Sekarang kita ratakan semua, yg namanya hak asasi itu ekosob,” kata Menko PolhukamMahfud MD.