Dalam suatu pedoman yg memang, baik untuk dipahami bahwa penduduk memiliki persyaratan dasar dr sebuah tata cara sosial yg menjadi dasar dr berbagai pertumbuhan sistem di amsyarakat. Menurut Durkheim, suku-suku dgn metode iman totemisme memiliki ikatan persaudaraan yg unik.
Alih-alih diikat oleh korelasi darah, mereka justru diikat oleh kesamaan nama atau “totem”. Totem ini sendiri biasanya mengambil bentuk dr spesies hewan, atau tumbuhan tertentu.
Totem-totem ini diukir, ditulis, & bahkan digambar di bab badan para penganut totemisme. Menurut Durkheim, tindakan mengukir, menulis, & menggambar totem-totem tersebut merupakan upaya untuk mengganti sesuatu yg sifatnya profane (kayu, batu, & anggota badan) menjadi sacred — mengganti sesuatu yg tak suci menjadi suci.
Lebih lanjut, Durkheim menerangkan bahwa alih-alih menyimbolkan Tuhan, atau eksistensi lain yg sifatnya supernatural, totem merupakan simbol dr suku, atau klan yg bersangkutan. Berangkat dr argumen tersebut, Durkheim menyatakan bahwa “God is nothing more than society apostheosized,” atau dgn kata lain, Tuhan ialah masyarakat.
Untuk mendukung argumennya, Durkheim menyatakan bahwa Tuhan & masyarakat memiliki empat kesamaan utama yakni: 1) Keduanya merupakan keberadaan yg lebih besar daripada individu; 2) Keduanya ditakuti oleh individu; 3) Keduanya tak mampu hadir tanpa adanya kesadaran perorangan; & 4) Keduanya menuntut individu untuk mengorbankan sesuatu dengan-cara terjadwal.
Tentang agama paling primitif yg diketahui oleh insan. Durkheim menolak mendefinisikan agama selaku “akidah kepada sesuatu yg misterius” atau “iktikad terhadap sosok supernatural”. Bagi Durkheim, agama merupakan kesatuan sistem akidah, & praktik-praktik yg berhubungan dgn hal-hal suci (sacred) & tak suci (profane)